Penulis:
Krisis ekonomi global, baik yang terjadi belakangan ini maupun yang terdahulu, beserta berbagai dampaknya, telah banyak diulas dan dikemukakan oleh berbagai media masa. Masyarakat luas pun telah semakin memahami bahwa perekonomian dunia kini tengah diuji. Dunia kini tengah memasuki fase perekonomian yang diwarnai dengan ketidakpastian dan kerentanan yang meningkat, sehingga dibutuhkan koordinasi dalam skala internasional untuk mengatasinya. Seiring dengan upaya untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan dampak krisis ekonomi dunia terhadap Indonesia, Pemerintah Indonesia selalu mengawasi secara ketat perkembangan ekonomi dan peristiwa di kawasan Eropa serta Amerika Serikat. Namun demikian, berdasarkan pengalaman Indonesia pada krisis ekonomi dunia yang terjadi di tahun 2008-2009 lalu, Pemerintah Indonesia merasa optimis bahwa perekonomian Indonesia akan mampu bertahan terhadap berbagai guncangan yang timbul dari krisis ekonomi dunia saat ini. Bahkan sebenarnya, seperti pepatah yang mengatakan bahwa “Every cloud has a silver lining”, tidak tertutup kemungkinan bahwa krisis ekonomi dunia saat ini justeru merupakan momentum yang membawa kesempatan besar bagi peningkatan kinerja perekonomian Indonesia selanjutnya.
Meskipun resiko ketidakpastian global masih terus membayangi perekonomian dunia, Pemerintah Indonesia sama sekali tidak berniat untuk berpangku tangan menunggu tayangan episode akhir dari krisis saat ini, sebelum kemudian memutuskan langkah yang akan diambil untuk memajukan perekonomian Indonesia. Indonesia secara konsisten akan melanjutkan transformasi ekonominya, dari yang semula menitikberatkan pada industry pertanian, menuju komposisi ekonomi yang lebih berimbang antara sektor pertanian, manufaktur dan jasa. Diversifikasi ekonomi ini diperkirakan mampu meningkatkan kekuatan dan kapasitas ekonomi Indonesia, baik untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan standard hidup masyarakat Indonesia sendiri, maupun dalam menghadapi guncangan perekonomian dunia.
Telah banyak literatur yang menunjukkan bahwa pilar utama dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkesinambungan adalah investasi. Investasi dimaksud dapat berupa investasi dalam pembangunan yang bersifat fisik, seperti infrastruktur, gedung dan pabrik, investasi yang membangun manusia nya, seperti pelatihan dan pendidikan, maupun investasi yang dilakukan melalui instrumen keuangan, seperti modal dan pinjaman. Untuk mencapai tingkat investasi yang dibutuhkan Indonesia, Pemerintah selama ini secara konsisten mempromosikan berbagai peluang investasi di Indonesia, baik terhadap investor dalam negeri maupun investor luar negeri. Sebagai salah satu hasilnya, belakangan ini lembaga rating internasional “Fitch” menyatakan bahwa Indonesia meraih credit rating dengan peringkat investment grade (BBB-). Hal ini tentunya merupakan nilai tambah positif bagi Indonesia di mata para investor. Dan bukan tidak mungkin, bila Indonesia mampu menjaga dan memanfaatkan momentum yang ada, credit rating Indonesia dapat terus ditingkatkan di masa depan.
