Penulis: Kristiyanto, Khaled Tuanida Parlaungan, Ahmad Ali Rifan, Hesty Handayani, Nugraheni Kusumaningsih, Febri Vabiono Pasaribu, Aditya Nur Agung Wicaksono, Moch. Irfan, Een Permana Deswarja (2023)
RASIONAL KAJIAN. Kajian ini didasarkan kepada beberapa permasalahan, tantangan, dan isu yang berkembang mengenai efektivitas Sistem Resi Gudang (SRG) dan Skema Subsidi Resi Gudang (SSRG) terhadap produksi dan kesejahateraan petani padi dan kopi. Berikut beberapa hal yang melatarbelakangi kajian.
1. Pengembangan produksi padi (beras dalam hal ini) dan ekspor komoditas kopi menghadapi berbagai tantangan terkait dengan variabilitas iklim. Hal itu menyebabkan produksi dan stok tidak mencapai target, fluktuasi harga pasar, maupun terbatasnya petani terhadap akses pembiayaan, jaringan pemasaran, dan infrastruktur yang kurang mendukung peningkatan kuantitas, kontinuitas, dan kualitas padi dan kopi. Bahkan, untuk komoditas kopi, penguasaan lahan didominasi oleh perkebunan rakyat yaitu sebesar 96,14% (BI dan ITAPS FEM IPB 2019).
2. Sistem Resi Gudang (SRG) menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi kondisi tersebut. Sistem resi gudang yang efisien akan memungkinkan petani untuk menghindari menjual langsung setelah panen ketika harga rendah. Sebaliknya pada saat musim paceklik, peningkatan harga pangan memberikan sumbangan pada peningkatan inflasi (volatile foods). SRG diterapkan untuk menyimpan hasil pertanian sehingga dapat menjaga stok pangan yang akan berdampak pada kestabilan harga.
3. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai Subsidi SRG diperbaharui dengan dikeluarkannya PMK Nomor 178/PMK.05/2021. Terdapat beberapa perubahan diantaranya adalah mengenai kelompok yang dapat mengakses SSRG. Pada PMK tersebut diperbolehkan usaha individu/badan, usaha selain petani, poktan, gapoktan, dan koperasi. Terdapat juga penambahan skema syariah, peningkatan plafon penerima, penyesuaian tingkat bunga, penjaminan pembiayaan/kredit, pembiayaan hulu-hilir, dan perpanjangan masa pembiayaan. Pembaharuan tersebut memberikan relaksasi bagi petani untuk memperoleh manfaat dari adanya SRG dan SSRG.
4. Pemilihan komoditas padi dan kopi sangat relevan untuk dianalisis. Untuk komoditas beras, data menunjukkan dari Maret 2019 hingga Desember 2021, adanya disparitas harga beras antar wilayah di Indonesia dan disparitas harga beras antar waktu di Indonesia. Disparitas harga beras antar wilayah menunjukkan beberapa Provinsi utama sentra produksi beras antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Lampung, Sumatera Selatan, dan Banten, memiliki rata-rata harga beras di bawah rata – rata nasional. Untuk disparitas harga beras antar waktu, menunjukkan pola di mana disparitas harga beras cenderung paling rendah pada saat musim panen, ketika bulan Maret 2019, Maret 2020, dan Maret 2021.
5. Sejalan dengan komoditas beras, kopi memperoleh peringkat ke 4 pembiayaan SSRG, setelah komoditas timah, gula, dan gabah. Lesson learned mengenai keberhasilan, kendala dan tantangan SSRG untuk komoditas beras dan kopi relevan untuk dianalisis. Informasi mengenai keberhasilan dan strategi mitigasi berbagai tantangan dari pembiayaan SSRG untuk komoditas padi dan kopi ini dapat diadopsi dan direplikasi untuk komoditas sejenis. Untuk itu, bagaimana efektivitas SSRG komoditas beras dan kopi terhadap produksi dan kesejahteraan petani beras dan kopi menjadi topik yang akan dianalisis pada penelitian ini.
METODE KAJIAN. Studi ini mengkaji 3 hal yaitu: (1) konsep, kendala, dan evaluasi, dari implementasi SRG dan SSRG; (2) mengidentifikasi dan menganalisis tingkat literasi petani padi dan kopi dan pengelola gudang atas SRG dan SSRG; (3) menganalisis potensi SRG dan SSRG dalam mendukung ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani padi dan kopi. Selain data sekunder, penelitian ini juga menggunakan data primer melalui survei dan indepth interview dengan menggunakan kuesioner terstruktur kepada para petani padi dan kopi. Diskusi terbatas dilakukan dengan para narasumber expert yaitu akademisi, Bappebti, Pemda, dan pengelola gudang. Potensial responden untuk dilakukan indepth interview selain pada wilayah lokasi adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Koperasi dan UKM, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Penelitian ini mengkombinasikan berbagai metode analisis, yaitu metode deskriptif kualitatif, analisis pendapatan usaha tani, uji beda dan IPA (Importance Performance Analysis).
