Penulis: Mochamad Bara Ampera, Dwika Darinda, Krisna Siwi Pratama Amrullah, Arga Purna Putra sebagai
Fenomena hijrah dan meningkatnya kesadaran beragama islam secara “kaffah” di masyarakat menjadi salah satu faktor pendorong peningkatan pangsa pasar keuangan syariah. Namun, dinamika ini dapat dikatakan belum diimbangi dengan kesiapan baik regulasi maupun pelaku usaha di sektor keuangan syariah sendiri. Oleh sebab itu, secara relatif sebagian masyarakat belum dapat dilayani secara optimal. Berkaitan dengan hal tersebut, infrastruktur perpajakan yang saat ini ada, dipandang beberapa pihak belum mampu untuk menciptakan level playing field sektor keuangan konvensional dan syariah.
Kajian “Perpajakan Sektor Keuangan Syariah” bermaksud membahas perkembangan serta faktor-faktor penyebab aset dan pangsa pasar keuangan syariah masih terbatas. Selain itu, kajian ini juga mencoba untuk memberi rekomendasi mengenai potensi kebijakan perpajakan serta bentuk dukungan yang dirasa perlu untuk mengembangkan sektor keuangan syriah terutama perbankan dan asuransi. Sehingga kedepannya, kontribusi sektor keuangan syariah terhadap perekonomian nasional dapat lebih optimal.
Beberapa rekomendasi yang penyusun berikan atas aspirasi dari industri adalah sebagai berikut:
1. Pajak atas produk investasi akad mudharabah bank syariah:
o Pajak atas investasi akad mudharabah, dapat dipersamakan baik dengan pajak deviden atau reksadana. Praktisi perbankan syariah hanya meminta perbedaan ketentuan perpajakan dengan simpanan dan deposito karena perbedaan nature-nya, dimana terdapat risiko lebih tinggi yang akan diterima investor.
o Jika return atas akad mudharabah dicatat sebagai pengurang penghasilan kena pajak, maka atas investor harus tetap menjadi Objek PPh (deductible untuk bank – taxable untuk investor).
2. Lembaga yang berbentuk bank syariah menjadi pengusaha kena pajak (PKP) dengan perhitungan khusus:
o Mekanisme perhitungan pajak tetap perlu disesuaikan dengan proses bisnis sesuai dengan ketentuan syariah.
o Dengan opsi ini, pada PP 44 tahun 2022 pasal 12 ayat 2 dimana penyerahan barang kena pajak dalam skema pembiayaan syariah untuk jaminan utang piutang tidak dikenakan pajak akan menambah efisiensi BUS atau BPRS. Sehingga tercipta level playing field dengan konvensional.
3. Peraturan tentang perlakuan pajak PPh atas surplus underwriting pada asuransi syariah:
o Pada dasarnya, surplus adalah dana yang sedari awal dimiliki oleh peserta takaful yang disimpan pada dana tabarru.
o Dana yang dikembalikan kepada pemilik asalnya tidak dikenakan pajak karena tidak menghasilkan tambahan kemampuan ekonomis (capital gain).
o Pajak dapat dikenakan atas pendapatan investasi dana tabarru’ sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengikuti level of playing field dengan perusahaan asuransi konvensional.
o Ujrah atau pendapatan yang diterima Perusahaan takaful juga dapat disesuaikan dengan perlakuan pada perusahaan asuransi.
4. Peraturan tata kelola dan perpajakan akad murabahah hakiki:
o Meskipun aturan murabahah hakiki tidak diatur dalam UU P2SK, tetapi terdapat aspirasi masyarakat agar bank syariah melakukan transaksi tersebut.
o Hal ini bertujuan agar aktivitas mereka sesuai dengan prinsip syariah. Dalam arti, keuntungan yang diperoleh bank syariah mengandung iwadh (penggantian atau imbalan) terutama usaha dan risiko.
o Untuk memastikan tidak adanya pengenaan pajak berganda jika dibandingkan dengan produk leasing konvensional maka sangat diperlukan penegasan perlakuan perpajakan yang mengatur murabahah hakiki.
5. Perubahan aturan terkait ujrah pada kontribusi yang dibayarkan peserta takaful:
o PMK nomor 67 tahun 2022 belum menjelaskan perlakuan perpajakan terkait ujroh.
o Perlu diberikan perlakuan yang sama antara penghasilan yang diterima asuransi konvensional dan Syariah yang berasal dari peserta asuransi melalui penegasan dalam bentuk SE DJP melengkapi PMK dimaksud.
6. Ketentuan tentang peralihan aset untuk tujuan spin-off unit usaha syariah:
o Spin off perbankan syariah dapat menggunakan nilai buku sebagaimana diatur dalam PMK 56 tahun 2021.
7. Perlakuan PPN shared service antara perusahaan keuangan konvensional dan syariah: o Perlu penegasan terkait shared service yang di sediakan in house tidak dikenakan PPN.
o Studi perbandingan di Malaysia menunjukkan bahwa meski Islamic windows (UUS) telah berubah status menjadi perusahaan sendiri (BUS) namun perlakuan perpajakannya tidak jauh berubah.
8. Akad tawarruq dalam rangka pengembangan Bullion Bank:
o Saat ini Indonesia sedang dalam proses pembentukan bullion bank yang memiliki prinsip universal bank, di mana emas akan dianggap sebagai aset keuangan (efek) daripada komoditas atau mata uang. Transaksi emas nantinya akan berbasis surat berharga dengan underlying emas, yang berpotensi memperluas pasar keuangan berbasis emas.
o Masih terdapat berbagai kemungkinan skenario penerapan bullion bank menyebabkan pengaturan terkait hal ini dapat diatur dikemudian hari.
o Status emas sebagai aset keuangan (efek) dan bukan komoditas bisa membuat transaksi non tunai dengan perbedaan harga dapat dikategorikan sebagai riba.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.