Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Kegiatan transaksi di sektor properti yang sebagian besar bersifat immobile menunjukkan sektor properti merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah yang berpotensi cukup besar dalam meningkatkan local taxing power baik melalui instrumen pajak daerah maupun melalui mekanisme bagi hasil pajak. Sektor properti yang meliputi sektor konstruksi dan real estate merupakan salah satu sektor yang penting karena mampu menarik dan mendorong kegiatan di berbagai sektor ekonomi, mempengaruhi perkembangan sektor keuangan, serta berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja. Mengingat perannya yang strategis tersebut melalui kajian ini telah dilakukan analisis secara empirik dampak perkembangan sektor properti terhadap perekonomian daerah serta penyusunan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam rangka mengoptimalkan penerimaan dari sektor ini.
Dampak perkembangan sektor properti yang dianalisis dalam kajian ini meliputi dampak perkembangan sektor properti secara nasional dan di daerah sampel terhadap peningkatan output perekonomian, pendapatan masyarakat, dan penciptaan lapangan kerja. Metode yang digunakan adalah analisis Tabel Input-Output (I-O) baik nasional maupun masing-masing provinsi sampel serta analisis deskriptif terhadap data penerimaan pemerintah pusat dan daerah dari sektor properti. Daerah sampel terpilih terdiri atas empat provinsi, yaitu Riau, Lampung, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur. Pemilihan daerah sampel tersebut mempertimbangkan indeks komposit fiskal dan indeks komposit perekonomian serta keterwakilan daerah kaya sumber daya alam, daerah industri, dan proporsi penduduk di pedesaan maupun perkotaan, serta daerah Jawa dan di luar Jawa.
Hasil kajian menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir sektor konstruksi dan real estate di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup baik walaupun dengan tren pertumbuhan melambat, searah dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk sektor real estate pertumbuhan sudah terlihat mulai membaik sejak triwulan III 2013. Kontribusi sektor konstruksi dan real estate terhadap PDB cenderung tetap pada kisaran 9,5 persen untuk konstruksi dan 3 persen untuk real estate. Sektor properti mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 8,0 juta orang atau 6,62 persen dari seluruh total tenaga kerja yang mana sebanyak 7.7 juta (6.38 persen ) bekerja di sektor konstruksi dan 294.392 orang (0.24 persen) di sektor real estate. Di negara-negara maju, sektor real estate peranannya lebih besar dibandingkan sektor konstruksi. Sedangkan di Indonesia, peran sektor real estate masih lebih kecil dibandingkan sektor konstruksi sehingga sektor real estate masih sangat terbuka untuk dikembangkan.
Pengolahan Tabel I-O nasional menunjukkan sektor konstruksi memiliki keterkaitan ke belakang yang kuat namun keterkaitan ke depannya lemah, sebaliknya sektor real estate memiliki keterkaitan ke depan yang kuat namun keterkaitan ke belakang terbatas. Output multiplier sektor konstruksi dan real estate masing-masing sebesar 1.913 dan 1.225. Income multiplier sektor konstruksi dan real estate mencapai 1.76 dan 1.62. Angka pengganda tenaga kerja sektor konstruksi dan real estate adalah sebesar 2.16 dan 2.10.
Hasil survey di daerah sampel menunjukkan kontribusi sektor properti di luar Jawa masih lebih rendah dibandingkan kontribusi sektor properti secara nasional, kecuali kontribusi sektor real estate di Lampung yang mencapai 2.8 persen atau mendekati kontribusi sektor real estate secara nasional. Pertumbuhan sektor konstruksi di luar Jawa cenderung meningkat pada tahun 2014, sementara di Jawa Timur justru mengalami perlambatan pertumbuhan. Untuk sektor real estate terjadi perlambatan pertumbuhan di semua daerah sampel pada tahun 2014.
Pengolahan Tabel I-O daerah sampel menunjukkan Output multiplier sektor konstruksi di daerah sampel masih lebih rendah dibandingkan Output multiplier sektor konstruksi nasional, yaitu berkisar antara 1.34 s.d. 1.64. Untuk sektor real estate Output multiplier di daerah sampel relatif sama dengan Output multiplier sektor real estate nasional, yaitu 1.18 s.d. 1.34. Income multiplier sektor properti di daerah sampel relatif sama atau lebih rendah dibanding angka nasional, kecuali Income multiplier sektor konstruksi di Lampung yang jauh lebih tinggi dari angka nasional, yaitu mencapai 2.14.