HASIL KAJIAN memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Efektivitas implementasi SRG dan SSRG dicirikan oleh terbukanya akses pembiayaan, kepastian harga dan pasar, peningkatan pendapatan petani dari tunda jual dan perbaikan kualitas produk. Adapun titik kritis dalam penerapan SRG dan SSRG komoditas padi dan kopi dapat menjadi faktor keberhasilan apabila dapat berjalan efektif, namun di sisi yang lain akan dapat menjadi faktor penghambat jika tidak terpenuhi. Titik kritis tersebut yaitu infrastruktur gudang SRG, sosialisasi SRG kepada para petani/kelompok tani, dukungan pemerintah daerah, manajemen pengelolaan gudang dan mutu, dukungan perbankan, kreativitas, dan inovasi pengelola gudang untuk terhubung dengan ekspor, pasar lelang, dan pasar berjangka.
2. Efektivitas implementasi SRG dan SSRG untuk komoditas padi dan kopi, menunjukkan:
a. Efektivitas mekanisme tunda jual pada komoditas gabah/beras untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi dibandingkan saat panen raya berkurang. Uji beda simpangan baku harga gabah kering panen pada provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Banten, Lampung dan NTB menunjukkan penurunan fluktuasi harga antar bulan.
b. Kinerja penyaluran pembiayaan SRG untuk komoditas gabah/beras di kabupaten Cianjur dan Subang menurun selama 3 tahun terakhir. Pada kabupaten Cianjur, kurangnya motivasi petani terhadap SRG dipengaruhi rendahnya fluktuasi harga gabah (tunda jual tidak efektif) dan kompetisi dengan program pembiayaan dari lembaga lainnya (SIGAPMEN – BULOG dan Kredit MESRA – pemerintah daerah Jawa Barat). Pada kabupaten Subang, penurunan kinerja SRG beras disebabkan belum beroperasinya kembali gudang hibah Bappebti karena masih dalam proses perubahan pengelola gudang. Kinerja SRG gabah (benih) di Kabupaten Subang meningkat karena adanya kepastian harga dan jaminan pasar karena adanya off-taker.
c. Implementasi SRG dan SSRG di Kabupaten Subang untuk komoditasi kopi relatif baik. Kinerja SRG kopi di Kabupaten Subang meningkat, dimana penerbitan resi menjadi 7 kali lipat di tahun 2022 dibanding tahun 2021. Pengembangan SRG pada petani kopi memberikan jaminan keamanan, perluasan dan kepastian pasar, harga lebih baik karena tunda jual dan meningkatkan akses pembiayaan. Dukungan dinas dan pemerintah daerah diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan SRG dan SSRG oleh petani kopi.
3. Identifikasi dan analisis tingkat literasi petani padi dan kopi dengan stakeholder terkait, (pengelola gudang, pemerintah daerah, dan perbankan) atas SRG dan SSRG menunjukkan:
a. Tingkat literasi atas SRG dan SSRG petani SRG lebih tinggi dibandingkan petani Non SRG. Namun, baik untuk petani SRG dan Non SRG memiliki pengetahuan rendah terkait skema SSRG (suku bunga, plafon, prosedur pembiayaan).
b. Tingkat literasi stakeholder untuk komoditas padi terkait perubahan regulasi PMK no 187/PMK.05/ tahun 2021 berbeda. Perbankan memiliki tingkat literasi tertinggi dimana memahami perubahan jumlah plafon, komoditas yang dapat diresigudangkan, skema pembiayaan syariah, suku bunga menyesuaikan KUR, jangka waktu kredit 1 tahun, serta jaminan pembiayaan. Sebaliknya pemerintah daerah memiliki tingkat literasi terendah. Terdapat perbedaan literasi pengelola Gudang SRG kabupaten Cianjur dengan Subang yang dipengaruhi perbedaan akses informasi dari Bapebti.
c. Tidak berbeda jauh dengan komoditas padi, pada komoditas kopi, sosialiasi perubahan regulasi SRG PMK Nomor 187 tahun 2021 belum merata antar stakeholder terkait. Perbankan dan pengelola gudang memiliki informasi yang lebih tinggi dibandingkan pemerintah daerah.
