Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan belanja negara untuk pembiayaan program pembangunan sebagaimana tertuang dalam rencana kerja pemerintah, penerimaan perpajakan sangat penting sebagai sumber utama pendanaan negara. Kebutuhan akan meningkatnya realisasi penerimaan perpajakan mendorong pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menggali potensi perpajakan sesuai dengan struktur ekonomi secara umum, dan berdasarkan pada potensi di masing-masing sektor perekonomian. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, perlu dibangun suatu model untuk menghitung besarnya potensi penerimaan pajak di masing-masing sektor ekonomi. Pembangunan model potensi pajak sektoral tersebut bertujuan untuk mengukur potensi penerimaan pajak pada masing-masing sektor, sehingga dapat diperoleh suatu gambaran apakah pemungutan pajak pada sektor tersebut sudah optimal atau masih undertax. Dan selanjutnya akan disusun suatu rekomendasi kebijakan yang dapat mengoptimalkan penerimaan pajak.
Sebagaimana diketahui, sumber utama penerimaan pajak berasal dari penerimaan PPh, khususnya PPh pasal 25/29 badan. Oleh karena itu, dalam kajian ini, sementara hanya dibatasi untuk menghitung potensi penerimaan pajak yang bersumber dari PPh pasal 25/29 badan, untuk menyempurnakan perhitungan potensi penerimaan PPh yang telah dilakukan sebelumnya. Data yang digunakan untuk menghitung potensi penerimaan PPh badan pada masing-masing sektor adalah data realisasi penerimaan pph badan secara sektoral, data master file NPWP periode 2005-2009, data SPT tahunan PPh badan periode 2005-2009 dan data PDB sektoral periode 2005 sampai dengan 2011. Data realisasi penerimaan PPh secara sektoral dipakai untuk menghitung tax gap antara realisasi dan potensi penerimaan PPh. Data SPT badan diolah untuk mendapatkan jumlah peredaran usaha atau omset secara sektoral, yang untuk selanjutnya dipakai untuk menghitung rasio margin dari peredaran usaha suatu sektor. Sedangkan data PDB sektoral diolah untuk mendapatkan data omset dari masing-masing sektor dalam skala nasional. Data rasio margin dari peredaran usaha suatu sektor dan data omset sektoral dalam skala nasional selanjutnya dipakai untuk menghitung penghasilan kena pajak sektoral. Terakhir, data penghasilan kena pajak sektoral akan dikalikan dengan besaran tarif PPh badan untuk mendapatkan jumlah potensi penerimaan PPh badan secara sektoral.
Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan didapatkan secara sektoral, tiga sektor dengan tax coverage ratio tertinggi adalah sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor industri pengolahan. Tax coverage ratio rata-rata dalam tiga tahun dari masing-masing sektor adalah 76 persen, 67 persen dan 54 persen. Dengan demikian tax gap dari masing-masing sektor adalah 24 persen, 33 persen, dan 46 persen. Dari hasil pencapain tersebut dapat dilihat bahwa realisasi penerimaan PPh badan dari ketiga sektor telah mendekati potensi yang ada, atau sudah mendekati optimal. Secara umum, tingginya tax coverage ratio di sektor-sektor tersebut terutama didukung oleh karakter WP yang tergolong besar, atau WP dengan dengan jumlah peredaran usaha besar (WP BUMN, WP PMA dan WP Besar), walaupun dengan jumlah WP yang tidak terlalu banyak. Terhadap WP-WP ini telah dilakukan pengawasan secara optimal, tidak hanya oleh Direktorat Jenderal Pajak pada Kementerian Keuangan, namun juga oleh kementerian lain. Pengawasan yang dilakukan meliputi pengawasan atas pelaporan keuangan dan administrasi. Oleh karena itu, setoran pajak dari sektor-sektor tersebut dapat dioptimalkan.
Sebaliknya, sektor dengan tax coverage ratio terendah, atau dengan tax gap tertinggi, adalah sektor jasa, sektor konstruksi, dan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Sektor jasa mempunyai tax coverage ratio sebesar 10 persen dengan tax gap sebesar 90 persen, sektor konstruksi mempunyai tax coverage ratio sebesar 11 persen dengan tax gap sebesar 89 persen, dan tax coverage ratio sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan adalah sebesar 14 persen dengan tax gap sebesar 86 persen. Rendahnya coverage ratio terutama disebabkan oleh masih banyaknya pelaku usaha dalam ketiga sektor tersebut yang tidak masuk dalam sistem administrasi perpajakan (under cover economic). Selain itu, rendahnya pemahaman akan kewajiban perpajakan dalam kalangan masyarakat juga menjadi salah satu penyebab rendahnya tax compliance.
Terkait hal tersebut di atas adalah kami rekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.