Pengalihan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai Pajak Daerah Kabupaten/Kota
Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kabupaten/kota merupakan pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pengalihan tersebut berlaku pada tahun 2011 dan berpedoman pada Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 186/PMK.07/2010 dan Nomor: 53 tahun 2010. Kesiapan pemerintah daerah dan perubahan batasan Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) berdampak pada penerimaan daerah dan juga perekonomian daerah. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan pemerintah daerah dalam pemungutan BPHTB, dampak pengalihan terhadap penerimaan daerah, dampak perubahan NPOPTKP terhadap penerimaan daerah, dan dampak ekonomi akibat ketidaksiapan daerah dalam memungut BPHTB.
Hasil kajian menunjukkan beberapa temuan sebagai berikut:
- Berdasarkan data DJPK sampai dengan April 2011 terdapat 373 kabupaten/kota atau 75,8% kabupaten/kota yang telah menerbitkan perda BPHTB, 85 kabupaten/kota (17,3 persen) masih dalam proses legislasi penyusunan perda, dan 34 kabupaten/kota (6,9 persen) belum ada informasi mengenai proses penyusunan perda BPHTB.
- Hasil kunjungan lapangan ke Kab. Padang Pariaman, Kota Bogor, Kab. Gianyar, Kab. Karangasem, dan Kab. Pontianak adalah sebagai berikut:
- pemerintah daerah telah menyusun perda BPHTB sebelum tahun 2011. Namun, pemungutan BPHTB tidak dapat dilakukan lansgung karena perlu penilaian oleh pemerintah pusat. Perangkat lainnya seperti peraturan teknis pemungutan berupa peraturan bupati/walikota, peraturan lainnya, dan formulir-formulir juga telah disiapkan;
- secara umum pengalihan BPHTB tidak memerlukan pendanaan secara khusus dan kebutuhan SDM dipenuhi dengan mengoptimalkan SDM yang ada. Sementara untuk kebutuhan sarana seperti gedung, pemda melakukan optimalisasi sarana gedung yang ada. Sarana lain seperti meja, kursi, komputer, printer, kendaraan dinas roda 2, dan sebagainya telah disiapkan;
- pemda melakukan kerjasama dengan instansi lain untuk mempersiapkan SDM, menyusun peraturan, menyusun formulir yang diperlukan dengan bekerjasama dengan kantor pelayanan pajak setempat. Selain itu, pemda juga melakukan koordinasi dengan kantor pertanahan dalam hal keterlambatan penerbitan perda. Untuk memperlancar pembayaran oleh wajib pajak, pemerintah kabupaten/kota melakukan kerjasama dengan perbankan sebagai bank persepsi pembayaran BPHTB.
- pemerintah daerah mempunyai pendapat yang beragam atas penyelesaian tunggakan BPHTB berupa penyelesaian restitusi/keberatan/banding dan piutang sebelum tahun 2011. Sebagian pemda menyatakan penyelesaian tunggakan pekerjaan sebelum tahun 2011 diselesaikan oleh pemda dan sebagian lain mengatakan penyelesaian tunggakan pekerjaan tersebut dilakukan pemerintah pusat sebagai pihak yang menangani pekerjaan tersebut sebelumnya.
- Dampak pengalihan BPHTB terhadap fiskal pemerintah daerah propinsi adalah menurunnya penerimaan pemerintah propinsi. Pada tahun 2008, pemerintah propinsi menerima bagian penerimaan BPHTB sebesar Rp.2,13 triliun dan dari jumlah tersebut sebesar Rp.1,56 triliun merupakan penerimaan daerah Propinsi DKI Jakarta. Sementara pada tahun 2010, pemerintah propinsi menerima sebesar Rp.2,91 triliun dan sebesar Rp.2,04 merupakan penerimaan Propinsi DKI Jakarta. Dengan mengesampingkan pemerintah Propinsi DKI Jakarta, maka pengalihan BPHTB menurunkan penerimaan propinsi sebesar Rp.568 miliar (1,67 persen PAD propinsi) pada tahun 2008, dan menurunkan penerimaan propinsi sebesar Rp.870 miliar (2,45 persen PAD propinsi) pada tahun 2010. Penurunan penerimaan propinsi tersebut memang tidak terlalu signifikan dibandingkan PAD dan APBD propinsi karena PAD propinsi relatif lebih tinggi dibandingkan PAD kabupaten/kota.
