Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Subsidi BBM sebagai bagian dari subsidi energi memiliki dampak positif yang antara lain mendorong perkembangan industri yang menciptakan lapangan kerja dan menciptakan harga energi yang terjangkau bagi masyarakat. Namun di sisi lain, pemberian BBM bersubsidi yang tidak tepat dapat menimbulkan dampak negatif seperti pemakaian energi yang tidak efisien, meningkatnya beban APBN, dan permasalahan-permasalahan lainnya. Realisasi Alokasi anggaran subsidi BBM pada tahun sebesar Rp165,2 triliun atau meningkat sebesar 100,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp82,4 triliun. Pada tahun 2012 Pemerintah telah mengalokasikan subsidi BBM sebesar Rp137,4 triliun. Peningkatan subsidi BBM tersebut akan memicu peningkatan defisit yang dapat mempengaruhi kestabilan dan keberlanjutan keuangan negara. Peningkatan subsidi BBM ini juga menimbulkan trade off, yaitu keleluasaan pemerintah untuk membiayai program-program kesejahteraan sosial seperti kesehatan dan pendidikan. Oleh sebab itu dari waktu ke waktu upaya untuk mengurangi subsidi BBM ini telah senantiasa dijadikan pertimbangan untuk pengambilan kebijakan
Besarnya subsidi BBM sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak mentah dan tingginya volume konsumsi BBM bersubsidi. Peningkatan konsumsi BBM sangat dipengaruhi beberapa faktor diantaranya meningkatnya aktivitas perekonomian Indonesia ditandai dengan pertumbuhan ekonomi, meningkatkanya jumlah kendaraan bermotor yang tidak dapat dikontrol, tingginya disparitas harga BBM bersubsidi dan BBM non-subsidi sehingga terjadi migrasi konsumen dari BBM non-subsidi ke BBM bersubsidi, serta adanya indikasi penyelundupan konsumsi BBM bersubsidi. Dengan mempertimbangkan faktor yang mempengaruhi peningkatan konsumsi BBM bersubsidi tersebut, perlu disusun model proyeksi konsumsi BBM bersubsidi yang didasarkan atas analisis ekonomi dengan model ekonometrik. Ruang lingkup model tersebut meliputi (i) model univariate time series (ii) model cross section (iii) sensitivitas LPG 3 kg-LPG 12 kg (iv) sensitivitas premium-pertamax. Dalam penyusunan model ini, tim dibantu oleh ekonom dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Berdasarkan hasil model ini diperoleh analisis secara agregat. Dari hasil regresi univariat dengan beberapa teknik regresi didapatkan bahwa dekomposisi time series merupakan persamaan dengan tingkat akurasi prediksi yang paling baik. Dari pengamatan ini dapat dirumuskan bahwa estimasi untuk nilai di masa yang akan datang untuk tiap-tiap jenis energi adalah sebagai berikut. Untuk premium pada tahun 2011 diperkirakan nilainya akan mencapai 25, 5 juta KL dan pada tahun 2012 mencapai 28,2 juta KL. Untuk solar pada tahun 2011 diperkirakan nilainya akan mencapai 14,3 juta KL dan pada tahun 2012 mencapai 15,1 juta KL. Untuk LPG pada tahun 2011 diperkirakan nilainya akan mencapai 3.165 juta kg dan pada tahun 2012 mencapai 3.640 juta kg. Adapun untuk minyak tanah, mengingat trend negatif dan menuju nilai nol, maka interpretasi dari nilai estimasinya tidak serta merta menggambarkan nilai prediksi di masa yang akan datang karena faktor kebijakan, nilai yang diperkirakan pada tahun 2011 sebesar 1,4 juta KL menjadi sekitar 640 ribu KL pada tahun 2012 adalah nilai pada kondisi business as usual. Namun untuk minyak tanah hal ini sulit dipastikan karena distribusi minyak tanah saat ini memang diarahkan dengan kebijakan pengurangan yang terus-menerus.
Sementara itu, analisis multivariat dengan persamaan regresi cross section dipergunakan untuk mengukur nilai pengaruh dari variabel-variabel yang dianggap berpengaruh pada konsumsi BBM. Dalam hal ini, variabel yang akan dijadikan sebagai persamaan penjelas adalah PDRB dan penduduk serta satu variabel kontrol yang menjelaskan aksesibilitas yaitu jumlah SPBU untuk premium dan solar. Sedangkan untuk minyak tanah, faktor penjelas yang akan diperhitungkan adalah jumlah penduduk miskin dan PDRB. Hasil regresi cross section premium menunjukkan nilai elastisitas sebesar 0,4 untuk variabel penduduk, 0,27 untuk variabel PDRB dan 0,28 untuk jumlah SPBU. Artinya untuk setiap 1% kenaikan jumlah penduduk akan berpotensi menaikkan konsumsi premium di sebuah provinsi sebesar 0,4% dengan mengasumsikan berbagai hal lainnya konstan. Interpretasi yang sama berlaku untuk variabel PDRB dan jumlah SPBU. Hasil regresi cross section solar menunjukkan nilai elastisitas sebesar 0,37 untuk variabel penduduk, 0,34 untuk variabel PDRB dan 0,3 untuk jumlah SPBU. Artinya untuk setiap 1% kenaikan jumlah penduduk di sebuah provinsi akan berpotensi menaikkan konsumsi solar sebesar 0,37% dengan mengasumsikan berbagai hal lainnya konstan. Interpretasi yang sama berlaku untuk variabel PDRB dan jumlah SPBU. Namun untuk hasil regresi cross section minyak tanah menunjukkan hasil yang kurang memuaskan dari sisi kinerja persamaan. Hal ini dapat dilihat dari R-square yang cukup rendah dan nilai koefisien yang tidak signifikan. Hal ini diduga karena pola penggunaan minyak tanah memang tidak murni ditentukan oleh perilaku variabel-variabel di perekonomian namun lebih ditentukan oleh kebijakan.
