Penulis:
Era pasar global dan liberalisasi perdagangan dunia membuat kerjasama perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement-FTA) antara Indonesia (sebagai bagian dari ASEAN) dengan Australia dan New Zealand merupakan sesuatu kondisi yang tidak terelakkan mengingat pelaku-pelaku pasar sangat membutuhkan kelancaran pasokan baik berupa material maupun jasa sebagai input dalam rangka memproduksi output. KErjasama perjanjian perdagangan idealnya memberikan keuntungan bagi seluruh pihak-pihak yang melakukan perjanjian, oleh karena itu sebagai pihak yang mewakili kepentingan bangsa Indonesia, pemerintah sangat berperan aktif menentukan arah kebijakan perdagangan yang menguntungkan Indonesia dimasa kini maupun yang akan datang. Pada kenyataannya keunggulan yang dimiliki Indonesia sampai saat ini menunjukkan bahwa Indonesia masih didominasi ekspor minyak dan gas bumi. Sementara itu ekspor non migas Indonesia masih didominsi oleh barang mentah (primary goods, dan utnuk eskpor barang setengah jadi (intermediary goods) dan barang jadi (finished goods) dari Indonesia cenderung memiliki daya saing yang rendah, sehingga dikhawatirkan defisit perdagangan Indonesia dengan Australia maupun New Zealand akan semakin membesar.
Dalam perundingan FTA dengan Australia dan New Zealand, pemerintah harus mengedepankan kepentingan domestik. Untuk itu dalam proses negosiasi kerjasama FTA pemerintah harus mempertimbangkan daya saing perusahaan di dalam negeri, dampaknya terhadap kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan pendapatan pemerintah dari bea masuk impor meskipun kemungkinan nilainya tidak terlalu signifikan.
Keputusan kerjasama FTA dengan Australia dan New Zealand selayaknya mempertimbangkan pula pengalaman dalam berbagai FTA yang sudah dijalankan pemerintah selama ini. Berdasarkan serangkaian kerjasama FTA yang diikuti oleh Pemerintah Indonesia selama ini, secara umum cenderung merugikan Indonesia. Namun demikian harus diakui pula bahwa terdapat beberapa kerjasama FTA yang menguntungkan Indonesia. Hal ini terefleksi pada kinerja perdagangan antara Indonesia dengan beberapa negara mitra dagang. Kerjasama FTA yang cenderung merugikan Indonesia adalah: Pertama, perjanjian FTA ASEAN Economis Community. Dampak negatif mulai dirasakan tiga tahun sejak Indonesia bergabung dengan FTA ASEAN, tepatnya 2005 dimana neraca perdagangan Indonesia terus mengalami defisit. Sebelum bergabung dengan FTA ASEAN (2004) neraca perdagangan Indonesia tercatat surplus USD 1,466 juta. Setelah setelah bergabung dengan FTA ASEAN, posisi neraca perdagangan Indonsia cenderung semakin defisit, yakni dari defisit sebesar USD 0,455 juta (2005) menjadi USD 6,234 juta (2010)
Kedua, perjanjian FTA Indonesia-China. Pada awalnya kerjasama ini menguntungkan Indonesia bahkan surplus perdangan cenderung semakin besar. Pada tahun 2004 neraca perdagangan Indonesia-China surplus sebesar USD 0,504 juta dan pada tahun 2007 meningkat menjadi USD 1,118 juta. Seiring dengan derasnya aliran produk-produk China yang masuk ke Indonesia, sedangkan di sisi lain ekspor Indonesia, terutama kelompok barang mentah yang selama ini menjadi unggulan, mengalami penurunan, maka neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit. Pada tahun 2008 neraca perdagangan Indonesia-China defisit sebesar USD 3,631 juta dan pada tahun 2010 menjadi defisit sebesar USD 4,732 juta.
Beberapa kerjasama FTA yang cenderung menguntungkan Indonesia adalah: Pertama, perjanjian FTA Indonesia dengan Korea Selatan. Sebelum dilakukan kerjasama FTA dengan Korea Selatan, neraca perdangan Indonesia surplus sebesar USD 4,82 juta dan pada tahun 2010 surplus dagang meningkat menjadi USD 4,89 juta. Surplus dagang ini disebabkan meningkatnya eskpor migas. Sementara itu ekspor non migas ke Korea Selatan juga terus meningkat, akan tetapi surplus dagang untuk kelompok non migas cenderung menurun, yakni dari USD 1,71 juta (2006) menjadi USD 1,28 juta (2010).
Kedua, FTA Indonesia dengan Jepang. Sebelum dilakukan kerjasama FTA (2008), surplus dagang tercatat USD 17,103 juta (2007), namun pada tahun 2010 surplus dagang cenderung menurun menjadi USD 8,816 juta. Surplus dagang ini disebabkan karena ekspor migas, sedangkan untuk ekspor non migas cenderung menurun, bahkan neraca perdagangan untuk non migas pada tahun 2010 mengalami defisit sebesar USD 0,129 juta. Sebelum dilakukan kerjasama FTA, neraca dagang non migas mampu membukukan surplus sebesar USD 3,952 juta (2007), namun pada tahun 2010 Indonesia sebaliknya mengalami defisit sebesar USD 0,129 juta.
Surplus dagang Indonesia dengan beberapa negara mitra dagang selama ini dicapai hanya dengan mengandalkan ekspor migas dan komoditi non migas dalam kelompok barang mentah. Sedangkan neraca perdagangan untuk komoditi dalam kelompok barang setengah jadi dan barang jadi cenderung defisit. Tentunya kondisi neraca perdagangan seperti ini sangat tidak menguntungkan Indonesia baik dalam jangka menengah maupun panjang. Hal ini disebabkan komoditi barang mentah memiliki nilai tambah yang rendah, sedangkan untuk kelompok barang setengah jadi dan barang jadi yang memiliki nilai tambah yang tinggi justru rendah daya saingnya. Kondisi ini dalam jangka panjang tidak akan menguntungkan Indonesia.
Dalam dekade terakhir (2000-2010), kinerja perdagangan antara Indonesia dan Australia secara umum selalu berfluktusi antara surplus dan defisit, namun cenderung surplus untuk Indonesia. Kecenderungan surplus perdagangan ini lebih disebabkan karena meningkatnya ekspor migas. Untuk ekspor non migas Indonesia masih mengandalkan barang-barang mentah, sedangkan neraca perdagangan untuk barang setengah jadi dan barang jadi selalu dalam keadaan defisit. Sementara itu kinerja perdagangan Indonesia-New Zealand baik migas maupun non migas cenderung defisit untuk Indonesia.
Daya saing produk Indonesia, Australia dan New Zealand yang diukur dengan pendekatan Revealed Comparative Advantage (RCA) menunjukkan bahwa dari sepuluh kelompok komoditi non migas versi SITC4, Indonesia hanya memiliki keunggulan atas Australia dan New Zealand untuk kelompok komoditi binatang dan sayur-sayuran, dan barang-barang manufaktur. Sedangkan untuk produk-produk diluar kedua kelompok ini daya saingnya sangat rendah.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.