Mencermati Kebijakan Public Service Obligation Pada BUMN
Penulis: Praptono Djunedi
Apa jadinya kalau investor swasta diminta masuk ke suatu daerah yang terpencil dan atau yang belum berkembang ekonominya untuk menyediakan pelayanan umum dan penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum? Tentu mereka akan �mikir-mikir� dulu. Kalaupun mau masuk, berapa tariff dari pelayanan umum tersebut? Relatif mahal pastinya. Dalam konteks ini, adalah cukup relevan kalau kita bahas mengenai Kewajiban Pelayanan Umum (Public Service Obligation / PSO) oleh pemerintah.
Apalagi, saat ini seluruh dunia, tak terkecuali negara kita sedang melakukan berbagai upaya, termasuk percepatan penyediaan infrastruktur agar dampak dari krisis global seperti melambatnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya aggregate demand, ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara masal bisa dihindari.
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas mengenai peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar kebijakan PSO, jumlah dana PSO yang dialokasikan dalam APBN serta manfaatnya bagi pembangunan nasional.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 3 menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas fasilitas kesehatan dan pelayanan umum yang layak pada masyarakat. Hal ini dijadikan dasar bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan umum di berbagai sektor seperti penyediaan layanan transportasi, infrastruktur ketenagalistrikan, jalan dan lainnya. Tersedianya berbagai infrastruktur dan layanan umum tersebut diharapkan dapat mendukung tumbuhnya perekonomian nasional seperti penyediaan lapangan kerja dan menumbuhkan perekonomian suatu daerah.
Untuk menyelenggarakan misi PSO di atas, maka pemerintah menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berkaitan. Hal ini dijustifikasi oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara pasal 66 yang menyatakan bahwa pemerintah bisa memberikan suatu penugasan pada suatu BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum. Hal ini memang masih sejalan dengan tujuan pendirian BUMN yaitu meningkatkan penyelenggaraan kemanfaatan umum, berupa penyediaan barang dan jasa dalam jumlah dan kualitas yang memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak serta memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional. Namun, apabila penugasan tersebut secara finansial tidak fisibel, pemerintah perlu memberikan kompensasi atas semua biaya yang dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk margin.
Sebelum terbitnya UU Nomor 19 Tahun 2003 di atas, sebenarnya BUMN memperoleh penugasan PSO berdasarkan Undang-Undang sektoral dan peraturan terkait. Oleh sebab itu, dalam sektor transportasi misalnya, kegiatan berbasis PSO dikenal dengan istilah angkutan perintis, program listrik pedesaan (sektor ketenagalistrikan), atau telekomunikasi pedesaan (sektor telekomunikasi). Namun demikian, ketika UU 19/2003 terbit, maka undang-undang inilah yang dijadikan dasar kebijakan PSO (lihat Bagan 1).
BAGAN 1
PENUGASAN BUMN UNTUK MENJALANKAN MISI PSO
Ada sementara pihak yang menilai bahwa sistem dan prosedur PSO belum cukup memadai bila hanya mengacu pada UU 19/2003 dan peraturan perundang-undangan sektor. Sebab, dalam perkembangannya, istilah PSO akan ditafsirkan secara berbeda-beda. Kedua, terdapat perbedaan treatment terhadap satu BUMN dengan BUMN lainnya.
Berikut ini diberikan ilustrasi yang terjadi pada dua BUMN, PT PLN (Persero) dan PT KAI (Persero), yang kira-kira mencoba menggambarkan permasalahan di atas. Walaupun disadari bahwa tulisan ini belum mampu menggambarkan aneka permasalahan terkait PSO karena beberapa keterbatasan penulis untuk mengakses 16 BUMN penerima dana subsidi atau penyelenggara PSO.