Untuk melihat kecenderungan substitusi antara LPG tabung 3 kg (bersubsidi) ke tabung LPG 12 kg (non subsidi), dilakukan regresi multivariat dalam bentuk cross price elasticity antara kuantitas LPG tabung 3kg terhadap harga tabung LPG 12 kg yang merupakan substitusinya. Dari hasil regresi diperoleh nilai koefisien bertanda positif yang berarti tingkat substitusi tersebut memang ada. Untuk nilainya, diperkirakan setiap rupiah kenaikan pada harga tabung LPG 12 kg akan berpotensi menambah konsumsi LPG tabung 3 kg sebesar 108 kg. Selanjutnya, salah satu model yang dikembangkan untuk melihat substitusi antar komoditas tersubsid dan tidak adalah antara premium dan pertamax. Dari pengamatan data, didapatkan harga 'psikologis' terjadinya substitusi ke premium atas naiknya harga pertamax pada nilai Rp8.225 (rata-rata). Dan untuk nilai elastisitas yang didapatkan adalah setiap terjadi kenaikan Rp85 harga pertamax akan menyebabkan kenaikan konsumsi premium bersubsidi sebesar 1,96 juta L.
Dari hasil analisis model diperoleh beberapa kesimpulan yaitu (i) Konsumsi premium dan solar yang tinggi ada di beberapa provinsi di pulau jawa, namun demikian perlu ada pemantauan dan pengawasan di beberapa provinsi lainnya (provinsi Bali, Riau Daratan, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Sumatera Utara untuk premium, serta Riau Daratan dan Sumatera Utara untuk Solar); (ii) Variabel Penduduk memiliki korelasi yang lebih kuat dengan konsumsi premium dan solar dibandingkan dengan PDRB; (iii) Perlu Monitoring dan Evaluasi untuk program konversi Mitan karena adanya indikasi di beberapa provinsi kedua komoditas tersubsidi (mitan dan LPG) tetap tinggi; (iv) analisa time series univariat memperlihatkan bahwa model dekomposisi (diantara model yang ada) lebih bisa menggambarkan perilaku konsumsi premium, solar dan minyak tanah. Hal ini mengindikasikan bahwa trend dan indeks musim memiliki pengaruh dalam perilaku dalam konsumsi premium dan solar; (v) Tingginya konsumsi dari BBM bersubsidi lebih kuat dipengaruhi oleh pertambahan penduduk, namun demikian aktivitas ekonomi juga mendorong tingginya konsumsi BBM bersubsidi ini; (vi) apabila dilihat dari jenis BBMnya, diperoleh hasil bahwa aktivitas ekonomi dan penduduk memiliki pengaruh terhadap konsumsi premium hanya penduduk yang memiliki pengaruh terhadap konsumsi solar dan aktivitas ekonomi yang memiliki pengaruh terhdap konsumsi mitan; (vii) untuk analisa sensitivitas diperoleh hasil bahwa: (i) kenaikan harga pertamax pada tingkat harga tertentu diduga dapat mendorong kenaikan konsumsi premium bersubsidi; dan (ii) kenaikan harga LPG-12kg diduga kuat mendorong kenaikan konsumsi LPG-3kg.
Beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan dalam penelitian ini meliputi (i) perlu ada pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku konsumsi premium dan solar dibeberapa provinsi, seperti Bali, Riau Daratan dan Sumatera Utara; (ii) perlu evaluasi atas program konversi mitan; (iii) apabila pemerintah ingin melakukan upaya penghematan konsumsi BBM bersubsidi dapat difokuskan pada wilayah Jawa dan beberapa provinsi lainnya diluar Jawa; (iv) upaya penghematan konsumsi dapat dilakukan sebagai berikut; (v) untuk jenis premium difokuskan pada kendaraan mobil pribadi dan kendaraan bermotor. Namun kebijakan pada perilaku premium ini harus diimbangi dengan upaya sosialisasi efisiensi pada sisi permintaan (demand-side management) dan penambahan serta perbaikan transportasi umum; (vi) untuk jenis solar difokuskan pada angkutan umum dan angkutan barang. Namun kebijakan pada perilaku premium ini harus diimbangi dengan perbaikan teknologi mesin dan juga infrastruktur; (vii) Pemerintah perlu memperhatikan perbedaan harga yang tinggi antara premium dengan pertamax dan antara LPG-3kg dengan LPG-12kg. Lebih jauh dalam jangka panjang pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan subsidi LPG-3kg.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.