Pelajaran dari Krisis Yunani
Penulis: Makmun
Krisis Yunani berawal dari akumulasi defisit anggaran yang setiap tahunnya rata-rata mencapai sebesar 6% dari PDB selama 30 tahun. Yunani nampaknya tidak menerapkan prinsip kehati-hatian (prudent) dalam kebijakan defisitnya, sehingga defisit anggaran mencapai dua kali lipat dari ketentuan Uni Eropa (UE) yang maksimum ditetapkan sebesar 3%. Sementara itu pasar obligasi di dalam negerinya yang masih sangat terbatas. Untuk itu Yunani menjual surat utang Negara (SUN)-nya kepada investor di Prancis, Swiss, dan Jerman. Sebagai dampak akumulasi defisit, saat ini defisit Yunani mencapai 13,6% dari PDB.
Tingginya defisit Yunani di atas nampaknya efek dari lemahnya disiplin anggaran serta buruknya administrasi perpajakan. Hal ini tercermin dari pemborosan, korupsi, maupun manipulasi pembukuan. Ketentuan batas maksimum defisit UE dilanggar dengan memanipulasi pembukuan. Dalam sistem pembukuan dan anggaran berbasis kas, yang digunakan di Yunani, tidak mengantisipasi risiko fiskal karena dalam anggaran tidak memuat informasi mengenai pengeluaran contingency. Akibatnya pada saat SUN jatuh tempo pada April dan Mei 2010 ini, kewajiban pembayaran utang sebesar 20 biliun euro mengalami gagal bayar.
Pemerintah Yunani nampaknya sudah pasrah dan menyatakan ketidakmampuannya untuk mencari dana segar guna melunasi kewajibannya yang jatuh tempo. Hal semakin memperparah derita Yunani, karena lembaga peringkat hutang Standard & Poor’s menurunkan peringkat hutang menjadi ‘sampah’ (junk) dan tentu saja hal ini menambah berat beban yang dipikul Yunani. Negara ini makin tidak mampu untuk mencari dana hutangan melalui pasar.
Atas kegagalan di atas, pemerintah Yunani secara resmi meminta bantuan secara formal kepada UE– International Monetary Fund (IMF) untuk mengatasi krisis hutang yang sedang melanda negeri para dewa tersebut. Untung, Yunani mendapatkan dukungan penuh dari UE dan IMF dimana secara bersama-sama mereka menyepakati akan mengucurkan dana bantuan darurat sebesar USD 160 milyar. Namun kesepakatan ini harus dibayar mahal oleh Yunani. Sebagai imbalan bagi dana talangan itu, Yunani setuju untuk mengurangi APBNnya sebesar USD 43 miliar dalam masa tiga tahun, dengan tujuan untuk mengurangi defisit menjadi di bawah 3% dari GDP menjelang tahun 2014. Perjanjian ini juga dimaksudkan untuk menjaga stabilitas financial Yunani dan pemerintahan di seluruh Eropa.
Meskipun pemerintah Yunani telah mendapatkan dukungan dana bantuan darurat, nampaknya rakyat belum puas. Ketidakpuasan ini dipicu adanya rencana pemerintah Yunani untuk memotong gaji pegawai negeri dan dana pensiun, sedangkan pajak konsumsi naik 2%, pajak alkohol, tembakau dan BBM naik 10%. Pemerintah ingin melakukan pemotongan anggaran senilai USD 38 miliar dalam tiga tahun ke depan. Langkah ini, menurut pemerintah Yunani dapat mengurangi defisit menjadi kurang dari 3% sebelum akhir 2014.
Hikmah bagi Indonesia
Dalam konteks pengelolaan utang, Indonesia mungkin jauh lebih baik dari Yunani, karena pemerintah mampu menjaga defisit anggaran sehingga tak pernah melampui 3% dari PDB. Namun demikian ada persamaan antara Yunani dengan Indonesia, yakni sama-sama menghadapi keterbatasan pasar SUN di dalam negeri. Bahkan dari sejumlah SUN yang dijual di dalam negeri, porsi kepemilikan asing semakin meningkat.
