Menimbang Ide BLT Elpiji
Penulis: Joko Tri Haryanto*
Pemerintah kembali mewacanakan sebuah ide yang cukup kontroversial terkait dengan maraknya penyuntikan tabung elpiji 3 kg dan 12 kg, yang menimbulkan teror ledakan elpiji di kalangan konsumen rumah tangga. Kontroversial mengingat pemberian BLT jilid I pada tahun 2005 dan jilid 2 pada tahun 2009 sebagai akibat dampak pengurangan subsidi BBM, masih terus menimbulkan pro dan kontra.
Ide pemberian BLT elpiji pemerintah didasarkan pada rencana penyeragaman harga elpiji 3 kg dan 12 kg untuk menghilangkan disparitas harga yang cukup tinggi antara keduanya. Pemerintah menilai bahwa disparitas harga inilah yang menjadi insentif utama oknum penyuntik gas elpiji yang telah menimbulkan banyak korban di kalangan konsumen rumah tangga.
Elpiji 3 kg saat ini dijual dengan harga Rp4.750 per kg, sedangkan Elpiji 12 kg dijual dengan harga Rp5.850 per kg. Diharapkan dengan penyeragaman tersebut nantinya harga elpiji 3 kg dan 12 kg akan mencapai harga keekonomian sebesar Rp7.826 per kg.
Hingga saat ini pemerintah sedang mengkaji opsi penyeragaman harga elpiji 3 kg dan 12 kg, apakah menurunkan harga gas per kg untuk tabung ukuran 12 kg sehingga sama dengan harga gas tabung 3 kg sebesar Rp4.750, atau opsi menaikkan harga tabung gas 3 kg menjadi sama dengan harga gas tabung 12 kg sebesar Rp5.850 per kg.
Keseluruhan opsi tersebut tentu saja akan menimbulkan kerugian di sisi konsumen, sehingga pemerintah berencana memberikan kompensasi BLT dari hasil penghematan subsidi elpiji yang didapat. Besarnya subsidi BLT yang direncanakan nantinya sekitar Rp150 ribu per bulan, lebih besar dibandingkan besaran BLT akibat pengurangan subsidi BBM tahun 2005 dan 2008.
BLT dan Teori Kesejahteraan
Fenomena pemberian BLT sebetulnya dapat ditelusuri berdasarkan dasar teori kesejahteraan (welfare theorm). Berdasarkan teori kesejahteraan, ukuran utama kesejahteraan konsumen biasanya dihitung dari besarnya tingkat consumer surplus (CS) yang diterima oleh konsumen. Namun demikian, seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran bahwa ukuran utama berdasarkan consumer surplus mengandung beberapa kelemahan, para ahli kemudian mengembangkan konsep pengukuran kesejahteraan lainnya berdasarkan teori Compensated Valuation (CV) dan Equivalent Variation (EV).
Dalam Patunru, 2004 disebutkan bahwa CV dan EV sebetulnya adalah ukuran kesejahteraan untuk barang non pasar dengan premis dasar dari teori ekonomi neoklasik bahwa individu memiliki preferensi atas sejumlah barang baik barang pasar maupun non pasar dengan ukuran kepemilikan (property rights) sebagai faktor pembeda utama. Pengukuran CV didasarkan pada teori bahwa kita harus memberikan kompensasi kepada konsumen atas perubahan harga barang yang menimbulkan perubahan kepuasan dari konsumen tersebut. Sedangkan pengukuran EV didasarkan pada teori bahwa pada level pendapatan berapa yang dibutuhkan konsumen agar kepuasan di dalam mengkonsumsi barang setara dengan kepuasan awalnya.
BLT BBM dan BLT Elpiji
Konsep dasar pemberian BLT oleh pemerintah dalam kasus pengurangan subsidi BBM tahun 2005 dan 2008, sebetulnya mirip dengan konsep yang dijelaskan oleh teori CV. Jadi pemerintah memberikan kompensasi kepada masyarakat akibat kenaikan harga BBM sebesar Rp100 ribu per bulan, dengan tujuan mengembalikan tingkat kepuasan masyarakat yang turun akibat kenaikan harga BBM.
Berbeda dengan tujuan pemberian BLT sebelumnya, BLT elpiji yang sedang direncanakan oleh pemerintah, memiliki tujuan yang lebih luas bukan hanya sekedar mengembalikan kepuasan masyarakat akibat kebijakan penyetaraan harga tabung gas elpiji 3 kg dan 12 kg, namun lebih ditekankan pada tujuan mengurangi insentif oknum penyuntik tabung gas elpiji, yang terbukti terus menimbulkan korban ledakan setiap harinya.
Plus Minus BLT Elpiji
Dilihat dari tujuan pemberian BLT elpiji, sebetulnya ide pemerintah cukup bagus dan perlu mendapatkan apreasiasi yang mendalam. Pemberian BLT sebesar Rp150 per bulan tentu saja akan sangat membantu masyarakat pengguna elpiji setiap bulannya. Namun demikian selayaknya ide ini perlu mendapatkan kajian yang lebih mendalam khususnya terkait dengan masalah pendataan siapa saja yang nantinya berhak mendapatkan BLT ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa mekanisme penyaluran BLT tahun 2005 dan 2008 sangat terkendala dengan masalah lemahnya basis data penerima BLT.
Pemerintah juga perlu memikirkan masak-masak apakah memang sumber utama terjadinya teror ledakan tabung gas adalah maraknya praktek penyuntikan tabung gas elpiji, atau justru masalah utamanya berasal dari tidak adanya sertifikasi nasional bagi selang dan semua peralatan yang digunakan dalam tabung elpiji 3 kg dan 12 kg. Jika memang itu masalah utamanya, wacana pemberian BLT elpiji tentu saja harus dihentikan dan dialihkan pada penegakan hukum atas produsen tabung dan peralatan elpiji yang belum bersertifikasi nasional.
Penyetaraan harga elpiji seyogyanya juga disertai dengan penyetaraan struktur pasar dari gas, sehingga jangan sampai nantinya BLT sudah terlanjur diluncurkan, ternyata praktek penyuntikan tabung gas masih marak dilakukan. Jika memang nantinya hal ini yang terjadi, istilahnya pemerintah sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Joko Tri Haryanto
Penulis adalah Kandidat Doktor Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Pegawai Badan Kebijakan Fiskal, Kementrian Keuangan RI.