PT PLN (Persero)
Dalam Undang�undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan pasal 7 ayat (1) dinyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh negara dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang didirikan berdasarkan peraturan perundang�undangan yang berlaku sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK). Status PKUK dimiliki PT PLN (Persero) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1990. Sebagai PKUK, PT PLN (Persero) berkewajiban menjamin kecukupan pasokan tenaga listrik.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1994, PLN telah berubah status dari perusahaan umum menjadi perusahaan perseroan terbatas yang tunduk pada Undang-undang tentang perseroan terbatas. Mengacu pada Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 mengenai BUMN, perubahan status PLN tersebut menimbulkan akibat hukum yaitu target utama dari pengelolaan tenaga listrik adalah untuk mencari keuntungan.
Namun demikian, mengenai penetapan harga jual listrik (tarif dasar listrik/TDL) adalah menjadi domain pemerintah. Hal ini bisa dilihat pada Undang Undang Nomor 15 Tahun 1985 pasal 16 yang menyatakan Pemerintah mengatur harga jual tenaga listrik. Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 pasal 32 ayat (4) diatur bahwa harga jual tenaga listrik untuk konsumen yang disediakan oleh PKUK ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri ESDM. TDL terakhir ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 104 Tahun 2003 tanggal 31 Desember 2003. Dalam Kepres ini, TDL dikelompokkan menjadi 37 jenis tarif.
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam lima tahun terakhir ini kondisi keuangan PT PLN (Persero) mengalami kerugian. Pada tahun 2003, misalnya, kerugian perusahaan tersebut mencapai Rp5,9 triliun. Selanjutnya, pada tahun 2004 mencapai Rp2 triliun, lalu Rp4,9 triliun (2005), Rp1,9 triliun (2006) dan Rp5,6 triliun (2007).
Sementara itu, subsidi listrik yang telah dikeluarkan melalui APBN pada tahun 2003 sebesar Rp3,4 triliun, lalu sebesar Rp3,3 triliun (2004), Rp12,5 triliun (2005), Rp32,9 triliun (2006) dan Rp43,4 triliun (2007). Diperkirakan realisasi atas subsidi listrik pada tahun 2008 berkisar pada angka Rp80-an triliun.
Dari paparan di atas, bisa dicatat beberapa hal yaitu: (1) subsidi listrik yang dialokasikan terus meningkat dari tahun ke tahun, namun jumlah kerugian pada PT PLN cenderung berfluktuasi, (2) jumlah subsidi listrik mengalami kenaikan yang sangat signifikan sejak tahun 2005.
Mengutip pendapat M. Suparmoko (2002) dalam bukunya �Ekonomi Publik: Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah� bahwa secara literatur, sektor ketenagalistrikan merupakan industri dengan biaya produksi rata-rata yang selalu menurun ketika produksi yang dihasilkan makin banyak dan ditransmisikan. Dengan produksi yang besar maka sektor ini akan menuai keuntungan. Bagaimana dengan BUMN sektor listrik kita?
Kebijakan subsidi listrik beberapa kali mengalami perubahan. Tahun 2000 sampai 2001, kebijakan yang digunakan adalah kebijakan arus kas korporat dimana dana subsidi dipergunakan untuk mengganti biaya operasional perusahaan. Kemudian, pada tahun 2003 sampai 2004 kebijakan yang dipakai adalah kebijakan subsidi pada konsumen terarah, artinya subsidi diberikan pada kelompok masyarakat yang menggunakan daya terpasang sebesar 450 VA dengan jumlah konsumsi energi listrik maksimum 60 KWh.
Namun, sejak tahun 2005, kebijakan itu diganti menjadi kebijakan subsidi pada konsumen yang diperluas. Maksudnya, subsidi diberikan terhadap golongan tarif yang harga jual rata-rata per golongan tarifnya lebih rendah daripada Biaya Penyediaan Pokok (BPP) per golongan tarif. Dengan demikian, hampir semua kelompok masyarakat, dari mulai yang menggunakan daya terpasang 220 VA sampai 6.600 VA memperoleh dana subsidi dengan pertimbangan TDL-nya masuk dalam golongan tarif yang harga jual rata-rata per golongan tarifnya lebih dari BPP yang telah dikeluarkan PT PLN. Dengan lain kata, pengguna tenaga listrik, dari mulai yang menghuni rumah RSSS sampai rumah mewah memperoleh subsidi listrik. Tidaklah mengherankan apabila jumlah subsidi listrik meningkat hampir 300 persen dari posisi tahun 2004 ke tahun 2005.