Bank Indonesia mencatat komposisi kepemilikan asing atas SUN terus mengalami peningkatan. Komposisi SUN asing per 26 Maret 2010 naik menjadi Rp 131,25 triliun jika dibandingkan dengan 19 Maret 2010. Sementara itu kepemilikan asing pada SBI dalam periode yang sama mengalami penurunan menjadi Rp 67,94 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 68,4 triliun. Naiknya kepemilikan asing ini dipicu credit default swap Indonesia yang menurun. Disamping itu juga terdapat ekspektasi pelaku pasar bahwa rating Indonesia dalam 1-2 tahun mendatang mencapai invesment grade. Investor asing juga mencari imbal hasil tinggi di SUN dibandingkan di SBI.
Meskipun kepemilikan asing atas SUN hanya berupa dana sesaat (hot money), pemerintah tidak bisa melakukan pembatasan. Disamping dikarenakan investor asing justru yang paling aktif dalam menggerakkan pasar, kebijakan pembatasan ini dinilai unfriendly dan dapat menjatuhkan kepercayaan pasar. Namun perlu disadari bahwa kebijakan seperti ini di sisi yang lain dapat berdampak pada krisis keuangan. Untuk itu pemerintah perlu mewaspadai apabila negara maju pulih perekonomiannya, hot money tersebut sewaktu-waktu bisa lari ke luar.
Terlalu tinggi cost yang harus ditanggung pemerintah untuk mempertahankan hot money agar betah di Indonesia. Karena hal ini akan memaksa otoritas moneter untuk mempertahankan bahkan menaikkan tingkat suku bunga. Akibatnya suku bunga kredit akan semakin sulit turun dan hal ini tentunya akan membawa multiplier effect yang kurang menguntungkan pada pertumbuhan sektor riil yang akhirnya akan bermuara pada kemampuan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi.
Belajar dari krisis Yunani, pemerintah perlu mengambil berbagai langkah kebijakan untuk menghadapi kemungkinan datangnya masa sulit tersebut. Setidak-tidaknya kebijakan harus difokuskan pada tiga hal, yakni Pertama, masalah penerimaan negara, pemerintah harus mengurangi ketergantungan pada utang dengan memperbaiki admistrasi perpajakan agar lebih efektif dan efisien. Tax ratio kita dalam APBN 2010 diperkirakan baru mencapai 12,4% atau sekitar Rp. 740 triliun. Dengan asumsi PDB tetap (Rp6.000 triliun), apabila tax ratio mampu dinaikkan menjadi 13%-13,5%, maka penerimaan pajak akan bertambah berkisar antara Rp36 triliun-Rp66 triliun. Peningkatan tax ratio ini akan berpotensi untuk mengurangi ketergantungan pada utang, sehingga diharapkan akan mampu mendukung ketahanan fiskal.
Kedua, perlu disadari bahwa dari tahun ke tahun APBN selalu diwarnai dengan defisit anggaran. Kebijakan defisit sebenarnya tidak akan membawa masalah apabila diikuti dengan kebijakan yang prudent baik dari sisi pengelolaan utang maupun pengeluaran negara. Permasalahan yang timbul, sampai saat ini dari sisi pengeluaran, belum diikuti dengan perencanaan yang baik. Hal ini antara lain dapat dibuktikan dengan disahkannya APBN-P 2010 pada 3 Mei yang lalu, namun masih menyisakan sejumlah program-program yang belum selesai. Sementara itu dari program yang sudah disepakati, perlu pula dipertanyakan apakah sudah dapat menjawab permasalahan yang dihadapi negara?
Ketiga, dalam konteks pengelolaan sumber-sumber utang, pemerintah perlu mengembangkan pasar obligasi terutama surat utang negara (SUN) di pasar domestik. Sementara itu dari aliran dana-dana jangka pendek yang masuk, dalam jangka menengah perlu diarahkan agar menjadi investasi langsung kepada sektor riil (foreign direct investment/FDI). Diakui bahwa ini tidak mudah, namun bukan berarti ini tidak bisa.
*). Makmun, peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan