Penulis: Ragimun
Sepanjang tahun 2011, harga gula di Indonesia terus berfluktuasi, apalagi menjelang hari raya. Saat-saat seperti ini tentu permintaan gula meningkat. Akibatnya harga gula eceran bisa tembus lebih dari Rp 10.000 per kilogram, dimana harga normalnya hanya berkisar Rp 7.000 per kg. Di Indonesia gula pasir terutama merupakan barang konsumsi yang strategis nomor dua setelah beras. Pada umumnya masyarakat mengkonsumsi gula terutama gula pasir adalah sebagai pemanis maupun bahan pengawet terutama digunakan sebagai bahan industri makanan dan minuman.
Upaya yang dilakukan pemerintah selama ini terkait dengan ketersediaan gula nasional merupakan revitalisasi program ketahanan pangan. Ketahanan pangan sendiri terkandung makna kemampuan bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya atas ketersediaan bahan makan dalam jumlah cukup, mutu yang layak, aman dan halal. Sebagai salah satu indikator untuk mengukur ketersediaan pangan nasional adalah ada dan tidaknya impor atau dengan kata lain adanya swasembada gula nasional. Pertanyaannya tentu, seriuskah pemerintah mewujudkannya.
Selama perjalanan sejarah di Indonesia, swasembada gula pernah terjadi semasa penjajahan Belanda, yaitu sekitar tahun 1930an. Saat itu produksi gula mencapai 3 juta ton pertahun. Hampir separuhnya diekspor, sehingga Indonesia saat itu merupakan pengekspor gula nomor dua setelah Kuba. Produk sebanyak itu didukung oleh 179 pabrik gula serta areal lahan tebu mencapai 196,65 ribu hektar. Namun setelah kemerdekaan dan pabrik gula dinasionalisasi justru secara perlahan produksi gula semakin menurun. Demikian juga beberapa areal lahan tebu sekarang ini banyak berubah menjadi perumahan, pabrik maupun pertokoan. Dengan semakin meningkatkatnya permintaan gula saat ini, semestinya Indonesia dapat berswasembada gula kembali bukan mengandalkan penyelesaian sesaat dengan melakukan impor gula. Yang efeknya jelas dalam jangka panjang Indonesia akan menjadi negara adiktif gula impor dan akan dipermainkan negara lain maupun importir nakal.
Belum lagi masalah disparitas harga gula dalam negeri yang lebih tinggi dibanding harga gula internasional. Hal ini disebabkan antara lain kurang efisiennya produksi gula dalam negeri. Disparitas harga dan permintaan gula dalam negeri inilah yang tentu saja mendorong impor gula dan masuknya impor gula ilegal.
Bila melihat perkembangan kondisi pergulaan nasional saat ini terutama kebijakan tata niaga gula, memang sudah tidak sesuai lagi. Opsi Pemerintah membentuk buffer stock gula guna menstabilisasi harga gula di pasaran dengan mengaktifkan Bulog sebagai Public Service Obligation (PSO) gula memang dapat dipertimbangkan. Bila kita melihat (best practice ) beberapa negara tetangga, hampir tiap negara memiliki buffer stock gula, guna menstabilisasi harga gula dalam negerinya.
Adanya buffer stock gula diharapkan dapat menstabilkan harga gula, sehingga secara efektif dapat melindungi kepentingan konsumen. Selama ini kebijakan pergulaan nasional yang diatur dengan SK 527/2004 tersebut diarahkan untuk melindungi petani dan produsen/pabrik gula. Sedangkan kepentingan konsumen diabaikan, sehingga konsumen harus menanggung lonjakan harga akibat gejolak kenaikan harga gula. Namun satu hal yang menjadikan perhatian pemerintah terkait perlindungan konsumen, mempunyai konotasi lain sebagai perlindungan terhadap importir bila produksi gula nasional tidak mencukupi. Yang tentu saja akan ditentang oleh produsen gula atau petani tebu.
Produksi gula nasional sekarang ini kurang lebih 2,3 juta ton/tahun, sedangkan konsumsi nasional mencapai 5,01 juta ton/tahun sehingga masih kekurangan pasokan gula sebesar 2,7 juta ton/tahun (Aris Toharisman, Maret 2011). Sedangkan luas lahan tebu di Indonesia sekarang ini 478.20 hektar (Indonesia Commercial Newsletter, 2010) dan 246.215 hektar atau lebih dari 50 persen berada di pulau Jawa.
Insentif
Oleh karena itu bila menginginkan swasembada gula maka perlu diarahkan perluasan lahan di beberapa wilayah lainnya seperti di Pulau Sumatra seperti daerah Lampung, Sumatera Selatan, Sumatra Utara dan lain-lain. Demikian juga wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua.
Disisi lain terkait dengan tata niaga impor gula, dan keberpihakan pemerintah terhadap produsen/petani tebu dan konsumen hendaknya pemerintah melakukan pembatasan impor gula, namun disisi lain terus mendorong industri gula dalam negeri dengan pemberian beberapa insentif fiskal. Seperti pembebasan bea masuk dan penangguhan PPN bagi industri gula untuk mengimpor mesin dan peralatan maupun bahan penolong produksi gula guna mendorong berdirinya pabrik gula. Bagi industri gula/pabrik gula yang mengekspor bahan baku gula, turunan industri gula (tetes tebu misalnya) atau produk gula ke luar negeri semestinya pemerintah dapat memberlakukan pungutan ekspor. Demikian juga untuk industri gula/PTPN Gula dapat diberlakukan Domestic Market Obligation (DMO) yang besarnya diatas 70 persen gula nasional atau disesuaikan dengan fluktuasi harga gula internasional. Sehingga kecukupan akan kebutuhan gula dalam negeri dapat teratasi. Demikian juga guna membantu pembiayaan tanam tebu, pemerintah dapat memberikan kemudahan dan penyederhanaan berbagai skim pembiayaan kredit seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) maupun Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE).
Akhirnya, kalaulah ide kebijakan buffer stock (penyangga) gula oleh Bulog akan diterapkan terkait sebagai pengadaan gula impor untuk stock gula nasional maka hal ini juga belum cukup, karena tentu saja akan berimbas pada beban subsidi pemerintah. Namun yang paling pas tentu mengembalikan kepada hakekat stock gula yang berasal dari swasembada nasional yaitu tersedianya produk gula dalam negeri. Sepertinya kebijakan ini tinggal meriilkan saja dan pemerintah hendaknya lebih serius karena baik sumber daya manusia dan sumber daya alamnya tersedia melimpah.
Oleh : Ragimun
Peneliti Pusat Kebijakan Ekonomi Makro
Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.