Penulis: Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal
Peningkatan kapasitas listrik untuk peningkatan rasio elektrifikasi melalui proyek pembangunan pembangkit baik dari Jawa dan luar Jawa untuk meningkatkan kapasitas terpasang listrik nasional sebesar 10.000 MW yang diperkirakan dalam kurun waktu sekitar 4 tahun merupakan program strategis yang perlu dipastikan keberhasilannya dan memberikan dampak risiko minimal terhadap PT PLN, pemerintah, dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Pemerintah dalam hal ini memberikan penugasan kepada PT PLN dengan disertai pemberian jaminan atas kewajiban pengembalian pinjaman dengan memperhatikan kemampuan PT PLN yang terbatas untuk melakukan investasi yang besar dalam waktu yang sangat singkat. Hal tersebut juga terkait dengan kebijakan Pemerintah yang tidak memberikan margin kepada PT PLN sebelum tahun 2009 yang menyebabkan kemampuan financing PT PLN tidak memadai bila tidak dibarengi dengan jaminan Pemerintah.
Beberapa kendala dalam pelaksaanaan proyek percepatan antara lain banyaknya keterlambatan dimulainya pembangunan fisik pembangkit dan keterlambatan efektifnya pencairan pinjaman membuat beban bunga yang ditanggung PT PLN semakin besar, dan membuat risiko default PT PLN juga semakin membesar. Dengan telah beroperasinya beberapa PLTU juga menimbulkan permasalahan baru yang berupa rendahnya pendapatan operasi pembangkit yang diakibatkan buruknya kualitas pembangkit sehingga dikhawatirkan tidak dapat memenuhi beban pendanaan proyek yang berupa pembayaran cicilan pokok pinjaman dan beban bunga pinjaman. Hal-hal tersebut berkaitan dengan risiko fiskal yang akan ditanggung Pemerintah jika terjadi default dan juga menurunkan credit rating Indonesia. Pemantauan yang intensif terhadap perkembangan pelaksanaan pembangunan proyek percepatan dan operasional sangat diperlukan karena banyaknya faktor risiko yang terkait proyek percepatan dan juga yang bersumber dari risiko korporasi.
Laporan tim memberikan gambaran tentang penerapan manajemen risiko proyek 10.000 MW Tahap I (FTP-I) secara keseluruhan, sehingga diperoleh pemetaan risiko-risiko terkait yang menyebabkan gagal bayar utang PT PLN. Selain itu, juga dapat memberikan gambaran sumber-sumber risiko yang diklasifikasikan dalam risiko strategis, risiko proyek, risiko operasinal, risiko keuangan dan risiko pasar. Risiko terbesar dari risiko-risiko tersebut yang perlu mendapatkan perhatian lebih karena dampaknya yang besar terhadap kemampuan bayar proyek FTP-I adalah risiko proyek dan risiko strategis. Selain mengidentifikasi, menganalisa dan penanganan risiko-risiko terkait FTP-I pada tahun 2011, laporan ini juga mengidentifikasi risiko-risiko yang berpotensi untuk muncul pada tahun 2012, yaitu risiko terminasi kontrak FTP-I dan risiko cash shortage akibat bridging finance.
Dari sisi kemampuan bayar pinjaman proyek untuk tahun 2011 dan tahun 2012, Proyek FTP-I mengalami defisit sebesar 600 miliar pada tahun 2011 yang diakibatkan oleh keterlambatan COD PLTU Rembang dan rendahnya kualitas PLTU Labuan. Diestimasi operating profit dari proyek pembangkit akan mulai positif pada tahun 2012 seiring dengan banyaknya proyek FTP-I yang COD yaitu sebesar Rp. 5,3 triliun. Akan tetapi, operating profit tersebut masih sedikit lebih kecil dibandingkan dengan beban pembayaran kembali pokok pinjaman tahun 2012 sebesar Rp 5,7 triliun. Untuk beban puncak utang pinjaman FTP-I diperkirakan akan terjadi selama 5 tahun yang dimulai pada tahun semester I tahun 2013 hingga akhir tahun 2017, sedangkan beban puncak utang korporasi akan timbul di 2012.
Terkait fungsi pemantauan risiko gagal bayar yang dilakukan oleh Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, berdasarkan kegiatan monitoring dan analisis selama tahun 2011, risiko gagal bayar pinjaman FTP-I untuk tahun 2012 adalah sangat kecil. Hal tersebut juga terkait dengan adanya sumber-sumber pembiayaan korporasi pada tahun 2012 akan mampu menutup kebutuhan investasi selama tahun 2012 termasuk tambahan investasi untuk proyek FTP-I sehingga akan meningkatkan performa dan pendapatan PLTU.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.