Mengoptimalkan Pembiayaan Anggaran Nonutang
Penulis: Muhammad Romli
SEJAK tahun anggaran 2000, pemerintah menerapkan kebijakan defisit. Tujuannya agar tercipta ekspansi fiskal dan pertumbuhan ekonomi berakselerasi pada level tinggi.
Konsekuensi dari kebijakan ini, dibutuhkan pembiayaan untuk menutup defisit yang dipenuhi dari sumber utang maupun nonutang. Untuk pembiayaan dari utang, dalam tujuh tahun terakhir trennya terus meningkat dan mencapai porsi 80 persen dari total pembiayaan. Akibatnya, meskipun secara rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) cenderung menurun, secara nominal stok utang pemerintah (outstanding) terus meningkat.
Tercatat, stok utang pemerintah pada 2004 sebesar Rp1.295 triliun dan pada 2010 diperkirakan sudah menjadi Rp1.676 triliun. Selain itu, jumlah utang yang jatuh tempo pada 2010 mencapai lebih dari Rp130 triliun. Kondisi demikian tentu menjadi tantangan dalam rangka mewujudkan kemandirian fiskal. Penulis melihat, ada ruang potensial untuk mengurangi stok utang pemerintah tersebut, yaitu dengan mengoptimalkan pembiayaan anggaran nonutang.
Ini mengingat potensi pembiayaan nonutang sebenarnya masih sangat besar dan selama ini belum dikelola secara optimal. Dari sisi instrumen, pembiayaan nonutang bisa berasal dari: (1) penggunaan saldo rekening pemerintah di Bank Indonesia, (2) hasil pelunasan piutang pemerintah, (3) hasil privatisasi BUMN, (4) hasil penjualan aset program restrukturisasi perbankan, (5) sisa anggaran lebih (SAL), dan (6) sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa).
Dari beberapa instrumen tersebut, yang berpotensi menyumbang pembiayaan besar di masa depan adalah hasil pelunasan piutang pemerintah. Pasalnya, berdasarkan neraca 2008, total piutang pemerintah mencapai Rp91,1 triliun. Dalam rangka mengoptimalkan pembiayaan nonutang, sekurangnya ada tiga pendekatan yang bisa dijadikan alternatif penyelesaian. Pertama, terkait pelunasan piutang pemerintah dari pinjaman subsidiary loan agreement(SLA) dan rekening dana investasi (RDI).
Perlu diketahui, pinjaman SLA adalah pinjaman luar negeri yang diteruspinjamkan kepada BUMN/BUMD/pemda, sementara pinjaman RDI selama ini diberikan kepada BUMN/BUMD. Data menunjukkan, dari nilai awal pinjaman SLA/RDI pada era 1970-an sebesar Rp49,8 triliun di 85 BUMN, hingga Mei 2009 sebesar Rp35,3 triliun di 50 BUMN dikategorikan lancar dan sisanya sebesar Rp14,5 triliun di 35 BUMN menjadi kredit bermasalah.
Beberapa BUMN yang masih menunggak utang di antaranya PT Telkom, PT Semen Tonasa, PT PLN, dan PDAM. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan 17/PMK.05/ 2007 tanggal 19 Februari 2007, penyelesaian kredit macet pada BUMN tersebut bisa diselesaikan melalui empat metode, yaitu penjadwalan kembali,perubahan persyaratan, penyertaan modal negara (PMN),dan penghapusan.
Perlu digarisbawahi, mengingat instrumen pembiayaan pada prinsipnya untuk membantu kesulitan kas jangka pendek (cash flow) APBN, maka prioritas penyelesaian kredit bermasalah harus berorientasi pada tersedianya dana tunai (cash/cash equivalents) yang mampu membantu likuiditas APBN tersebut. Ini berarti prioritas penyelesaian adalah melalui reschedulling utang, sementara opsi PMN dan penghapusan harus menjadi pilihan terakhir.
Ini penting ditekankan mengingat selama ini banyak pihak mewacanakan agar piutang SLA/RDI di BUMN dikonversi menjadi PMN. Kedua, selain piutang dari SLA/RDI, pemerintah juga masih punya piutang lain. Satu contoh adalah piutang terhadap PT Pertamina sebesar Rp9,1 triliun yang ditetapkan menjadi pembiayaan nonutang pada APBN 2009. Secara historis, timbulnya piutang ini terkait dengan hasil rekonsiliasi utang piutang antara PT Pertamina dan pemerintah sebagai dasar penetapan neraca awal Pertamina tahun 2003 yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan 23/KMK. 06/ 2008.
Dari rekonsiliasi tersebut terlihat bahwa pemerintah mempunyai piutang terhadap PT Pertamina sebesar Rp9,1 triliun. Sayangnya, piutang pemerintah terhadap Pertamina tersebut diselesaikan melalui metode PMN atau dikonversi menjadi penyertaan modal. Akibatnya, tidak ada dana tunai yang masuk ke kas APBN 2009 dan ini sama sekali tidak membantu kesulitan defisit tahun berjalan. Hal ini tampak kurang sesuai dengan semangat penetapan piutang pemerintah sebagai sumber pembiayaan.
Padahal, kemampuan solvabilitas Pertamina sangat tinggi jika harus melunasi utang secara tunai. Sebagai informasi, laba bersih PT Pertamina pada 2007 dan 2008 adalah Rp19,5 triliun dan Rp30,2 triliun.Ke depan, penyelesaian piutang semacam ini sebaiknya juga berorientasi pada dana tunai yang masuk ke dalam kas APBN tahun berjalan. Ketiga, pada 2009 dan 2010, karena masih derasnya arus krisis ekonomi global dan belum stabilnya pasar finansial, pemerintah tidak menargetkan penerimaan pembiayaan dari privatisasi BUMN.
Sementara dalam periode 2005 - 2008, upaya privatisasi BUMN telah memberikan kontribusi pembiayaan tak kurang dari Rp5,5 triliun. Seiring tidak dilakukannya privatisasi BUMN pada 2009 - 2010, dalam periode tersebut pemerintah juga perlu mengurangi target dividen dari BUMN. Tujuannya sebagai momentum akselerasi bagi BUMN agar lebih leluasa menggunakan kemampuan finansialnya untuk ekspansi bisnis dan peningkatan produktivitas.
Selanjutnya, hal ini akan meningkatkan value creation pada BUMN dan menjadikannya bernilai tinggi ketika diprivatisasi, terlebih jika ditopang dengan pemulihan krisis finansial global. Sebagai catatan, tiga poin di atas pada dasarnya merupakan langkah optimalisasi pembiayaan nonutang dari sisi penerimaan pembiayaan (cash inflow). Adapun dari pengeluaran pembiayaan, langkah optimalisasi yang bisa ditempuh dalam jangka pendek adalah perlunya membatasi porsi PMN pada BUMN, khususnya BUMN besar yang sehat.
Untuk kepentingan investasi, pemerintah sebaiknya fokus pada pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang bernilai guna tinggi. (*)
Muhammad Romli
Analis Badan Kebijakan Fiskal Depkeu
Okezone.com