Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian/Lembaga TA 2010
Penulis: Adrianus Dwi Siswanto, Sri Lestari Rahayu
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya
Penyerapan Belanja Kementerian/Lembaga TA 2010
Oleh: Adrianus Dwi Siswanto dan Sri Lestari Rahayu
Abstraksi
Sebagai negara yang sedang giat membangun, peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memberikan dorongan yang lebih kuat dan cepat bagi pergerakan roda perekonomian. Untuk itu, pemerintah melakukan berbagai upaya dan tindakan strategis melalui berbagai instrumen kebijakan. Salah satunya melalui kebijakan belanja yang dituangkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
APBN sebagai instrumen kebijakan fiskal merupakan bentuk intervensi pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, APBN memiliki beberapa fungsi, seperti fungsi alokasi, fungsi distribusi yang terutama distribusi pendapatan dan fungsi stabilisasi. Dengan fungsi-fungsi tersebut maka sangat diharapkan kebijakan fiskal yang dikeluarkan, khususnya kebijakan belanja negara, bekerja secara tepat, efisien dan berkelanjutan.
Berdasarkan kajian singkat (quick research) yang telah dilakukan oleh Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN), atas 7 Kementerian/Lembaga (K/L) terbesar pengelola belanja, diperoleh informasi dan permasalahan terkait dengan penyebab rendahnya penyerapan belanja. Kajian ini menggunakan metodologi statistik deskriptif yang sumber data diperoleh dari hasil wawancara, diskusi dan survei lapangan. Dari hasil kajian diketahui setidaknya terdapat 4 permasalahan utama dalam proses penyerapan belanja K/L.
Keempat permasalahan tersebut adalah terkait dengan persoalan internal K/L, persoalan mekanisme pengadaan barang dan jasa, dokumen pelaksanaan anggaran dan mekanisme revisi, dan persoalan lain-lain. Dari hasil analisis yang dilakukan, tim merekomendasikan beberapa langkah perbaikan termasuk merevisi beberapa peraturan agar permasalahan yang ada dapat diatasi, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka menengah.
I. Pendahuluan
Sebagai kementerian yang mengeluarkan kebijakan fiskal, khususnya yang terkait dengan belanja kementerian/lembaga, Kementerian Keuangan telah berupaya untuk meningkatkan kinerja, baik kinerja dari sisi pendapatan maupun kinerja dari sisi belanja. Untuk itu, dalam upaya meningkatkan kinerja penyerapan belanja K/L, Kementerian Keuangan tidak saja menjalankan fungsinya sebagai Bendahara Umum Negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kementerian Keuangan berupaya agar instrumen kebijakan fiskal, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan menciptakan lapangan kerja.
Dengan UU tersebut, Kementerian Keuangan maupun K/L teknis lainnya memiliki fungsi yang berbeda satu dengan lainnya. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, Menteri Keuangan memiliki kekuasaan atas pengelolaan keuangan Negara (pasal 6 ayat 2 huruf a) selaku pengelola fiskal. Sedangkan Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pengguna anggaran/pengguna barang kementerian/lembaga yang dipimpinnya. Selaku pengelola keuangan negara, Menteri Keuangan memiliki tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 8. Sedangkan Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna anggaran memiliki tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 9.
Selanjutnya dalam rangka penyusunan dan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga tunduk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sedangkan untuk pemeriksaan dan pengelolaan serta tanggungjawab keuangan negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Dalam postur APBN, belanja pemerintah pusat memainkan peranan yang sangat penting dalam pencapaian tujuan nasional, terutama dalam meningkatkan dan memelihara kesejahteraan rakyat. Hal ini terutama karena besaran dan komposisi anggaran belanja pemerintah pusat dalam operasi fiskal pemerintah mempunyai dampak yang signifikan pada permintaan agregat dan output nasional, serta mempengaruhi alokasi sumberdaya dalam perekonomian. Selain itu, peranan penting anggaran belanja pemerintah pusat dalam perekonomian, sebagai salah satu perangkat kebijakan fiskal, juga berkaitan dengan ketiga fungsi utama anggaran belanja pemerintah, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi.