Permasalahan dan Tantangan dalam Menarik Investasi Permanen
Pemerintah Indonesia memilih berfokus pada upaya menarik jenis investasi jangka panjang. Hal ini dilakukan dalam rangka menjamin stabilitas dan kesinambungan pembangunan. Keberadaan dana jangka pendek, yang pada umumnya diberikan dalam bentuk investasi pada instrumen pasar uang (portofolio investment), di satu pihak memang memberikan manfaat dalam bentuk ketersediaan likuiditas bagi perekonomian sehingga meningkatkan kesempatan bagi pengusaha lokal untuk meningkatkan bisnisnya. Namun demikian, di lain pihak, pengalaman Indonesia dalam periode krisis keuangan (dunia) di tahun 1997 yang lalu mengajarkan bahwa pada saat perekonomian domestik semakin terhubung dengan perekonomian dunia, maka tingkat sensitivas ekonomi domestik terhadap perubahan sentimen pasar global dan pembalikan dana jangka pendek juga turut meningkat. Meskipun turut disadari pula bahwa volatilitas ekonomi yang terjadi pada saat itu juga mencerminkan adanya kelemahan manajemen keuangan dan alokasi modal dalam perekonomian domestik. Selain itu, seberapa besar peran jenis investasi jangka pendek ini dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia terletak pada kemampuannya dalam menunjang aktivitas ekonomi di sektor riil. Oleh karena itu, untuk dana jangka pendek ini, transmisi ke sektor riil merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan.
Tidak dipungkiri bahwa krisis ekonomi global yang melanda kawasan Amerika, Eropa dan sekitarnya belakangan ini sebenarnya juga membawa angin segar bagi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari derasnya dana asing (capital inflow) yang masuk ke Indonesia. Namun demikian, mengingat kepanikan akibat ketidakpastian situasi ekonomi dalam krisis keuangan saat ini masih melanda investor dunia, serta belum penuhnya kepercayaan investor dunia terhadap kredibilitas negara berkembang sebagai tempat penanaman investasi mereka, maka fenomena yang ada saat ini menunjukkan bahwa para investor cenderung memilih menempatkan dana mereka dalam jenis investasi jangka pendek, sambil mengamati dan menunggu (wait and see) pulihnya ekonomi Amerika serta Eropa dan sekitarnya. Di Indonesia, fenomena ini ditunjukkan dengan lebih dipilihnya jenis investasi portofolio dibandingkan jenis investasi jangka panjang oleh para investor. Misalnya, adanya peningkatan yang cukup signifikan atas net foreign buying serta Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam transaksi saham di Bursa Efek Indonesia selama kurun waktu enam bulan terakhir serta membanjirnya dana asing melalui penjualan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) kepada pihak asing.
Dalam mendapatkan dana asing tersebut, Indonesia juga harus bersaing dengan negara-negara sekitar yang memiliki kepentingan sama. Bahkan saat ini, banyak di antara negara-negara tetangga tersebut yang telah siap secara infrastruktur, kemudahan perijinan, kesederhanaan regulasi, sampai dengan penyediaan fasilitas-fasilitas fiskal untuk menarik investor dalam menanamkan investasinya di negara tersebut. Keberadaan fenomena preferensi investor asing dan ketatnya kompetisi dengan negara sekitar tersebut tentunya merupakan kondisi yang mempersulit Indonesia dalam menarik investasi jangka panjang berupa Penanaman Modal Asing (PMA) ke Indonesia. Namun demikian, untuk mencapai pertumbuhan perekonomian negara yang diharapkan, kedua hal tersebut merupakan tantangan yang harus dapat disikapi dengan baik oleh Indonesia.
Kebijakan Penerbitan Fasilitas Tax Holiday
Dengan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut dan setelah melalui proses perumusan yang panjang, pada tanggal 15 Agustus 2011 yang lalu, Kementerian Keuangan Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan, atau yang lebih umum dikenal dengan sebutan Tax Holiday (PMK Tax Holiday). PMK Tax Holiday ini diluncurkan dengan tujuan untuk menarik dana investasi jangka panjang ke Indonesia, khususnya investasi baru yang ditanamkan dalam kelompok industri pionir di Indonesia, sehingga diharapkan dapat mendukung percepatan pertumbuhan industri pionir dimaksud. Dalam konteks Tax holiday, industri pionir didefinisikan sebagai industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. Industri pionir tersebut mencakup industri logam dasar, industri pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam, industri permesinan, industri di bidang sumberdaya terbarukan, dan/atau industri peralatan komunikasi.