Selanjutnya, analisa dampak pengalihan BPHTB terhadap fiskal daerah kabupaten/kota menunjukkan hasil yang bervariasi. Jumlah daerah yang mengalami gain sangat sedikit (86 kabupaten/kota atau 17,5 persen dari jumlah kabupaten/kota) dan terpusat di wilayah Jawa. Total kenaikan BPHTB adalah sekitar Rp.2 triliun, yang terbagi atas sekitar Rp.1,5 triliun untuk daerah-daerah di Jawa, dan sekitar Rp.495 miliar untuk daerah luar Jawa. Khusus untuk DKI Jakarta terjadi kenaikan yang cukup signifikan yaitu sebesar Rp.493 miliar. Selain itu, pengalihan BPHTB juga berdampak pada penurunan (loss) penerimaan daerah sekitar Rp.894 miliar di sebagian besar kabupaten/kota (405 kabupaten/kota atau 82,5 persen), yang terjadi terutama di wilayah Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Dengan demikian, secara neto (nasional), pengalihan BPHTB masih berdampak positif menaikkan penerimaan daerah sekitar Rp.1,1 triliun.
- Kenaikan Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) menurunkan penerimaan daerah meskipun daerah tersebut mengalami gain. NPOPTKP selain hibah/waris/wasiat naik menjadi RP.60 juta dan NPOPTKP hibah/waris/wasiat naik menjadi Rp.300 juta. Sebagai contoh, dengan menggunakan data penerimaan BPHTB Kota Bogor tahun 2010, kenaikan NPOPTKP tersebut pada awalnya menaikkan penerimaan BPHTB Pemkot Bogor dari Rp.49.9 miliar (sebelum pengalihan) menjadi Rp.73,7 miliar (setelah pengalihan tanpa kenaikan NPOPTKP). Namun kenaikan tersebut turun kembali menjadi Rp.60,9 miliar akibat kenaikan NPOPTKP.
- Keterlambatan pemungutan BPHTB berdampak pada kegiatan ekonomi. Dengan menggunakan data SNSE Prop. Bali dan Prop. DKI Jakarta dan dengan mengasumsikan kontribusi sektor bangunan daerah terhadap sektor bangunan nasional sekitar 0,98% (2008) di Prop. Bali dan sekitar 32% (2008) di Prop. DKI Jakarta, maka dampak penurunan nilai sektor bangunan Provinsi Bali diperkirakan sebesar Rp.196,2 miliar, dan sebesar Rp.6,4 triliun di Prop. DKI Jakarta.
Berdasarkan temuan tersebut, beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan yaitu:
- perlu dilakukan sosialisasi oleh Pemerintah kepada DPRD dan pemerintah daerah mengenai proses, tata cara/prosedur, dan batasan waktu evaluasi yang dilakukan pemerintah pusat terutama dalam hal perda yang memerlukan perbaikan;
- Pemerintah pusat dan daerah perlu mempercepat pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dengan melakukan sosialisasi dan asistensi yang proaktif secara lebih intensif kepada pemerintah daerah dan parlemen daerah guna mengantisipasi penurunan pendapatan daerah yang signifikan;
- Pemerintah perlu lebih mempertimbangkan dampak fiskal bagi daerah-daerah yang mengalami loss (penurunan penerimaan daerah) secara komprehensif karena daerah-daerah tersebut umumnya adalah daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal terbatas;
- adanya dampak ekonomi hendaknya mendorong pemerintah daerah segera memberlakukan perda BPHTB dan pemerintah pusat pun perlu proaktif memantau/memonitor pemda yang belum memberlakukan perda BPHTB;
terkait adanya potensi masalah tunggakan (lebih/kurang bayar) perlu diantisipasi dan disikapi dengan tegas agar tidak menimbulkan permasalahan di daerah di kemudian hari.
Disclaimer
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.