Pustaka Fiskal
  • Beranda
  • Koleksi
  • Kajian Fiskal
  • Tentang
  • Berita
  • Buku Tamu
  • Area Anggota

Pencarian berdasarkan :

SEMUA Pengarang Subjek ISBN/ISSN Pencarian Spesifik

Pencarian terakhir:

{{tmpObj[k].text}}

Knowledge and Inspiration | Pustaka Fiskal


INDEKS KAJIAN

Eksekutif Summary : Perhitungan Model Potensi Pajak Sektoral

Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Dengan semakin meningkatnya kebutuhan belanja negara untuk pembiayaan program pembangunan sebagaimana tertuang dalam rencana kerja pemerintah, penerimaan perpajakan sangat penting sebagai sumber utama pendanaan negara.  Kebutuhan akan meningkatnya realisasi penerimaan perpajakan mendorong pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menggali potensi perpajakan sesuai dengan struktur ekonomi secara umum, dan berdasarkan pada potensi di  masing-masing sektor perekonomian. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, perlu dibangun suatu model untuk menghitung besarnya potensi penerimaan pajak di masing-masing sektor ekonomi. Pembangunan model potensi pajak sektoral tersebut bertujuan untuk mengukur potensi penerimaan pajak pada masing-masing sektor, sehingga dapat diperoleh suatu gambaran apakah pemungutan pajak pada sektor tersebut sudah optimal atau masih undertax. Dan selanjutnya akan disusun suatu rekomendasi kebijakan yang dapat mengoptimalkan penerimaan pajak. 

Sebagaimana diketahui, sumber utama penerimaan pajak berasal dari penerimaan PPh, khususnya PPh pasal 25/29 badan. Oleh karena itu, dalam kajian ini, sementara hanya dibatasi untuk menghitung potensi penerimaan pajak yang bersumber dari PPh pasal 25/29 badan, untuk menyempurnakan perhitungan potensi penerimaan PPh yang telah dilakukan sebelumnya. Data yang digunakan untuk menghitung potensi penerimaan PPh badan pada  masing-masing sektor adalah data realisasi penerimaan pph badan secara sektoral, data master file NPWP periode 2005-2009, data  SPT tahunan PPh badan periode 2005-2009 dan data PDB sektoral periode 2005 sampai dengan 2011. Data realisasi penerimaan PPh secara sektoral dipakai untuk menghitung tax gap antara realisasi dan potensi penerimaan PPh. Data SPT badan diolah untuk mendapatkan jumlah peredaran usaha atau omset secara sektoral, yang untuk selanjutnya dipakai untuk menghitung rasio margin dari peredaran usaha suatu sektor. Sedangkan data PDB sektoral diolah untuk mendapatkan  data omset dari  masing-masing sektor dalam skala nasional. Data rasio margin dari peredaran usaha suatu sektor dan data omset sektoral dalam skala nasional selanjutnya dipakai untuk menghitung penghasilan kena pajak sektoral. Terakhir, data penghasilan kena pajak sektoral akan dikalikan dengan besaran tarif PPh badan untuk mendapatkan jumlah potensi penerimaan PPh badan secara sektoral.

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan didapatkan secara sektoral, tiga sektor dengan tax coverage ratio tertinggi adalah  sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor industri pengolahan. Tax coverage ratio rata-rata dalam tiga tahun dari masing-masing sektor adalah 76 persen, 67 persen dan 54 persen. Dengan demikian tax gap dari masing-masing sektor adalah 24 persen, 33 persen, dan 46 persen. Dari hasil pencapain tersebut dapat dilihat bahwa realisasi penerimaan PPh badan dari ketiga sektor telah mendekati potensi yang ada, atau sudah mendekati optimal. Secara umum, tingginya tax coverage ratio di sektor-sektor tersebut terutama didukung oleh karakter WP yang tergolong besar, atau WP dengan dengan jumlah peredaran usaha besar (WP BUMN, WP PMA dan WP Besar), walaupun dengan jumlah WP yang tidak terlalu banyak. Terhadap WP-WP ini telah dilakukan pengawasan secara optimal, tidak hanya oleh Direktorat Jenderal Pajak pada Kementerian Keuangan, namun juga oleh kementerian lain. Pengawasan yang dilakukan meliputi pengawasan atas pelaporan keuangan dan administrasi. Oleh karena itu, setoran pajak dari sektor-sektor tersebut dapat dioptimalkan.

