Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
PNBP sektor perikanan cenderung mengalami penurunan mulai pertengahan 2000-2010 setelah sebelumnya mengalami peningkatan. Dari segi proporsi penerimaan, sektor ini hanya mampu menyumbang rata-rata 0.14% dari total PNBP SDA atau rata-rata 2.16% dari penerimaan non-migas selama kurun waktu 2004-2010. Suatu porsi yang sangat kecil jika dibandingkan dengan potensi perikanan Indonesia sangat luas. Dalam kurun waktu yang sama, penerimaan sektor ini menglami pertumbuhan rata-rata -3.7%. Terdapat beberapa hal yang diduga kuat menjadi penyebab penurunan penerimaan sektor ini. Pertama, dihapuskannya sistem lisensi dan keagenan kapal asing, sehingga saat ini izin penangkapan ikan hanya diberikan kepada orang/ badan hukum Indonesia. Kedua, berakhirnya bilateral arrangement antara Indonesia dengan Cina pada Juli 2007. Ketiga, tingginya tingkat illegal fishing berupa pemalsuan dokumen penangkapan yang tidak sesuai dengan perizinannya dan tidak melaporkan hasil tangkapan. Dan terakhir, adanya pungutan ganda di daerah sebagai salah satu konsekuensi dari desentralisasi.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan data dan fakta diatas terlihat adanya ketidaksesuaian antara data produksi, nilai tambah (PDB) dan data tambahan lainnya dengan PNBP sektor perikanan. PNBP sektor perikanan terlihat tidak berkorelasi dengan aktivitas ekonomi sektor tersebut. Hal ini dianggap kurang sesuai dengan kenyataan bahwa pemungutan PNBP sangat erat kaitannya dengan output yang dihasilkan atau dengan kata lain aktivitas ekonomi sektor yang bersangkutan. Selain itu, terindikasi bahwa pemerintah kurang mengoptimalkan PNBP di sektor ini dan terlalu fokus dalam pengoptimalan PNBP migas. Oleh karena itu adalah suatu hal yang menarik untuk menelaah lebih lanjut tentang hal tersebut dan mencari penyebab terus menurunnya PNBP kedua sektor SDA tersebut.
Pengelolaan PNBP Tidak Transparan dan Akuntabel
PNBP dipungut oleh instansi pemerintah, baik departemen maupun lembaga non-departemen, sesuai dengan peraturan yang ada. Pungutan ini kemudian wajib segera dilaporkan oleh pejabat instansi pemerintah pemungut PNBP kepada Menteri Keuangan. Selanjutnya Badan Pengawasan Keuangan (BPK) memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada semeseter II Tahun Anggaran (TA) 2006 melakukan pemeriksaan pada 18 dari 57 kementerian negara/lembaga yang tercatat sebagai entitas pelaporan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), dan mencakup 67 jenis PNBP dari 147 jenis PNBP. Ke-18 entitas dimaksud adalah pemeriksaan atas pengelolaan PNBP pada Departemen Keuangan, Departemen Luar Negeri, Departemen Komunikasi dan Informatika, Mahkamah Agung, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perhubungan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Departemen Kesehatan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Pendikan Nasional, Departemen Kebudayaan Pariwisata, Kepolisian Negara RI, Badan Koordinasi Surveri dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Pengelola Migas (BP Migas). Jumlah realisasi anggaran pada 18 kementerian negara/lembaga tersebut adalah sebesar Rp192.493,91 miliar, nilai temuan pemeriksaan sebesar Rp55.457,09 miliar dan US$ 661,04 juta.
Dari hasil pemeriksaan, BPK menemukan beberapa permasalahan pengelolaan PNBP, seperti pengelolaan yang tidak transparan dan akuntabel. Berdasarkan hasil temuan BPK tersebut, terdapat beberapa kelemahan mendasar dalam pengelolaan PNBP maupun pelaksanaannya, antara lain; (a) belum efektifnya fungsi-fungsi dari organisasi yang mengelola PNBP; (b) kebijakan-kebijakan pengelolaan PNBP yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi; (c) beberapa prosedur pemungutan dan penyetoran PNBP belum sesuai dengan ketentuan; (d) kompentensi personil yang mengelola PNBP kurang; (e) pencatatan PNBP belum dilakukan secara akurat dan tertib; dan (f) pengawasan pelaksanaan PNBP masih lemah.
Rekomendasi
Khusus untuk sektor perikanan, terlihat bahwa penurunan penerimaan PNBP dari PHP perikanan disebabkan oleh adanya indikasi inefficiency loss yang terjadi di lembaga yang mengurusi sektor ini. Penguatan kelembagaan merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Pengkajian lebih lanjut kebijakan izin < 30 GT dapat dilakukan sebagai upaya peningkatan efektivitas pemungutan PNBP didaerah karena adanya indikasi inefficiency akibat SDM di daerah yang kurang kompeten. Proses perizinan kapal yang sebelumnya diurus oleh daerah sebaiknya diatur oleh pusat dengan sistem bagi hasil yang sebelumnya 20:80 (pusat-daerah) menjadi 50:50 (pusat-daerah). Sentralisasi pungutan ini dalam tentunya akan meningkatkan efisiensi yang pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan PNBP. Resistensi yang mungkin timbul akibat penundaan kebijakan ini kemungkinan besar dari Pemerintah Daerah yang akan merasa kehilangan sumber pendapatan jikalau mereka tidak memikirkan netto yang mereka dapatkan dari izin tersebut. Sentralisasi ini hanya berlangsung dalam jangka pendek sampai daerah mempunyai kapasitas yang cukup dalam mengelola PNBP maka pengelolaan pungutan PNBP akan kembali ke daerah.
Berdasarkan FGD bersama KKP, saat ini KKP juga sedang mengajukan revisi Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2006 tentang penggantian penggunaan Gross Tonnage (GT) menjadi ukuran volume kapal (panjang, tinggi dan lebar) pada perhitungan besaran tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP). Hal ini dilakukan karena adanya praktek yang dilakukan oleh “mafia GT” dimana angka GT kapal-kapal dibuat menjadi lebih kecil dari aktualnya. Dengan adanya penggantian penggunaan GT ini akan meningkatkan penerimaan PNBP dan berkurangnya inefficiency loss. Untuk sektor kehutanan, perlu terus dilakukan pengoptimalan pembayaran hutang yang menunggak. Pemerintah juga harus meminimalkan pembalakan liar dan mempercepat penyetoran dana PNBP yang telah terkumpul di Pemerintah Daerah ataupun Kementerian Kehutanan sehingga masuk ke kas Negara.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.