Mewaspadi Pergerakan Credit Default Swap dan Yiled SUN
Penulis: Makmun
Krisis Yunani belum membawa damak yang signifikan bagi Indonesia, bahkan kalaupun ada diperkirakan hanya bersifat temporer. Hal ini didasarkan pada perkembangan pasar saham yang masih cukup baik dan nilai tukar rupiah yang relatif stabil, meski agak sedikit melemah. Berbeda dengan krisis yang terjadi pada pertengahan tahun 2008 yang lalu yang dengan cepat pasar saham bergejolak, dan rupiah juga cepat terkena imbasnya.
Beberapa analis menilai bahwa krisis Yunani tidak akan mengganggu ekonomi Indonesia secara signifikan, karena eksposur Indonesia terhadap mata uang euro tidak besar. Bahkan banyak investor asing yang menghindari zona Eropa dan menyerbu emerging markets. Reratif kecilnya dampak krisis Yunani dapat dilihat dari aliran dana asing (capital inflow) yang masih cukup deras masuk ke pasar keuangan Indonesia. Porsi asing dalam kepemilikan sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan surat berharga negagara, terutama Surat Utang Negara (SUN) dan pasar saham.
Kepemilikan asing di pasar SUN domestik per 12 Mei 2010 mencapai 23,89% atau senilai Rp 145,43 triliun. Sementara itu kepemilikan asing pada SBI mencapai per 9 April 2010 mencapai Rp 71,8 triliun, naik cukup signifikan apabila dibandingkan posisi per 31 Desember 2009 yang hanya mencapai Rp 44,1 triliun. Meningkatnya porsi kepemilikan asing ini menunjukkan bahwa fundamental ekonomi Indonesia dinilai cukup baik yang dibuktikan dengan dinaikkannya credit rating Indonesia oleh tiga lembaga rating dalam kurun enam bulan terakhir..
Belakangan ini rupiah memang terimbas oleh krisis di Yunani, namun sifatnya tidak langsung. Krisis di Yunani membuat mata uang Eropa baik euro maupun poundsterling melemah. Pelemahan ini membuat kalangan investor merasa tidak nyaman sehingga mereka akhirnya memilih untuk memindahkannya dalam bentuk dollar AS. Akibatnya dollar AS menguat baik terhadap terhadap euro maupun poundsterling. Sementara itu sebagian investor yang selama ini menaruh investasinya di Indonesia juga memindahkan ke di dolar AS, sehingga rupiah pun ikut terimbas.
Meskipun hingga kini belum ada tanda-tanda krisis Yunani akan menjalar ke negara lain, rasa kekhawatiran tetap saja ada. Untuk itu pemerintah tetap perlu mewaspadai kemungkinan pelemahan rupiah terhadap dollar AS karena kepanikan pasar terhadap potensi penebaran krisis Yunani. Bagaimanapun juga krisis Yunani dapat menjadi faktor yang akan menyebabkan dinamika risiko yang dipersepsikan menular.
Country Risk
Meski belum terkena dampak krisis Yunani, Indonesia perlu mewaspadai dua hal yang bisa memengaruhi pasar keuangan dalam negeri terkait krisis utang Yunani. Kedua hal tersebut adalah credit default swap (CDS) yang mencerminkan country risk dan imbal beli (yield) dari SUN. CDS dan yield SUN Kedua belakangan ini bergerak ke arah yang berbeda, meski masih dalam batas yang wajar.
Berdasarkan data yang diambil dari Bloomberg Finance, CDS Indonesia sejak Oktober 2008 hingga kini memang menunjukkan adanya penurunan yang sangat drastis. Per 23 Oktober 2008, CDS Indonesia tercatat 1.257 dan per 14 April 2010 turun drastis menjadi 151, namun pada 19 Mei 2010 naik kembali menjai 187. Sementara itu yield atas SUN berjangka 5 tahun per 19 Februari 2009 sempat mencapai 12,999%, turun menjadi 9,06% pada 26 April 2010 dan kembali mengalami kenaikan menjadi 8,624% pada 19 Mei 2010. Jika dibandingkan dengan beberapa negara di zona Eropa, CDS Indonesia bahkan masih lebih buruk. Setidak-tidaknya dibandingkan dengan Italia (141), Jerman (40), Inggris (68) dan Perancis (64).
Sementara itu data global bond yang diterbitkan di US berjangka waktu 2, 5, 10 dan 30 tahun diperkirakan pada kuartal pertama 2010 ini secara berturut-turut yield bond adalah sebesar 1%, 2,6%, 3,6% dan 4,45%. Pada kuartal keempat tahun ini yield bond diperkirakan akan naik menjadi 1,5%, 3,1%, 4,25% dan 4,95%. Trend serupa juga akan terjadi untuk global bond yang diterbitkan di Euroland, Japan, UK, Australia, Canada, Sweeden dan Norway. Berdasarkan atas proyeksi bond yield ini, maka langkah pemerintah menerbitkan global bond pada awal tahun merupakan langkah yang tepat. Apabila kita bandingkan antara bond yield atas global bond Indonesia dengan negara-negara lain, menunjukkan bahwa ekspektasi risiko atas global bond Indonesia masih lebih tinggi.
Pergerakan CDS dan yield SUN berdurasi 5 tahun di atas, setidak-tidaknya memberikan warmning bagi pemerintah bahwa country risk di Indonesia mengalami penurunan. Tentunya ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, pemerintah (terutama otoritas moneter) harus mewaspadai dengan apa yang terjadi di Yunani. Perlu disadari bahwa krisis Yunani dan kemungkinan dampaknya tidak dapat ditangani oleh satu negara saja. Untuk itu perlu kerja sama antar otoritas keuangan di seluruh dunia.
Oleh: Makmun
Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Depeku