Pada sisi lain penganggaran berbasis kinerja berorientasi pada sistem pengganggaran yang menekankan pada pencapaian hasil dan keluaran (output based) dari program dan kegiatan dengan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya yang terbatas dan efektif dalam pencapaian output dan outcome-nya. Kinerja hasil dan keluaran tersebut merupakan kinerja yang melekat pada K/L teknis terkait. Dengan kata lain perlu upaya untuk terus melakukan koordinasi yang lebih intensif guna mensinergikan kinerja yang hendak dicapai oleh Kementerian Keuangan dan K/L teknis terkait.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, belanja K/L telah menghasilkan pola belanja dengan karakteristik penyerapan yang rendah di semester pertama dan menumpuk pada akhir tahun anggaran berjalan. Pola demikian terjadi di tingkat pemerintah pusat dan daerah, sehingga akan mengganggu rencana kinerja kebijakan APBN terhadap perekonomian secara umum. Di sisi lain, akan berdampak pula pada pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan pengentasan kemiskinan yang menjadi sasaran kebijakan fiskal secara khusus.
Dari hasil kajian, diperoleh informasi awal bahwa pola belanja K/L yang menjadi sampel analisis, belum mengalami perubahan signifikan. Perubahan yang diharapkan adalah terjadinya sebaran yang lebih merata, baik di semester pertama maupun di semester kedua, dengan kata lain diharapkan realisasi belanja tidak mengalami penumpukan pada akhir tahun.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disampaikan permasalahan sebagai berikut : (i) Faktor-faktor apa saja yang berpotensi menghambat proses penyerapan APBN; dan (ii) Adanya berbagai kebijakan/peraturan perundangan yang kebijakan adanya pemahaman yang sama dalam proses mekanisme penyusunan/revisi DIPA;
II. Gambaran Umum Penyerapan Belanja K/L Semester I 2010
Dalam Tahun Anggaran 2010, terdapat beberapa K/L yang memperoleh alokasi anggaran relatif besar dibandingkan K/L lainnya. K/L tersebut adalah (1). Kementerian Pendidikan Nasional sebesar Rp63,4 triliun; (2). Kementerian Pertahanan sebesar Rp42,9 triliun; (3). Kementerian Pekerjaan Umum sebesar Rp36,1 triliun; (4). Kepolisian sebesar Rp27,8 triliun; (5). Kementerian Kesehatan sebesar Rp23,8 triliun; (6). Kementerian Perhubungan sebesar Rp17,6 triliun; dan (7). Kementerian Keuangan sebesar Rp15,4 triliun.
Secara keseluruhan, total alokasi anggaran yang disediakan untuk 7 K/L tersebut adalah sebesar Rp227 triliun. Dengan jumlah tersebut maka porsi yang dimiliki 7 K/L mencapai kurang lebih 70 persen dari total alokasi belanja yang disalurkan untuk K/L sebagai instansi pusat. Dengan porsi belanja yang relatif besar tersebut, maka kedudukan ketujuh K/L tersebut sangat signifikan sebagai indikator mengukur kinerja dari sisi penyerapan.
Gambar di atas menunjukkan bahwa sekalipun secara nominal tingkat penyerapan belanja relatif terus meningkat namun secara prosentase terjadi fluktuasi. Untuk penyerapan Semester I 2006, realisasi baru mencapai Rp56,5 triliun atau sebesar 26,2 persen. Terus meningkat di tahun berikutnya hingga tahun 2009 sebesar Rp104,7 triliun atau sebesar 33,3 persen. Kembali turun daya serapnya di 2010 menjadi Rp104,5 triliun atau 28,5 persen. Dengan demikian daya serap Semester I 2010 relatif lebih rendah dari Semester I 2009.
Apabila tahun pengamatan dimulau di Semester I 2006, terutama untuk dua jenis belanja, yaitu belanja barang dan modal, kinerja penyerapan di Semester I 2010 relatif lebih baik. Namun hal tersebut hanya untuk belanja barang bukan belanja modal. Dalam 5 tahun terakhir, belanja barang Semester I 2010 relatif lebih tinggi hanya dengan Semester I 2007. Selanjutnya untuk lebih rinci, tabel di bawah ini memperlihatkan perkembangan realisasi belanja barang dan modal untuk Semester I Tahun 2006 – 2010 sebagai berikut.
Dari Tabel 1, nampak bahwa dalam kurun waktu 5 tahun sejak 2006, realisasi belanja barang relatif menunjukkan pergerakan yang stabil. Belanja barang mengalami naik – turun pada kisaran 3 – 4 persen. Kondisi yang berbeda terjadi untuk belanja modal yang memiliki kecenderungan berfluktuasi dengan variasi yang lebih tajam. Prosentase naik – turun dapat terjadi pada kisaran 5 – 7 persen. Saat ini porsi terbesar belanja modal dikelola oleh 2 kementerian, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan.