Sebaliknya, sektor dengan tax coverage ratio terendah, atau dengan tax gap tertinggi, adalah sektor jasa, sektor konstruksi, dan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Sektor jasa mempunyai tax coverage ratio sebesar 10 persen dengan tax gap sebesar 90 persen, sektor konstruksi mempunyai tax coverage ratio sebesar 11 persen dengan tax gap sebesar 89 persen, dan tax coverage ratio sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan adalah sebesar 14 persen dengan tax gap sebesar 86 persen. Rendahnya coverage ratio terutama disebabkan oleh masih banyaknya pelaku usaha dalam ketiga sektor tersebut yang tidak masuk dalam sistem administrasi perpajakan (under cover economic). Selain itu, rendahnya pemahaman akan kewajiban perpajakan dalam kalangan masyarakat juga menjadi salah satu penyebab rendahnya tax compliance.

Terkait hal tersebut di atas adalah kami rekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

  1. DJP sebaiknya meningkatkan kualitas sistem administrasi perpajakan yang mampu mengadministrasikan semua data badan usaha, baik yang skala besar maupun kecil. Lengkapnya data badan usaha akan memudahkan DJP dalam melakukan intensifikasi dan optimalisasi penerimaan perpajakan. Saat ini, masih banyak badan usaha kecil dan menengah yang belum terdaftar dalam sistem perpajakan.
  2. Kementerian Keuangan sebaiknya meningkatkan koordinasi dengan kementerian terkait atau pemerintah daerah untuk memperoleh data wajib pajak badan dengan cara, antara lain mengintegrasikan proses perijinan pendirian badan usaha dengan proses penerbitan NPWP. Dengan demikian, diharapkan agar setiap badan usaha yang didirikan otomatis terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan.
  3. DJP sebaiknya memberikan perlakuan khusus terhadap wajib pajak badan usaha skala kecil menengah dalam pelaporan keuangan untuk kepentingan perpajakan dan sistem penghitungan pajak penghasilan badan agar lebih sederhana dan mudah. Hal ini perlu dilakukan karena tingkat pemahaman wajib pajak badan usaha kecil dan menengah terhadap peraturan perpajakan dan kemampuan dalam pelaporan keuangan tidak sebaik wajib pajak badan usaha besar.
  4. DJP sebaiknya meningkatkan intensifikasi dan optimalisasi perpajakan terhadap wajib pajak badan skala kecil dan menengah disamping tetap meningkatkan perhatian terhadap wajib pajak badan skala besar, terutama di daerah-daerah. Usaha kecil dan menengah memiliki potensi pajak penghasilan badan yang besar jika dihitung dalam skala nasional. Misalnya sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan yang banyak tersebar di daerah memiliki potensi yang besar, namun realisasinya masih kecil. KPP masih mengutamakan wilayah perkotaan dengan mengembangkan kantor-kantor modern di kota, sementara di daerah masih belum sebaik di kota. 

INDEKS KAJIAN

Disclaimer

Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.

The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.


Pustaka Fiskal
  • Tentang
  • Kajian Fiskal
  • Area Anggota

Tentang Kami

Pustaka Fiskal menyediakan koleksi buku-buku publikasi BKF, buku-buku umum, kajian, dokumen, kliping surat kabar, kumpulan peraturan, serta beberapa surat kabar/majalah secara elektronik (e-paper).

Cari

masukkan satu atau lebih kata kunci dari judul, pengarang, atau subjek

© 2025 — Badan Kebijakan Fiskal - Powered by SLiMS

Pilih subjek yang menarik bagi Anda
  • Karya Umum
  • Filsafat
  • Agama
  • Ilmu-ilmu Sosial
  • Bahasa
  • Ilmu-ilmu Murni
  • Ilmu-ilmu Terapan
  • Kesenian, Hiburan, dan Olahraga
  • Kesusastraan
  • Geografi dan Sejarah
Icons made by Freepik from www.flaticon.com
Pencarian Spesifik