Di sisi lain, pembayaran subsidi listrik kepada PT PLN selama ini dilakukan sebulan sekali dengan didasarkan hanya dari (perkiraan) realisasi penjualan tenaga listrik bulanan. Seperti diketahui, berdasarkan data Ditjen LPE Departemen ESDM bahwa rasio elektrifikasi (RE) di Indonesia sekarang ini baru sekitar 64 persen. Dilihat per propinsi, rasio elektrifikasi tertinggi adalah DKI Jakarta (100%) dan terendah adalah Nusa Tenggara Timur (24%).
Dari data RE saja, dapat diprediksi (dengan catatan asumsi semua variabel tetap) bahwa dana subsidi listrik di masa mendatang akan terus meningkat karena space permintaan terhadap layanan tenaga listrik masih cukup besar. Apabila permintaan tersebut bisa dipenuhi, maka akan berdampak pada meningkatnya penjualan tenaga listrik. Ujung-ujungnya adalah akan meningkatkan jumlah subsidi listrik yang harus disediakan oleh APBN. Ini tentu saja akan berpotensi mengganggu sustainabilitas APBN dalam jangka panjang. Padahal, besarnya subsidi ini ditujukan bukan untuk pembangunan atau pengembangan pelayanan sistem ketenagalistrikan nasional, namun tujuan awalnya semata-mata untuk mempertahankan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah guna tetap dapat membayar listrik yang mereka pergunakan sehingga dapat bertahan untuk berlangganan listrik.
Di sisi lain, pemerintah melalui Departemen ESDM mengalokasikan rata-rata sekitar Rp2 triliun setiap tahunnya dalam APBN untuk membangun transmisi dan listrik pedesaan yang selanjutnya diserahkan kepada PT PLN sebagai tambahan modal disetor. Berdasarkan data yang ada, tambahan penyertaan modal kepada PT PLN tersebut sekitar 74 persen dari jumlah total �Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya�, namun sampai sekarang aset tersebut belum ditetapkan statusnya dengan peraturan pemerintah.
Hal ini menarik untuk dicermati. Kebijakan PSO sektor ketenagalistrikan disikapi berbeda-beda antara satu pihak dengan lainnya. Yang satu minta subsidi listrik dengan skema PSO, sementara yang lain minta dana untuk pembangunan transmisi dan listrik pedesaan atas nama PSO juga. Walaupun untuk pembangunan transmisi dan listrik pedesaan itu pada akhirnya akan mengarah pada konsep Penyertaan Modal Negara.
Hal lainnya yang barangkali perlu dicermati adalah belum adanya hubungan kontraktual antara pemerintah dengan PT PLN dalam hal pembayaran subsidi listrik. Tidak adanya hubungan kontraktual tentu saja akan semakin membebani Departemen Keuangan sebagai pengelola keuangan negara karena �safety guard� di level departemen teknis belum ada. Ke depan, masalah pembuatan kontrak antara departemen teknis dengan PT PLN hendaknya bisa dimulai segera.
PT KAI (Persero)
Berbeda dengan PT PLN (Persero), PT KAI (Persero) termasuk korporat yang meraup keuntungan dalam beberapa tahun terakhir. Sedangkan, dana penyelenggaraan PSO yang diterima PT KAI (Persero) sebesar Rp148 miliar pada tahun 2003. Selanjutnya, sebesar Rp93 miliar pada tahun 2004, Rp270 miliar (2005), Rp450 miliar (2006) dan Rp425 miliar (2007).
