Urgensi Undang-Undang Kerjasama Pemerintah-Swasta
Penulis: Makmun
Sejalan dengan semakin terbatasnya anggaran pemerintah baik untuk investasi awal sampai dengan biaya pemeliharaannya untuk melakukan investasi pada infrastruktur, maka kondisi inilah yang melandasi pemikiran untuk mengundang pihak swasta untuk melakukan investasi pada bidang ini dengan dengan prinsip-prinsip pengusahaan yang sehat. Konsep ini sekarang dikenal dengan Public- Private Partnership atau kerjasama pemerintah dan swasta (KPS).
Terdapat banyak jenis KPS, diantaranya adalah bentuk kerjasama dimana biaya menggunakan layanan ditanggung oleh pengguna jasa dan bukan oleh pembayar pajak. Bentuk lainnya, penanaman modal dilakukan oleh sektor swasta berdasarkan suatu kontrak dengan pemerintah untuk memberikan pelayanan yang disepakati dan biaya penyediaan layanan ini ditanggung sepenuhnya atau sebagian oleh pemerintah. Kontribusi pemerintah ke KPS mungkin juga dalam bentuk pengalihan aset. Dalam proyek-proyek yang bertujuan menciptakan barang-barang publik seperti di infrastruktur sektor, pemerintah dapat memberikan modal subsidi dalam bentuk hibah , sehingga membuatnya lebih menarik bagi para investor swasta. Dalam beberapa kasus lain, pemerintah dapat mendukung proyek tersebut dengan memberikan subsidi pendapatan, termasuk keringanan pajak atau dengan menyediakan pendapatan tahunan dijamin untuk jangka waktu tertentu.
Model KPS untuk pertama kalinya diperkenalkan pada tahun 1992 oleh John Major di Inggris melalui Private Finance Initiative (PFI). Program ini bertujuan untuk mendorong kemitraan publik-swasta. Sejumlah negara, seperti Australia mengadopsi program serupa yang dikenal dengan Victoria Partnership. Kesimpulan yang didapat dari praktek model KPS ini adalah ternyata dalam berbagai kasus kebutuhan investasi yang diusulkan swasta jauh lebih rendah daripada model standar pengadaan publik (Economic Planning Advisory Commission- EPAC 1995) House of Representatives Standing Committee on Communications Transport and Microeconomic Reform 1997; Harris 1996; Industry Commission 1996; Quiggin 1996).
UU KPS
KPS untuk pertama kalinya diterapkan di Indonesia dan diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Perpres ini dilatarbelakangi bahwa ketersediaan infrastruktur yang memadai dan berkesinambungan merupakan kebutuhan mendesak untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat serta untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam pergaulan global. Disatu sisi Perpres ini dapat berpotensi menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain dapat pula menjadi petaka bagi Pemerintah Daerah.
Adapun jenis infrastruktur yang dapat dikerjasamakan meliputi: a) infrastruktur tranportasi yang terdiri dari pelabuhan laut, sungai atau danau, bandar udara, jeringan rel dan stasiun kereta api, b) infrastruktur jalan meliputi tol dan jembatan tol, c) infrastruktur pengairan meliputi saluran pembawa air baku, d) infrastruktur air minum yang meliputi bangunan pengambilan air baku, infrastruktur jaringan transmisi, jaringan distribusi, instansi pengolahan air minum, e) infrastruktur air limbah yang meliputi instalasi pengolahan air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan, f) infrastruktur telekomunikasi, meliputi.jaringan telekomunikasi, g) infrastruktur ketenagalistrikan yang meliouti transmisi atau distribusi tenaga listrik, dan h) infrastruktur minyak dan gas bumi yang meliputi pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, transmisi, atau distribusi minyak dan gas bumi.
Perpres 67/2005 kini telah direvisi menjadi Keputusan Presiden (Kepres) No. 13/2010 tentang Pengganti Perpres No. 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah Swasta. Salah satu perubahan signifikan adalah pemerintah mengizinkan adanya pengalihan saham proyek infrastruktur meskipun belum beroperasi. Sebelumnya, struktur kepemilikan saham proyek infrastruktur dilarang untuk beralih sebelum beroperasi. Sebagaimana diketahui bahwa dari 22 ruas jalan tol yang tengah digarap, hampir separuhnya mandek karena kesulitan ekuitas. Proyek jalan tol yang tersendat ini disarankan untuk mencari mitra strategis untuk membantu keuangan. Namun, akusisi proyek itu masih belum bisa dilakukan karena aturannya belum memungkinkan.
Dalam konteks KPS, permasalahan yang dihadapi adalah bahwa pengaturannya baru sampai level Perpres. Pengaturan seperti ini banyak mengandung kelemahan, karena tidak menutup apabila terjadi perubahan rezim kepemimpinan, maka Perpres berpotensi untuk diubah atau dibatalkan. Tentunya perubahan atau pembatalan ini dapat berpotensi merugikan pemerintah sendiri maupun pihak swasta karena adanya penjaminan pemerintah atas risiko politik risiko politik (political risk). Berdasarkan penjaminan tersebut, risiko yang ditimbulkan oleh kebijakan sepihak dari pemerintah atau negara yang secara langsung dan signifikan berdampak pada kerugian finansial Badan Usaha, yang meliputi risiko pengambilalihan kepemilikan aset, risiko perubahan peraturan pendundang-undangan, dan risiko pembatasan konversi mata uang dan larangan repatriasi dana.
Penyempurnaan Perpres 67/2005 menjadi Kepres No. 13/2010 memang merupakan suatu kemajuan, namun ini dirasa belum cukup. Untuk itu diperlukan adanya Undang-Undang tentang KPS. Keberadaan UU ini bukan saja dimaksudkan untuk mengeliminir potensi kerugian pemerintah akibat risiko politik, namun juga diharapkan mampu memacu swasta dalam berpartisipasi mengerjakan proyek-proyek infrastruktur yang dikerjasamakan melalui model KPS, karena adanya kepastian hukum. Dengan UU ini juga diharapkan adanya standardisasi dalam KPS di berbagai sektor, karena selama ini belum ada UU sektoral yang mengatur masalah KPS.
Oleh: Makmun
Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Info Risiko Fiskal, Edisi Juni 2010