Kasus Gayus dan Pencapaian Target Pajak
Penulis: Makmun
Sungguh mengejutkan, ternyata berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan sementara yang dilakukan Polri, harta tersangka Gayus Halomoan Tambunan mencapai Rp 100 miliar. Dari total harta tersebut Rp 74 miliar yang disimpan di safety box di bank dan Rp 25 miliar berada di rekening. Uang tersebut diduga hasil tindak pidana selama Gayus menjabat sebagai pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
Trik manupulasi kasus pajak yang dilakukan oleh Gayus adalah dengan cara mendorong para wajib pajak yang mengeluarkan keberatan atas jumlah pajak yang seharusnya dibayar untuk menggugat ke Pengadilan Pajak. Selanjutnya pada saat mewakili pemerintah di Pengadilan Pajak, Gayus memberikan uraian yang justru melemahkan posisi pemerintah. Dalam proses persidangan Gayus menjadi makelar yang mengatur proses persidangan dengan tujuan memenangkan wajib pajak.
Trik yang dilakukan Gayus sungguh sangat mennggoda para wajib pajak. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus yang ditangani Gayus yang konon mencapai 51 kasus banding dan 40 diantaranya dimenagkan oleh pihak perusahaan. Angka ini mungkin saja bisa bertambah, karena diduga Gayus masih kurang kooperatif terhadap para penyidik. Yang pasti dengan menggunakan jasa Gayus bukan saja perusahaan akan menghemat dalam membayar pajak, tapi mungkin saja ada pihak-pihak dari perusahaan yang mengurusi pajak ini juga akan menerima “durian runtuh�.
Target Pajak
Terkait dengan target penerimaan pajak, terdapat beragam komentar yang bermunculan atas dampak kasus Gayus. Di satu sisi terdapat pendapat yang mengatakan bahwa terungkapnya kasus Gayus tidak mempengaruhi target pendapatan pajak tahun 2010. Kasus ini justru akan meningkatkan pendapatan pajak pada tahun ini. Mereka berasumsi bahwa pegawai dan pembayar pajak akan takut sehingga tidak ada lain main mata. Sementara itu Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Mochamad Tjiptardjo menilai bahwa target penerimaan pajak tahun 2010 sebesar Rp 611 triliun bisa meleset apabila mencuatnya kasus mafia pajak yang dilakukan Gayus tidak ditangani dengan baik.
Asumsi bahwa kasus Gayus tidak akan berdampak pada penerimaan pajak tahun 2010 bisa dibenarkan apabila antara wajib pajak dan petugas pajak takut bermain mata lagi. Fakta menunjukkan bahwa sejak munculnya kasus Gayus para pegawai Direktorat Jenderal Pajak banyak yang menerima stigma dari masyarakat karena dianggap berperilaku tidak berbeda dengan Gayus. Akibatnya para pegawai Dirjen Pajak kerap enggan memakai identitasnya di tempat umum. Pegawai pajak kadang-kadang mendapatkan sindiran atau cemoohan dari masyarakat sebagai ‘gayus’.
Tentunya para pegawai Ditjen Pajak risih dengan tudingan di atas, karena dari sekitar 32.000 pegawai pajak, masih banyak yang memiliki profesionalisme dan bekerja dengan baik. Mereka menerima dampak stigma dari kasus Gayus. Artinya, kasus Gayus menjadi pengalaman pahit karena sangat terkait dengan kepercayaan masyarakat. Permasalahannya justru dari sejumlah pegawai Ditjen Pajak yang berprilaku menyimpang seperti Gayus ini yang akan berdampak pada pencapaian target pajak. Tidak mudah menghilangkan kebiasaan ini. Di negeri ini sudah banyak pejabat, baik pusat maupun daerah, yang masuk bui karena korupsi. Namun faktaknya masih banyak pejabat yang masih saja melakukan tindak korupsi.
Dalam konteks kasus makelar pajak, diduga Gayus tidak bermain sendiri saat menerima suap dari sejumlah pihak. Ditengarai Gayus mempunyai jaringan kuat untuk bisa memanipulasi pajak. Hal ini terbukti dengan terkuaknya atasan Gayus yang menerima aliran dana sebesar Rp 13,7 miliar. Disamping itu ada pula dugaan bahwa banyak aparat pajak yang di Ditjen Pajak yang juga berprofesi rangkap sebagai makelar pajak. Apabila diasumsikan 1 persen dari total pegawai Ditjen Pajak yang mencapai 32.000 pegawai berprofesi ganda seperti Gayus, tersangka markus pajak Rp 100 miliar, maka negara akan kehilangan penerimaan pajak hingga Rp32 triliun. Dapat kita banyangkan berapa kerugian negara apabila jumlah pegawai pajak yang mengikuti jejak Gayus ini mencapai 10% dan seterusnya.
Untuk itu setidaknya agar kasus serupa tidak terjadi lagi, ada dua hal yang seharusnya dilakukan. Pertama, dengan memperbaiki sistem pengawasan. pada Ditjen Pajak. Tanpa penanganan yang cepat, dikhawatirkan kasus ini akan berdampak pada persepsi masyarakat untuk membayar pajak. Apabila penegakan hukumnya lemah, bukan tidak mungkin masyarakat akan semakin apatis dan malas membayar pajak, dan kedua, mereformasi kembali Ditjen Pajak. Jika dipandang perlu, adakan rotasi besar-besaran pegawai pada Ditjen Pajak. Melalui pola rotasi ini diharapkan dapat memutus jalur hubungan antara pegawai pada Ditjen Pajak dengan wajib pajak. Reformasi secara menyeluruh juga harus diberlakukan pula pada Pengadilan Pajak. Data menunjukkan, Ditjen Pajak justru lebih sering dikalahkan oleh wajib pajak di tingkat Pengadilan Pajak. Kekalahan ini tidak terlepas dari peran para mafia pajak.
Perlu disadari bahwa sampai saat ini, bahkan mungkin ke depan, pajak akan terus menjadi primadona penerimaan negara. Pajak merupakan penerimaan negara yang memiliki unsur "kepastian" dalam menyediakan sumber pembiayaan anggaran negara. Pajak juga merupakan satu-satunya penerimaan negara yang "aman" bagi ketahanan perekonomian.
Satu nuansa berbeda yang terjadi selama pelaksanaan sunset policy adalah adanya kesadaran dan partisipasi masyarakat yang tinggi untuk membayar pajak. Terlepas dari kebijakan tersebut ada unsur fasilitas dan insentif, yang pasti sebagai sebuah instrumen perpajakan sunset policy secara signifikan mampu mendorong peningkatan kepatuhan masyarakat terhadap pajak. Tingkat kepatuhan yang sudah cukup baik ini jangan sampai runtuh gara-gara kasus Gayus.
Oleh: Makmun
Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementrian Keuangan