Belanja barang dan belanja modal mengalami peningkatan dari semula Rp29,3 triliun dan Rp31,5 triliun di tahun 2005 menjadi Rp111,6 triliun dan Rp101,9 triliun di tahun 2010. Peningkatan yang cukup signifikan tersebut belum diikuti dengan peningkatan kemampuan penyerapan yang lebih baik. Di sisi lain pemerintah dituntut untuk lebih mengalokasikan dana bagi belanja-belanja yang diperkirakan memberikan efek ganda (multiplier) lebih besar. Dengan demikian kecenderungan pemerintah untuk terus menambah porsi belanja barang dan modal nampaknya akan terus dipertahankan di masa-masa yang akan datang.
Pada sisi lain, secara akumulasi, dari ketujuh K/L yang diamati, capaian realisasi belanja masih relatif rendah di tahun 2010 (Gambar-4). Bahkan dalam kurun waktu triwulan pertama sampai dengan ketiga tahun 2010, secara persentase terjadi penurunan realisasi belanja K/L apabila dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama di tahun 2008 dan 2009. Fakta ini cukup mengkhawatirkan mengingat fungsi belanja pemerintah sebagai stimulus roda perekonomian.
Berdasarkan kondisi saat ini yang ditandai dengan rendahnya penyerapan pada Triwulan I dan Triwulan II akan berpotensi mendorong terjadi lonjakan penyerapan pada Triwulan III dan Triwulan IV. Apabila laju penyerapan tersebut kurang dari 60 persen maka besar kemungkinan penyerapan belanja K/L di 2010 dapat lebih rendah dari penyerapan 2009 yang sebesar 97 persen.
Dengan memperhatikan Gambar-5 di atas, Kepolisian Negara merupakan institusi yang penyerapan belanja barangnya relatif lebih baik dibanding institusi lainnya. Realisasi penyerapan pada Kepolisian mencapai 20,4 persen. Sedangkan realisasi belanja barang terendah terjadi pada Kementerian Perhubungan yang hanya sebesar 4,7 persen. Sementara itu, dari sisi realisasi penyerapan belanja modal, Kementerian Pekerjaan Umum relatif lebih baik dibandingkan kementerian lainnya. Dari data yang tersedia, realisasi Kementerian Pekerjaan Umum mencapai 18,7 persen yang diikuti dengan Kementerian Perhubungan sebesar 17,7 persen. Dengan demikian, baik ditinjau dari sisi belanja barang maupun belanja modal, penyerapan anggaran K/L relatif rendah pada Semester I.
Selanjutnya, berdasarkan ranking K/L yang telah melakukan penyerapan anggaran adalah sebagai berikut : untuk penyerapan belanja K/L 2010 di atas rata-rata 40,2 persen , yaitu Polri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendidikan Nasional. Sedangkan untuk kementerian/lembaga lainnya secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar-6 dibawah berikut ini.
Berdasarkan data pada gambar 6, dipetakan realisasi anggaran menurut bidang untuk Tahun Anggaran 2010 yang dibandingkan dengan Tahun Anggaran 2009 sebagai berikut :
a) Pembangunan infrastruktur masih relatif rendah (Kementerian PU & Kementan);
b) Bidang pendidikan lebih rendah (Kemendiknas & Kemenag);
c) Bidang Hankam lebih rendah (Polri & Kemenhan);
d) Bidang Kesehatan lebih rendah (Kemenkes).
Sedangkan dari sisi wilayah diperoleh informasi bahwa kontribusi terbesar penyerapan belanja K/L di dominasi oleh wilayah Indonesia Barat yang mencapai 80,4 persen. Sedangkan yang mengalami perlambatan penyerapan terbanyak berada di wilayah Indonesia Timur. Sebagaimana gambar 7. Untuk wilayah Indonesia Tengah relatif lebih baik namun masih perlu diupayakan percepatannya. Adapun penyerapan berdasarkan wilayah secara lebih visual adalah sebagai berikut :
Sedangkan untuk realisasi dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan relatif masih relatif kecil, namun secara prosentase penyerapan dana Dekonsentrasi lebih tinggi, baik dibandingkan Kantor Pusat (KP) maupun Kantor Vertikal di Daerah (KD). Hal ini dijelaskan dalam Gambar-8 berikut :
Secara nominal realisasi belanja K/L dari anggaran yang merupakan kewenangan Kantor Pusat (KP) & Kantor Vertikal di Daerah (KD) yang berasal dari belanja Dekonsentrasi mencapai Rp71,3 triliun dari total Rp147,1 triliun. Dengan demikian realisasi dana dekonsentrasi telah mencapai 52,6 persen. Realisasi terendah bersumber dari dana Tugas Pembantuan 26,1 persen atau sebesar Rp2,3 triliun. Dengan realisasi yang telah dicapai maka potensi penyerapan anggaran di akhir tahun diperkirakan akan relatif lebih baik dibandingkan belanja K/L.