Wajib pajak yang dapat diberikan fasilitas Tax Holiday adalah wajib pajak badan baru yang memenuhi 4 (empat) kriteria. Pertama, wajib pajak badan tersebut bergerak dalam industri pionir. Kedua, wajib pajak badan tersebut mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah). Ketiga, wajib pajak badan tersebut menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total rencana penanaman modal yang tidak boleh ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal dimaksud. Keempat, wajib pajak badan tersebut harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sebelum PMK Tax Holiday mulai berlaku atau pengesahannya ditetapkan sejak atau setelah berlakunya PMK Tax Holiday ini. Mengingat PMK Tax Holiday dinyatakan berlaku sejak tanggal diundangkan, yakni 15 Agustus 2011, maka wajib pajak yang dapat diberikan fasilitas Tax Holiday ini adalah wajib pajak badan yang memperoleh pengesahan status hukum sejak atau setelah tanggal 15 Agustus 2010.
Fasilitas yang diberikan dalam kebijakan Tax Holiday ini mencakup pembebasan pajak penghasilan badan bagi untuk jangka waktu 5 (lima) hingga 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tahun pajak dimulainya produksi komersial. Setelah periode pemberian fasilitas Tax Holiday tersebut, perusahaan yang memenuhi syarat masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan fasilitas tambahan berupa pengurangan tarif pajak penghasilan badan sebesar 50% (lima puluh persen) selama 2 (dua) tahun berikutnya. Disamping itu, dengan mempertimbangkan kepentingan mempertahankan daya saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat memperpanjang periode pemberian fasilitas Tax Holiday tersebut.
Untuk memperoleh fasilitas Tax Holiday tersebut, wajib pajak dapat menyampaikan permohonan kepada Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Penyampaian usulan tersebut harus disertai dengan uraian penelitian mengenai ketersediaan infrastruktur di lokasi investasi, perkiraan penyerapan tenaga kerja domestik, kajian mengenai pemenuhan kriteria sebagai Industri pionir, rencana tahapan alih teknologi yang jelas dan konkret, serta adanya ketentuan mengenai tax sparing di negara domisili. Tax sparing adalah pengakuan pemberian fasilitas pembebasan dan pengurangan yang didapatkan dari Indonesia dalam penghitungan Pajak Penghasilan di negara domisili sebesar fasilitas yang diberikan.
Setelah melalui beberapa penilaian awal, usulan dimaksud akan dikirimkan kepada Komite Verifikasi untuk diperiksa lebih lanjut. Komite Verifikasi terdiri dari perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Minsitry Keuangan, Departemen Perindustrian, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Jika disetujui oleh Komite, Menteri Keuangan akan mengeluarkan Surat Keputusan untuk memberikan tax holiday kepada investor.
Sebagaimana sering dikemukakan dalam pembahasan literatur terkait, keberadaan Tax Holiday memang selalu melibatkan trade-off antara potensi penerimaan negara yang dapat dihasilkan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara. Meskipun dalam jangka pendek biaya merupakan satu hal yang sudah pasti bagi negara, namun seiring dengan meningkatnya volume investasi asing di Indonesia yang dapat dijaring, disertai lapangan kerja yang mampu diciptakannya, maka pemberian fasilitas Tax Holiday ini diyakini dapat menunjang pertumbuhan perekonomian jangka panjang Indonesia.
Namun demikian, fasilitas Tax Holiday itu sendiri tidak akan mampu menjadi satu-satunya motor penggerak transformasi ekonomi yang dicita-citakan Indonesia. Keberadaannya pada prinsipnya merupakan pelengkap bagi kebijakan menarik investasi permanen lainnya, yang secara bersama-sama, ditujukan untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Prioritas utama bagi Indonesia dalam hal ini adalah reformasi kebijakan di bidang infrastruktur, yang diupayakan melalui kombinasi antara pengeluaran Pemerintah dan skema Public Private Partnership (PPP) sepanjang dimungkinkan, dengan tujuan untuk menekan biaya investasi di Indonesia. Dengan komposisi seluruh kebijakan tersebut, Pemerintah Indonesia meyakini bahwa masih banyak peluang yang dapat dimanfaatkan oleh investor di Indonesia melalui ketersediaan berbagai kemudahan perpajakan ini serta upaya peningkatan iklim usaha lainnya yang selama ini diupayakan oleh Pemerintah Indonesia.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.