Menimbang Rencana Penurunan Rupiah
Penulis: Makmun
Wacana redenominasi sebenarnya telah digulirkan oleh Bank Indonesia (BI) sejak enam tahun yang lalu. Isu ini dilatarbelakangi karena pecahan mata uang rupiah sudah terlalu besar. Hal yang sama pernah dipertanyakan oleh Ross H McLeod, ekonom asal Australia, mengapa rupiah tidak diredenominasi, karena nominalnya yang terlalu besar. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini mata uang rupiah tergolong pecahan mata uang terbesar kedua di dunia setelah Vietnam. Uang pecahan sebesar Rp 100.000 merupakan terbesar kedua setelah 500.000 dong yang dikeluarkan pemerintah Vietnam. Sebelumnya Indonesia menempati posisi ketiga dan Vietnam yang kedua, setelah Zimbabwe yang pernah mengeluarkan pecahan Z$10 juta telah melakukan redenominasi terhadap mata uangnya.
Melalui redenominasi, setidaknya akan didapat dua keuntungan, yakni:
Pertama, untuk menyederhanakan sistem pembayaran yang ada di masyarakat tanpa menimbulkan dampak bagi ekonomi lebih lanjut. Melalui redenominasi BI dapat menghemat biaya cetak uang. Sebagaimana diketahui bahwa selama ini BI mencetak uang pecahan dari Rp 50 sampai Rp 500 bahkan yang terbaru pecahan Rp 1000 hanya untuk memenuhi kebutuhan, khususnya para pedagang untuk pengembalian uang, karena harga barang pada umumnya tidak dibuat harga bulat, misalnya Rp 1000 dan kelipannya. Tentunya biaya cetak uang pecahan dalam bentuk koin ini tidak murah. Sementara itu bagi rumah tangga penerima uang kembalian dalam bentuk koin, biasanya tidak dimanfaatkan. Bahkan anak-anak pun jika diberi uang jajan dalam bentuk koin kebanyakan mulai menolak, karena tidak terlalu kecil nilainya.
Kedua, dengan redenominasi diharapkan membuat rupiah menjadi lebih praktis. Uang dengan nominal besar dianggap kurang efisien serta merepotkan pembayaran. Menurut kajian, mata uang Indonesia idealnya diredenominasi dengan menghilangkan tiga angka nol. Sehingga apabila uang Rp 1.000 dipotong akan menjadi Rp 1, sementara uang Rp 10.000 menjadi Rp 10. Kalau ini terwujud maka pecahan sen akan berjalan kembali.
Efek Negatif
Meskipun terdapat nilai lebih dari kebijakan redenominasi, kebijakan ini juga mengandung sejumlah nilai negatif. Setidak-tidaknya kebijakan redenominasi akan membawa efek negatif dalam bentuk illution effect atau money illution. Dengan redenominasi nilai tukar rupiah seolah-olah menjadi tampak kecil, akibatnya kebijakan redenominasi akan memicu inflasi (inflatoir effect). Untuk itu banyak yang menyarankan jika kebijakan ini akan ditempuh, sebaiknya dalam kondisi tingkat inflasi rendah, dan nilai tukar rupiah stabil. Diperkirakan kebijakan ini dapat dilakukan pada saat inflasi di bawah 5% (year on year) dan kurs rupiah dalam setahun harus melaju stabil di kisaran 2% atau rupiah bergerak dalam kisaran 8.900-9.200 sepanjang tahun.
Meski dilakukan kebijakan redenominasi, tidak ada jaminan bahwa nilai tukar rupiah tidak akan begeser. Dalam kenyataannya, kebijakan ini mensyaratkan adanya kedisiplinan yang cukup tinggi dari para pengusaha dan pedagang dan biasanya mereka inilah yang acap kali memanfaatkan “aji mumpung�. Apabila persyaratan ini tidak dipenuhi, maka Indonesia dapat bernasib sama seperti Zimbabwe. Pemotongan nilai mata uang justru menyebabkan inflasi melonjak hingga ribuan persen.
Hati-Hati
Redenominasi memang masih sebatas wacana, namun demikian BI telah melakukan kajian yang cukup mendalam, bahkan telah melakukan studi banding ke negara-negara yang sukses menjalankan kebijakan ini seperti Turki dan Rumania. Turki melakukan redenominasi dengan memotong enam digit nilai mata uangnya sehingga 1.000.000 menjadi sama dengan 1. Sedangkan Rumania memotong empat digit.
Meski telah melakukan studi banding ke negara-negara yang sukses dalam kebijakan redenominasi, tak ada salahnya Indonesia juga perlu belajar dari Zimbabwe. Negara ini gagal menjalankan kebijakan redenominasi, kebijakan yang dilakukan justru memicu inflasi ribuan persen. Otoritas moneter Zimbabwe tak melakukan pemotongan atas fisik uangnya, tapi dengan mengeluarkan pecahan dalam nilai baru yang sudah disesuaikan dengan nilai redenominasi. Namun, kenyataannya perdagangan barang dan jasa serta nilai tukarnya tak patuh dengan nilai redenominasi itu.
Mengacu pada salah satu persyaratan sukses kebijakan redenominasi adalah masalah disiplin menerapkan kebijakan fiskal. Pengalaman Turki menunjukkan bahwa negara ini relatif berhasil menerapkan kebijakan redenominasi karena Kemal Attaturk sangat disiplin menerapkan kebijakan fiskal. Sementara itu di Indonesia masalah kedisiplinan fiskal masih menjadi persoalan. Hal ini terbukti dengan ketidakcocokan diantara elit dan maraknya korupsi di jajaran pemerintah, yang masih menghambat perekonomian.
Sekiranya BI serius akan melakukan kebijakan redenominasi, maka salah satu persiapan yang paling penting adalah membenahi koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter. Terkait dengan koordinasi ini, menurut Anwar Nasution, setidaknya ada tiga unsur yang perlu diperhatikan, yakni melarang BI membelanjai defisit APBN karena hal itu dapat mendorong laju inflasi, aturan fiskal untuk membatasi besarnya defisit APBN masksimum dua persen dan menurunkan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) serendah mungkin.
Terakhir, yang tak kalah pentingnya adalah BI juga harus menjaga jumlah uang beredar. Apabila jumlah uang beredar tak terkontrol hingga melampaui sepuluh persen, maka hal ini akan memicu inflatoir effect. Sebagaimana diketahui bahwa hingga akhir tahun 2009 menurut perkiraan BI pertumbuhan jumlah uang beredar mencapai 10,7 persen. Namun pada tahun sebelumnya (2008) pertumbuhan jumlah uang beredar mencapai sebesar 26,3 persen. Pertumbuhan jumlah uang beredar akan memicu tingkat inflasi, sekedar contoh pada tahun 2008 tingginya pertumbuhan juamlah uang beredar telah memicu tingkat inflasi mencapai atas 6 persen. Sementara itu kemampuan BI menekan jumlah uang beredar pada tahun 2009 mampu menekan pada tingkat inflasi sampai 2,9 persen.
Oleh : Makmun
Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Koran Tempo, 6 Agustus 2010