III. Hasil dan Analisis Pembahasan
Permasalahan Penyerapan Anggaran Belanja K/L 2010
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil diskusi (focus group discussion) dan survei lapangan maka diperoleh informasi mengenai permasalahan-permasalahan yang mengakibatkan rendahnya penyerapan. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu permasalahan yang bersumber dari : (1) internal K/L, (2) proses pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, (3) dokumen pelaksanaan anggaran dan proses revisi, dan (4) permasalahan lainnya, seperti adanya peningkatan alokasi belanja K/L pada saat terjadi perubahan APBN sebagaimana tertuang dalam APBN – P.
Sedangkan dari hasil survei lapang ke dua Propinsi, yaitu Propinsi Sulawesi Selatan dan DI Jogyakarta, ditemukan permasalahan seperti; keterlambatan dalam penetapan KPA dan Pejabat Pengelola Kegiatan. Keterlambatan tersebut terjadi hampir di setiap satuan kerja (Satker), baik pusat maupun daerah. Sebagai contoh, untuk Surat Keputusan Pejabat KPA dan Pejabat Pengelola Kegiatan di Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pekerjaan Umum, diterbitkan pada bulan Pebruari 2010. Bahkan di Kepolisian, penetapan surat keputusan tersebut diterbitkan pada bulan Maret 2010. Akibat surat tersebut tidak segera diterbitkan berdampak terhadap proses kegiatan yang selanjutnya akan mempengaruhi penyerapan anggaran pada instansi yang bersangkutan.
Dari hasil monitoring dan evaluasi di lapangan juga menemukan fakta bahwa akibat lemahnya koordinasi antara perencanaan dan pelaksanaan anggaran akan menciptakan potensi angka penyerapan menjadi lebih rendah. Terutama untuk kegiatan-kegiatan, seperti pembangunan gedung baru, di mana pada tahap perencanaan ternyata tidak dialokasikan anggaran untuk pembebasan lahan. Sedangkan untuk kegiatan seperti pelatihan dan pendidikan ternyata tidak dialokasikan anggaran untuk perjalanan dinas bagi peserta pelatihan. Anggaran yang tersedia hanya untuk pengeluaran konsumsi, honor pengajar dan lump-sum peserta.
Untuk instansi Kementerian Pertahanan dan Kepolisian rendahnya penyerapan juga disebabkan kurang terpadunya mekanisme kerja pada unit-unit tertentu. Beberapa Satuan Kerja di bawah kedua instansi tersebut tengah melaksanakan proses mutasi dan serah terima jabatan. Proses tersebut tidak disertai dengan serah terima berkas/dokumen sehingga kerapkali menyebabkan keterlambatan dalam penyerapan belanja yang terkait dengan kegiatan tersebut.
Adapun beberapa masalah internal yang sebagian besar terjadi pada 7 K/L yang menjadi sampel, sebagai berikut :
(i) kurang memahami mekanisme pencairan BOS;
(ii) faktor kehati-hatian dalam pengelolaan anggaran;
(iii) satuan harga yang ditetapkan sering tidak sesuai kebutuhan riil, K/L terlambat mengusulkan Standar Biaya Khusus (SBK);
(iv) kegiatan prioritas menggunakan sumber dana pinjaman hibah luar negeri (PHLN);
(v) kegiatan Pilkada di beberapa Daerah yang didanai dari APBD menyebabkan anggaran Pilkada untuk APBN Polri ditunda penggunaannya;
(vi) K/L belum menyiapkan peraturan perundangan (PP) untuk pengadaan pakaian dinas, converter kit, alat penguji kendaraan bermotor.