4. Analisis potensi SRG dan SSRG dalam mendukung ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani padi dan kopi, menunjukkan:
a. Keikutsertaan petani padi dalam SRG dan SSRG mampu meningkatkan kesejahteraan dimana tingkat pendapatan bersih usahatani petani SRG (Rp 13,67 juta/ha) lebih tinggi dibandingkan petani Non SRG (Rp 8,41 juta/ha). Hasil uji beda rata-rata menunjukkan pendapatan petani SRG signifikan lebih tinggi dibandingkan petani Non SRG.
b. Dampak keikutsertaan petani padi dalam SRG dan SSRG adalah: memperoleh jaminan keamanan, optimalisasi peran poktan dan gapoktan dalam memanfaatkan SRG, kepastian mutu dan kualitas dari uji mutu, akses pembiayaan dari perbankan, dan peningkatan pendapatan.
c. Keikutsertaan petani kopi dalam SRG mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Pendapatan bersih petani kopi yang ikut dalam SRG jauh lebih tinggi dibandingkan Non SRG. Motivasi keikutsertaan petani kopi pada SSRG selain jaminan keamanan adalah kepastian pasar mengingat komoditas ini berorientasi ekspor. Karena orientasi ekspor maka kualitas mutu kopi harus tetap dijaga. Hasil survei menunjukkan persepsi petani mengenai dampak keikutsertaan SRG mengenai kepastian mutu memiliki nilai paling kecil.
REKOMENDASI HASIL KAJIAN. Hasil kajian merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1. Peningkatan koordinasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan SRG. SRG dapat menjadi bagian program dan kinerja tidak hanya pemerintah pusat namun pemerintah daerah dan Kementerian/Lembaga terkait (Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan).
2. Literasi yang kurang mengenai SRG dan SSRG membutuhkan sosialisasi terkait SRG secara berkala. Sosialisasi terkait SRG perlu dikoordinasikan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, perbankan dan lembaga terkait. Trade-off antar kebijakan membutuhkan “Re-Branding Peran SRG” dalam sosialisasi. Perlu ada gerakan bersama untuk Re-Branding Peran SRG. Sosialisasi tidak hanya sebatas mekanisme SRG namun juga manfaat mengenai SRG bagi petani. Lesson learned pada petani dan pengelola gudang yang berhasil (atau champion) dapat dilakukan pada saat sosialisasi untuk meningkatkan motivasi petani ikut serta dalam SRG dan SSRG.
3. Dukungan pemerintah daerah diperlukan untuk menghidupkan kembali SRG di Kabupaten Cianjur dan Subang, khususnya terkait percepatan pengalihan pengelolaan gudang, meningkatkan kapasitas SDM, dan dukungan infrastruktur. Pemda memiliki kepentingan terhadap peningkatan pendapatan daerah tidak hanya dalam jangka pendek namun juga dalam jangka panjang. Untuk itu Pemda perlu menciptakan insentif bagi pelaku usaha untuk mendukung keberlanjutan SSRG.
4. Dukungan dari pemerintah pusat dan Pemda serta lesson learned mengenai keberhasilan SRG dan SSRG akan mendorong insentif pembangunan gudang-gudang swasta. Bentuk dukungan di antaranya insentif pembiayaan sewa gudang pada tahap awal pengelolaan gudang, dukungan pelaksanaan sosialisasi, pendampingan dan sekaligus pelatihan pengelola gudang serta infrastruktur gudang (dryer, Rice Milling Unit, dan CCTV). Terkait dengan gudang, Bulog dapat menjadi mitra dimana berperan sebagai (a) penyimpan barang; (b) stand buyer/off taker; dan (c) pengelola gudang SRG. Untuk kasus Kabupaten Subang dalam komoditas kopi, gudang SRG dimiliki oleh swasta.
5. Strategi pengembangan SRG beras/gabah difokuskan pada: (1) peningkatan kreativitas SDM pengelola resi gudang untuk terhubung dengan pasar lelang, eksportir, pasar berjangka; (2) kepastian harga dalam menjual komoditas yang disimpan dalam gudang SRG; dan (3) kemudahan dalam memasarkan komoditas yang disimpan dalam gudang SRG (Bulog sebagai off-taker).
6. Strategi pengembangan SRG kopi difokuskan pada peningkatan kreativitas SDM pengelola resi gudang untuk terhubung dengan pasar lelang, eksportir, dan pasar berjangka. Dukungan mengenai pasar ekspor perlu dilakukan mengingat pasar tujuan ekspor baru sebatas Arab Saudi. Sementara ekspor ke negara lainnya seperti China, Korea Selatan dan Taiwan baru sebatas join pada aggregator (undername). Pengelola gudang (koperasi, BUMP) dapat ikut serta dalam business matching maupun pameran ekspor (seperti Trade Expo Indonesia dan Karya Kreativitas Indonesia) yang dilakukan oleh beberapa Kementerian diantaranya Kementerian Perdagangan, LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) serta BI (Bank Indonesia).
7. Mengingat kopi merupakan komoditas berorientasi ekspor maka kualitas kopi perlu dijaga. Kualitas biji kopi juga dipengaruhi oleh kegiatan pasca panen. Koperasi berperan dalam kegiatan pasca panen untuk menjaga kualitas biji kopi.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.