Kalau pembuatan kontrak/perjanjian tentang PSO listrik sampai sekarang belum ada, hal sebaliknya terjadi pada PSO Angkutan Kereta Api Kelas Ekonomi. Dalam kontrak/perjanjian antara pemerintah cq. Ditjen Perkeretaapian Departemen Perhubungan dengan Direktur Utama PT KAI (Persero) tentang penyelenggaraan PSO Angkutan Kereta Api Kelas Ekonomi diatur banyak hal, diantaranya adalah hak dan kewajiban para pihak, batasan PSO bidang angkutan kereta api kelas ekonomi, lingkup PSO, nilai perjanjian, cara pembayaran dana PSO dan lainnya. Pembayaran dana PSO sektor ini dilakukan per triwulan.
Ada pernyataan dalam suatu pasal pada perjanjian tersebut yang membuat tenang pengelola keuangan negara yaitu:� Apabila hasil audit dari instansi pemerintah yang berwenang menyatakan jumlah dana PSO yang ditanggung PT KAI (Persero) lebih kecil daripada jumlah dana yang telah dibayarkan negara maka kelebihan pembayaran dana dimaksud harus disetorkan kembali ke Kas Negara. Apabila sebaliknya, maka kekurangan pembayaran dana dimaksud tidak dapat ditagihkan kepada negara.�
Implisit bisa dikatakan bahwa BUMN harus bisa mengelola dengan baik jumlah dana penyelenggaraan PSO yang telah dialokasikan dalam APBN. Adalah tugas manajemen BUMN untuk melakukan efisiensi dan bertindak inovatif apabila menurut proyeksi dari bagian manajemen risiko BUMN yang bersangkutan dana PSO yang diterima lebih kecil daripada jumlah biaya produksi yang akan ditanggung.
Dengan demikian, perjanjian yang penulis istilahkan sebagai perjanjian berbasis manajemen risiko tersebut seyogyanya dapat menjadi template bagi BUMN lainnya di masa mendatang.
Penutup
Sebagai catatan penutup, Suparmoko (2002) menyatakan bahwa pemberian subsidi untuk produk apa saja tidak boleh berlebihan karena ini akan menjadi insentif buat penerima subsidi untuk mengkonsumsi secara berlebihan atau bersikap boros. Pemberian subsidi tersebut sebenarnya menimbulkan dilema bagi pemerintah dimana pada satu sisi pemberian subsidi dan pelaksanaan PSO merupakan konsekuensi dan tugas serta tanggung jawab pemerintah namun di sisi lain hal tersebut terkendala oleh terbatasnya anggaran yang tersedia. Oleh karena itu, pemberian subsidi dan pelaksanaan PSO harusnya tidak sekedar mempertimbangkan kepentingan BUMN sebagai korporat, kepentingan masyarakat dan dunia usaha, akan tetapi juga kepentingan APBN.
Oleh karena itu, barangkali ada baiknya kalau kebijakan PSO sekarang dievaluasi kembali terkait beberapa hal. Pertama, memperkuat regulasi yang berkaitan dengan PSO sehingga pengertian PSO dipahami dalam bahasa yang sama, ada standarisasi mekanisme pembayaran, ada pembagian peran yang jelas antar institusi dan sebagainya. Kedua, setiap departemen teknis perlu memposisikan sebagai safety guard pertama dengan cara memverifikasi terlebih dahulu usulan alokasi subsidi/PSO dari BUMN sektor dengan lebih cermat dan selanjutnya melakukan hubungan kontraktual sebagai wujud awareness mereka terhadap risiko fiskal. Ketiga, BUMN khusus penerima dana subsidi atau penyelenggara PSO hendaknya lebih transparan dalam penghitungan subsidi dan BPP-nya sehingga bisa dipantau oleh semua pihak. Dan terakhir, perlunya mencoba mekanisme tender terbuka untuk penyelenggaraan PSO sektor tertentu apabila sektor tersebut dianggap sudah kompetitif sehingga akan terlihat apakah tender tersebut cukup menarik bagi kalangan swasta. Wallahu a�lam.
# Peneliti/ Kasubid Analisis Risiko BUMN, BKF
(dimuat di Media Keuangan vol.IV No.17/Januari/2009)