Disamping itu faktor penyebab juga ditemukan pada tahapan pengadaan barang dan jasa. Dari hasil diskusi dan survei diketahui bahwa masih adanya perencanaan kegiatan/proyek yang kurang baik yang ditandai dengan tidak ada kerangka acuan kerja (TOR) dan rincian anggaran biaya (RAB) yang mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian antara kebutuhan dan alokasi anggaran pada kegiatan tersebut. Permasalahan lainnya yang timbul pada tahap pengadaan sebagai berikut :
(i) spesifikasi teknis barang/jasa tidak ada/tidak jelas;
(ii) perencanaan pemilihan sumber dana yang tidak tepat (antara PHLN dengan Rupiah murni);
(iii) biaya di lapangan tidak sesuai dengan Standar Biaya Umum dan Standar Biaya Khusus (mengakibatkan terbatasnya peserta lelang, pelelangan ulang, menjadi temuan auditor);
(iv) banyaknya sanggahan dalam proses lelang;
(v) banyaknya pengaduan LSM ke Polri dan Kejaksaan;
(vi) kurangnya sosialisasi mekanisme pengadaan barang dan jasa;
(vii) kurangnya panitia pengadaan yang bersertifikat;
(viii) ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan terkait perencanaan, pelaksanaan dan pencairan anggaran antara APBN dan APBD;
(ix) masalah pengadaan/pembebasan lahan/tanah;
(xi) tidak seimbangnya risiko pekerjaan dengan imbalan yang diterima oleh pejabat pelaksana pengadaan;
(xii) dan kehati-hatian pejabat pengadaan barang dan jasa mengambil tindakan.
Pada aspek dokumen pelaksanaan anggaran dan mekanisme revisi, hasil kajian menunjukkan bahwa permasalahan yang muncul bersifat legal administratif. Seperti, rencana kegiatan yang belum dilengkapi dengan TOR, RAB, data pendukung, usulan kegiatan yang dibatasi (antara lain pengadaan kendaraan dan pembangunan gedung), penggunaan PHLN yang belum efektif (loan agreement belum ditandatangani atau belum ada nomor register), pemanfaatan PNBP yang tidak sesuai dengan dasar hukum penggunaan PNBP, kegiatan yang memerlukan ijin kontrak tahun jamak dari Menteri Keuangan belum dilengkapi dokumen pendukung.
Sementara itu, ada faktor-faktor lain yang ditemukan sebagai penyebab pemblokiran anggaran K/L yang berpotensi memperlambat proses penyerapan. Adapun faktor tersebut antara lain adalah: (i) pembangunan gedung/jalan/jembatan, dan pembangunan lainnya yang belum dilengkapi detail design; (ii) kegiatan yang memerlukan dasar hukum pelaksanaannya; (iii) kegiatan yang duplikasi dengan kegiatan instansi lain; (iv) pembayaran eskalasi yang belum ada audit dari BPKP; (v) bantuan tanggap darurat yang belum ada peruntukannya; (vi) Penyediaan alokasi anggaran untuk selisih kurs pada atase perdagangan di luar negeri.
Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa ada kemungkinan keterkaitan antara dokumen anggaran dan revisi anggaran dan penyerapan. Faktor yang menciptakan keterlambatan tersebut diantaranya: (i) tambahan anggaran belanja K/L dalam APBN-P 2010 ditetapkan untuk program/kegiatan baru, sementara itu dokumen pendukung (TOR dan RAB) belum disiapkan secara lengkap; (ii) banyaknya revisi dokumen anggaran (DIPA dan SRAA) yang mencapai 2.047 per Juni 2010, yang disebabkan antara lain :
(a) perencanaan anggaran yang kurang baik di K/L;
(b) tambahan pagu karena ABT, kelebihan realisasi PNBP, tambahan/luncuran PHLN/PHDN, penerimaan hibah;
(c) pergeseran antar bagian anggaran, antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar prop/kab/kota, dengan alasan diperlukan K/L karena lebih prioritas;
(d) Pembukaan blokir, perubahan nomenklatur satker, dan perubahan parameter dalam penghitungan subsidi;
(e) kesalahan bagan akun standar (BAS);
(f) persyaratan revisi DIPA Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan memerlukan persetujuan dari Pejabat Eselon I yang bersangkutan;
(g) kelengkapan dokumen anggaran dalam revisi anggaran.
