Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Dewasa ini negara-negara di dunia sedang dihadapkan pada permasalahan krisis pangan. Berdasarkan data dari United Nation World Programme tahun 2008, tingkat kerentanan pangan terjadi pada hampir semua negara di dunia. Kerentanan tertinggi terjadi pada sebagian besar negara-negara berkembang seperti negara-negara di benua Afrika dan Asia. Indonesia masuk pada kategori negara dengan resiko kerentanan pangan sedang. Kerentanan pangan dunia tersebut didukung oleh data perkiraan neraca pangan dunia yang dirilis oleh World Bank yang menyebutkan bahwa pada tahun 2025 diperkirakan dunia akan mengalami defisit pada neraca pangan sebesar 68,8 miliar ton akibat kenaikkan jumlah populasi penduduk dunia dan permintaan akan pangan, tetapi produksi pangan dunia tidak mencukupi.
Kerentanan krisis pangan juga mulai nampak terjadi di Indonesia, hal ini terlihat dari transaksi perdagangan pangan Indonesia yang sudah defisit sejak tahun 2007 sampai tahun 2012. Menurut data dari BPS, ekspor pangan Indonesia lebih kecil dari pada impor pangan. Dari segi produktivitas komoditas pangan, ternyata produktivitas padi dan kedelai Indonesia tidak mengalami peningkatan secara signifikan, dan hanya produktivitas jagung yang meningkat cukup signifikan. Data dari Global Food Security Index tahun 2012 menunjukkan peringkat Indonesia yang cukup rendah yaitu pada peringkat 64 dari 105 negara di dunia yang diindeks oleh organisasi tersebut dan berada dibawah Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
Data kerentanan pangan Indonesia dan rendahnya produktivitas di sektor pertanian, khususnya tanaman pangan, ternyata tidak sejalan dengan dukungan alokasi anggaran pemerintah untuk sektor pertanian. Pemerintah selama ini telah mengalokasikan anggaran yang meningkat setiap tahunnya yang bersumber dari APBN terhadap sektor pertanian. Alokasi anggaran sektor pertanian dialokasikan pada anggaran untuk program kementerian/lembaga terkait; pemberian subsidi pangan, pupuk, benih, dan kredit program; belanja cadangan beras; dan melalui mekanisme transfer ke daerah. Tahun 2005 anggaran sektor pertanian dialokasikan sebesar Rp.12,62 triliun, pada tahun 2009 meningkat menjadi sebesar Rp. 49,71 triliun, dan kemudian menjadi sebesar Rp.72,43 triliun pada tahun 2014. Dukungan alokasi anggaran yang besar tersebut ternyata belum mampu untuk meningkatkan produksi sektor pertanian di Indonesia, khususnya tanaman pangan.
Menurut Kementerian Pertanian (Kementan) dalam LAKIP Kementan tahun 2014, terdapat beberapa faktor utama yang diidentifikasi sebagai penyebab penurunan produksi hasil pertanian, diantaranya adalah faktor penelitian dan pengembangan (Litbang) dan penyuluh pertanian yang masih belum optimal peran dan fungsinya dalam rangka mendukung peningkatan produksi pertanian dan ketahanan pangan Indonesia. Oleh karena itu perlu untuk dilakukan analisis mengenai efektifitas dan efisiensi Litbang dan penyuluh pertanian dalam rangka mendukung peningkatan produksi pertanian dan ketahanan pangan Indonesia.
Fungsi peneliti dan penyuluh pertanian sangat penting bagi petani karena berfungsi sebagai sumber pendidikan informal dalam rangka peningkatan kompetensi petani agar mampu untuk melakukan usaha tani secara baik dan benar sehingga mampu untuk meningkatkan produksi pertanian. Performa hasil penelitian dan penyuluh yang baik di lapangan akan berdampak pada peningkatan produksi di sektor pertanian, namun hal itu juga membutuhkan dukungan baik dari sektor anggaran maupun sumber daya manusia yang berkualitas.