Identifikasi terhadap tantangan yang dihadapi oleh pengembang-pengembang perumahan dalam mengembangkan kegiatan di sektor properti diantaranya adalah: (1) Tingginya tingkat suku bunga. Hal ini diperkuat antara lain dari data tingkat suku bunga kredit pemilikan rumah yang mencapai 12,7 persen atau paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura yang berada dalam kisaran 4,9 persen s.d. 6,9 persen ; (2) Perizinan banyak, lambat, dan tidak ada standar biaya maupun pelayanan; (3) Lahan semakin mahal dan terdapat tumpang tindih kepemilikan; dan (4) Dukungan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur dasar dirasakan belum maksimal
Instrumen penerimaan pemerintah dari sektor properti meliputi 12 jenis penerimaan baik pusat maupun daerah. Penerimaan pusat dari sektor properti: (1) PPh final persewaan tanah dan bangunan; (2) PPh final atas jasa konstruksi; (3) PPh pasal 23 (properti dan jasa); (4) PPN dan PPnBM; (5) PPN atas sewa ruangan; (6) PPh pasal 22 untuk penjualan barang sangat mewah; (7) PPh final pengalihan hak atas tanah dan bangunan; (8) PPN kegiatan membangun sendiri (KMS); (9) PBB-P3. Penerimaan daerah dari sektor properti: (1) PBB-P2; (2) BPHTB; dan (3) IMB.
Total penerimaan pemerintah pusat dan daerah dari sektor properti pada tahun 2014 mencapai Rp101,3 triliun. Dalam periode tahun 2008-2014, penerimaan pemerintah dari sektor properti mengalami pertumbuhan tahunan sebesar 2.05 persen s.d. 27.2 persen dengan tren pertumbuhan melambat sejak tahun 2013. Sementara itu, analisis Tabel I-O nasional menunjukkan kontribusi pajak tak langsung dari sektor konstruksi terhadap output berkisar antara 1.0 persen s.d. 1.5 persen, dan Sektor real estate mencapai 2.1 persen .
Analisis data menunjukkan bahwa penerimaan pemerintah dari sektor properti baik yang berbasis penghasilan, berbasis konsumsi, maupun berbasis kepemilikan masih terkonsentrasi di daerah-daerah yang bercirikan perkotaan (urban bias). Daerah perkotaan menikmati penerimaan dari sektor properti yang lebih besar utamanya dari PBB-P2 dan BPHTB, sementara di daerah pedesaan kedua jenis pajak ini belum memberikan penerimaan yang berarti.
Setidaknya terdapat dua instrumen penerimaan pusat dari sektor properti yang dalam pemungutannya sangat erat kaitannya dengan peranan pemerintah daerah, yaitu: (1) PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan; dan (2) PPN KMS. Hal ini karena: (1) NJOP sebagai basis perhitungan PPh final pengalihan hak atas tanah dan bangunan ditentukan oleh pemda; (2) PPh final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dipungut secara bersamaan dengan BPHTB yang merupakan pajak daerah; (3) DJP dalam melakukan pemungutan PPN KMS menggunakan data IMB yang dikeluarkan oleh pemda. Oleh karena itu untuk mengoptimalkan penerimaan dari kedua instrumen dimaksud perlu dilakukan kerja sama pemungutan pajak antara pemerintah pusat dan daerah dengan memberikan kompensasi berupa bagi hasil kepada daerah dari penerimaan tersebut.
Tantangan yang dihadapi dalam memungut penerimaan pemerintah di sektor properti antara lain adalah: (1) Nilai jual objek pajak yang sangat rendah dibandingkan nilai pasar terutama di daerah perdesaan; (2) Kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak BPHTB untuk melaporkan nilai transaksi yang sebenarnya masih rendah; (3) Kesadaran masyarakat masih rendah dalam membayar PBB P2, membayar hanya “jika diperlukan”; (4) Ketersediaan tenaga fungsional penilai di daerah masih terbatas; (5) Piutang PBB-P2 yang diterima pemda dari Pemerintah Pusat masih memerlukan penanganan yang tepat; (6) Dirasakan relatif tingginya nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP) di daerah perdesaan; (7)Terdapat surat setoran BPHTB palsu. Beberapa modus penghindaran pajak oleh WP di sektor properti, antara lain: (1) memperkecil laporan nilai penjualan; (2) tidak melakukan pemotongan pajak dengan benar; (3) memecah luas bangunan; (4) melaporkan penjualan rumah sebagai penjualan kavling; dan (5) menggunakan faktur pajak yang tidak sah.
Beberapa rekomendasi kebijakan yang didorong berdasarkan hasil kajian ini adalah sebagai berikut:
Mempertimbangkan potensi pajak-pajak pusat yang terkait dengan sektor properti untuk dibagihasilkan atau dijadikan pajak daerah, terutama untuk PPN KMS dan PPh final atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan. Pertimbangan untuk menjadikan beberapa pajak-pajak pusat tersebut untuk dibagihasilkan atau menjadi pajak daerah harus dilakukan dalam kerangka paket kebijakan strategis untuk meningkatkan penerimaan pemerintah secara nasional dan menarik investor bagi percepatan pembangunan ekonomi daerah. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.