Di samping persoalan-persoalan sebagaimana dikemukakan di atas, sekurang-kurangnya terdapat 5 masalah lain yang ditemukan yaitu : (1) tambahan pagu K/L dalam APBN-P 2010 sebesar Rp26 triliun, yang mengakibatkan persentase penyerapan belanja K/L Semester-I 2010 terhadap APBN-P hanya sebesar 28,5 persen bila dibandingkan dengan penyerapan terhadap pagu APBN sebesar 30,0 persen, (2) keterlambatan pejabat daerah dalam menetapkan pengelola anggaran pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD), (3) faktor geografis dan iklim yang juga mempengaruhi penyelesaian pekerjaan, (4) penundaan penagihan barang dan jasa dari pihak ketiga.
IV. Usulan Penyelesaian Masalah
Terhadap permasalahan penyerapan anggaran belanja K/L yang terjadi dalam Semester I 2010, serta dari hasil diskusi dan kajian, maka diusulkan beberapa langkah yang perlu dilakukan pemerintah untuk dapat mempercepat penyerapan belanja K/L ke depan.
Dalam jangka pendek terdapat beberapa langkah yang perlu diambil sebagai berikut :
a. Menghimbau K/L untuk segera menyelesaikan masalah internal dalam pelaksanaan anggaran.
b. Kementerian Keuangan melakukan komunikasi aktif dengan K/L untuk membantu proses penyelesaian pelaksanaan anggaran, terutama dalam hal :
- Melengkapi dokumen anggaran untuk menghapus tanda bintang.
- Melengkapi dokumen untuk revisi anggaran.
- Monitoring seluruh proses pelaksanaan kegiatan terkait dengan penyerapan belanja K/L .
- Memberikan ijin bagi kontrak kegiatan tahun jamak yang menjadi prioritas sejalan dengan prinsip kehati-hatian.
- Melakukan revisi PMK Nomor 69/PMK.02/2010 untuk lebih mempermudah proses revisi anggaran K/L.
Sedangkan untuk Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), didorong untuk meningkatkan sosialisasi kepada seluruh K/L dan Pemda mengenai mekanisme pengadaan barang dan jasa yang selama ini menjadi kendala bagi para pengelola anggaran. Sedangkan yang terkait dengan SK KPA, PPK, pejabat penerbit SPM, dan Bendahara Pengeluaran, diusulkan untuk diberlakukan lebih dari 1 tahun, sehingga pada tahun anggaran berjalan sudah dapat melakukan proses perencanaan dan pelelangan.
Dalam jangka menengah perlu dilakukan perbaikan-perbaikan yang komprehensif, diantaranya :
1. Penetapan KPA, PPK, pejabat penerbit SPM dan Bendahara Pengeluaran bersamaan dengan penerbitan DIPA (awal Januari).
2. Meningkatkan kapasitas SDM terkait pengelolaan anggaran serta pengadaan barang dan jasa.
3. Penyusunan perencanaan anggaran yang lebih baik.
4. Meminimalkan pemblokiran anggaran.
5. Mempercepat proses revisi anggaran.
6. Penyempurnaan Keppres No.80/2003 dan revisinya, guna mempermudah dan mempercepat proses pengadaan barang dan jasa, termasuk menghilangkan persyaratan sertifikasi bagi pejabat pengadaan barang dan jasa (LKPP).
7. Penyusunan regulasi mengenai mekanisme revisi dokumen anggaran agar lebih diarahkan dalam perspektif jangka panjang, tidak bersifat Ad Hoq untuk satu tahun anggaran
8. Mempercepat penyusunan RKA-KL secara on-line
9. Pada tahun berjalan, perlu dialokasikan anggaran untuk proses pengadaan barang dan jasa tahun anggaran berikutnya
10. Mengarahkan K/L untuk tidak menggunakan dana PHLN untuk kegiatan-kegiatan prioritas
11. Harmonisasi regulasi penyusunan dokumen perencanaan dan pelaksanaan anggaran, serta pengadaan barang dan jasa, agar dapat sejalan dan konsisten.
12. Penyusunan regulasi perencanaan dan pelaksanaan anggaran harus dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan selama ini.
13. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dilakukan secara terpadu dalam K/L yang sama.
14. Upaya peningkatan daya serap anggaran harus tetap menjaga aspek kualitas dan akuntabilitas dari belanja, termasuk pencapaian LKPP yang wajar tanpa pengecualian (WTP).