Analisa efisiensi teknis yang dilakukan pada Badan Litbang (Balitbang) Kementan diketahui bahwa dalam kurun waktu 2010 s.d 2013 komposisi pegawai Balitbang Kementan lebih didominasi oleh pegawai struktural administrasi dibandingkan jumlah pegawai fungsional, baik fungsional peneliti, penyuluh, maupun fungsional lainnya. Jumlah seluruh pegawai Balitbang pada tahun 2013 sejumlah 7.404 pegawai, yang antara lain terdiri dari peneliti sejumlah 1.766 pegawai atau 23,9 persen dan penyuluh pertanian hanya sejumlah 290 pegawai atau 3,9 persen dari total pegawai Balitbang Kementan. Sedangkan komposisi pegawai Balitbang jika dilihat dari tingkat pendidikannya dapat diketahui bahwa kurun waktu 2009 s.d 2013, rata-rata lebih dari 55 persen pegawai Balitbang mempunyai pendidikan di bawah Sarjana S1. Dapat disimpulkan bahwa dengan komposisi tersebut, jumlah tenaga fungsional penyuluh masih sangat kurang baik dari segi jumlah maupun kapasitas pegawai untuk melakukan kegiatan penelitian karena tingkat pendidikan terendah yang masih didominasi oleh pegawai dengan tingkat pendidikan dibawah Sarjana S1. Hal ini akan berdampak pada pembimbingan yang dilakukan penyuluh pertanian terhadap petani menjadi sangat terbatas.
Apabila dilihat dari hasil publikasi ilmiah yang dihasilkan dalam kurun waktu 2008 sampai dengan 2010, berdasarkan statistik Balitbang Kementan, sebanyak 927 buah hasil publikasi ilmiah nasional telah dihasilkan oleh Balitbang Kementan dan publikasi ilmiah internasional sebanyak 84 buah. Hasil publikasi karya ilmiah nasional merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan Balitbang kementerian/Lembaga yang lain di Indonesia. Namun diindikasikan rasio hasil publikasi ilmiah terhadap jumlah pegawai fungsional peneliti di balitbang masih sangat kurang. Kurangnya hasil publikasi ilmiah tersebut dinilai menyebabkan kurangnya sosialisasi dan diseminasi teknologi dan teknik usaha tani kepada para petani.
Hasil survey yang dilakukan ke 6 kabupaten, diketahui bahwa jumlah penyuluh untuk setiap kabupaten sangat terbatas. Kabupaten pati dengan luas 141.907 Ha hanya memiliki 2 penyuluh, untuk kabupaten lain seperti Cianjur, Malang, Lombok Tengah, Gunung Kidul, Grobogan jumlah penyuluh juga terbatas. Analisis efektifitas dan efisiensi untuk litbang dan penyuluhan dapat di lihat dari rasio luas sawah per penyuluh, diketahui bahwa dari tahun 2008 s.d 2012 untuk setiap penyuluh luas sawah yang perlu diawasi kurang lebih 27 s.d 30 ribu Ha.
Tahun 2012 setiap penyuluh mengawasi 26.839 Ha luas lahan sawah. Pada tahun yang sama beberapa provinsi sama sekali tidak memiliki penyuluh, seperti provinsi Kepulauan Riau. Sulawesi Barat dan Papua Barat. Rasio luas lahan sawah per penyuluh per provinsi dapat kita lihat pada tabel berikut ini
Sumber : Statistik Balitbang, Kementan, diolah
Rekomendasi yang diberikan adalah penambahan jumlah pegawai fungsional (peneliti dan penyuluh). Jumlah fungsional tersebut hendaknya lebih besar dari jumlah pegawai administrasi Balitbang. Apabila dirasakan perlu maka dapat dilakukan fungsionalisasi pegawai administrasi Balitbang, hal ini untuk mendukung pencapaian pelaksanaan tupoksi Balitbang.
Peningkatan kapasitas SDM pegawai Balitbang dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah pegawai dengan tingkat pendidikan akhir setara Sarjana S1 dan diatas Sarjana S1.
Peningkatan kesejahteraan penyuluh pertanian juga perlu dilaksanakan dengan memberikan insentif untuk tenaga penyuluh pertanian seperti uang transportasi dalam rangka tugas penyuluhan.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.