Penulis: Pusat Kebijakan Pendapatan Negara
Masyarakat dunia saat ini mulai menyadari bahwa Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai sumber energi semakin langka, dan harganya pun semakin meningkat. Penggunaan energi BBM yang berlebihan di masa lalu menyebabkan cadangan minyak dunia semakin menipis. Banyak negara mulai mengatur strategi agar cadangan minyak dinegaranya dapat dihemat untuk memenuhi kebutuhan di masa mendatang. Banyak negara kaya yang memilih mengimpor minyak ketimbang memproduksi dari sumurnya sendiri. Banyak negara mulai memikirkan efisiensi energi, dan mencari energi alternatif sebagai pengganti BBM. Di sisi lain, juga disadari bahwa penggunaan energi BBM menghasilkan emisi CO2 yang signifikan, yang berdampak pada terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Dampak perubahan iklim bukan hanya terjadi pada negara yang mengkonsumsi BBM tinggi, tetapi juga negara-negara lain, yang tidak mengkonsumsi BBM sekalipun.
Sektor transportasi darat merupakan salah satu sektor yang banyak mengkonsumsi BBM dan menghasilkan CO2 dengan kontribusi cukup signifikan terhadap pemanasan global. Untuk mengatasi masalah ini muncullah kebutuhan untuk menggunakan mobil yang hemat energi dan ramah lingkungan. Pada tahun 2010, Jack R Nerad, analis pasar Kelley Blue Book, melakukan penilaian terhadap mobil-mobil bertemakan ramah lingkungan. Kajian ini menghasilkan sepuluh mobil paling hemat energi dari berbagai merk dan type dengan konsumsi bahan bakar dari 20,36 km per liter hingga 30,78 km per liter. Beberapa negara yang menyatakan siap memproduksi mobil hemat energi dan ramah lingkungan antara lain Jepang, India dan Cina.
Dengan semakin mahalnya harga BBM di Indonesia, pengguna mobil dan motor di Indonesia juga mulai melirik jenis-jenis mobil yang hemat energi. Menurut Kementerian Perindustrian, sebagaimana yang dipresentasikan pada acara Focused Group Discussion di Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Jl.Wahidin No.1 Jakarta Pusat Jumat 30 September 2011, Indonesia memiliki potensi untuk menjual mobil hemat energi antara 300.000 hingga 600.000 unit per tahun. Apabila industri mobil nasional tidak memanfaatkan potensi ini, diyakini bahwa peluang tersebut diisi oleh produk sejenis dari luar negeri, terutama negara ASEAN. Bila hal ini terjadi, maka industri otomotif Indonesia sulit berkembang dan tidak bisa memberikan nilai tambah yang optimal bagi perekonomian.
File Terkait:
publikasi LCGC (178 KB)
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.