V. Kesimpulan dan Rekomendasi :
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan data realisasi APBN sampai dengan Semester I tahun 2010, persentase penyerapan belanja K/L sebesar 28,5 persen (Rp104,5 triliun), relatif lebih rendah dibandingkan penyerapan periode yang sama tahun 2009 sebesar 33,3 persen (Rp104,7 triliun). Oleh karena itu, perlu mempercepat proses penetapan pengelolaan anggaran, baik itu KPA, PPK, Bendahara Pengeluaran, dan Pejabat Penandatangan SPM.
Terkait dengan permasalahan internal, sebaiknya dilakukan langkah-langkah strategis dan cepat sesuai dengan kebutuhan, guna mempercepat proses pelaksanaan kegiatan, termasuk proses administrasinya.
Di sisi lain, untuk mekanisme pengadaan barang dan jasa, diharapkan dapat menunda persyaratan sertifikasi bagi panitia pengadaan dan dilakukan sosialisasi oleh LKPP, baik di pusat maupun di daerah.
Untuk jangka menengah, perlu meningkatkan kapasitas SDM terkait pengelolaan anggaran, memperkuat perencanaan agar dapat meminimalisir revisi dalam pelaksanaan. Penyederhanaan mekanisme pengadaan dengan penyempurnaan Keppres No.80/2003 termasuk meningkatkan kapasitas SDM terkait pengadaan barang dan jasa melalui pendidikan dan pelatihan, dan diselenggarakannya sosialisasi kepada seluruh pengguna anggaran (K/L);
Sedangkan dari aspek regulasi, perlu adanya penyempurnaan regulasi agar lebih diarahkan dalam prespektif jangka menengah dan tidak bersifat ad hoq (hanya mengikat dalam satu tahun anggaran), sepanjang tidak ada perubahan mendasar. Dengan demikian, maka perlu dilakukan pemberian kewenangan kepada K/L secara lebih luas (pergeseran antar sub-kegiatan dalam kegiatan yang sama) sehingga mengurangi frekuensi revisi anggaran.
Penyederhanaan format DIPA agar lebih fleksibel dan dapat meminimalisir revisi yang berupa pergeseran dalam jenis belanja yang sama. Pada tahun berjalan, perlu dialokasikan anggaran untuk proses pengadaan barang dan jasa tahun berikutnya. Di samping itu, waktu penelaahan RKA KL di Direktorat Jenderal Anggaran perlu diperpanjang agar memberi ruang yang cukup bagi K/L untuk memenuhi data pendukung, sehingga dapat meminimalisir tanda bintang.
DAFTAR PUSTAKA
Budi, Setia, Drs. MA. 2010. Identifikasi Penyebab dan Solusi Untuk Mengatasi Keterlambatan Penyerapan APBN, Focus Group Discussion, Jakarta 20 Juli 2010
Hutahaean, Parluhutan Drs. 2010. Penganggaran, Pemblokiran dan Realisasi Belanja K/L TA 2005 s.d 2010, Focus Group Discussion, Jakarta, 20 Juli 2010.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Nicodemus. 2010. Pelaksanaan Anggaran Kementerian Pekerjaan Umum Tahun 2010, Focus Group Discussion, Jakarta, 2 Juli 2010.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.02/2010 Tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2010.
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER – 66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran Atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Priyantono, Rudy B. 2010. Laporan Realisasi Anggaran Polri sd Bulan Juni 2010, Jakarta, 6 Juli 2010.
Rakhmat MA, Drs. 2010. Mekanisme Penyaluran APBN 2010. Focus Group Discussion, Jakarta 20 Juli 2010.
Samidjan. 2010. Laporan Realisasi Anggaran Kesehatan, Jakarta, 5 Juli 2010.
Sarwono, Martha Hardi. 2010. Pelaksanaan Anggaran Kementerian Perhubungan Tahun 2010, Focus Group Discussion, Jakarta, 2 Juli 2010.
Subagyo. 2010. Penyerapan Anggaran Semester I Thn. 2010
pada Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, 5 Juli 2010.
Sugiyanto. 2010. Perkembangan Daya Serap anggaran di lingkungan Kemhan, Focus Group Discussion, Jakarta, 6 Juli 2010.
Tunggal, Tribuwono, Drs. 2010. Mekanisme Revisi DIPA: Berdasarkan PMK 69/PMK.02/2010 – Nomor S 5114/PB/2009, Focus Group Discussion, Jakarta 20 Juli 2010.