Penulis: Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral
Free Trade Agreement (FTA) merupakan suatu perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan antara suatu negara dengan negara lainnya. Pembentukan berbagai FTA merupakan akibat dari liberalisasi perdagangan yang tidak dapat dihindari oleh semua negara sebagai anggota masyarakat internasional. Hal inilah yang mendorong terbentuknya blok-blok perdagangan bebas. FTA dapat dibentuk secara bilateral, misalnya antara Amerika Serikat dengan Singapura, Amerika Serikat dengan Chile; Japan dengan Singapura; maupun regional seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), North America Free Trade Area (NAFTA) dan Uni Eropa.
Pemerintah Indonesia meratifikasi pembentukan FTA bersama-sama dengan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN untuk pertama kalinya pada tahun 2002. Dalam perkembangannya, ASEAN FTA melakukan kerjasama China (ASEAN-China FTA) pada tahun 2004, dengan Korea (ASEAN-Korea FTA) pada tahun 2007 dengan India (ASEAN-India FTA) pada tahun 2010, dengan Australia dan New Zealand (ASEAN- Australia - New Zealand FTA) pada tahun 2010 dan terakhir dengan Japan (ASEAN- Japan Comprehensive Economic Partnership) pada tahun 2010.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa berbagai ratifikasi FTA ASEAN dengan berbagai Negara lain tersebut telah berlaku untuk Indonesia, namun masih ada yang dalam proses untuk ratifikasi (Indonesia entry into force), misalnya untuk perjanjian ASEAN- Japan Comprehensive Economic Partnership (ASEAN-Japan CEP). Selain itu juga masih ada beberapa lagi potensi FTA yang masih dalam proses persiapan baik itu berupa penjajakan, pengkajian atau pun perundingan, diantaranya ialah: ASEAN-Uni Eropa FTA, ASEAN-USA FTA, ASEAN-Canada FTA dan Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA).
Secara empiris, perdagangan internasional dan investasi terbukti mampu mendorong terjadinya industrialisasi yang dapat menjadi engine pertumbuhan ekonomi, sebagaimana yang telah terjadi dalam sejarah pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat bagi Japan (1960-an), Hong Kong, Taiwan, Singapore dan the Republic of Korea (1970-an dan 1980-an), Malaysia, Indonesia dan Thailand (1980-an) dan China (1990-an). Secara teoritis, liberalisasi perdagangan internasional akan meningkatkan arus perdagangan antarnegara juga akan memberikan manfaat kepada negara-negara yang terlibat dalam perjanjian liberalisasi perdagangan ini.
Hanya saja memang pertanyaan kritisnya ialah apakah manfaat itu terdistribusikan secara adil/merata ke seluruh negara atau tidak, hal ini masih menjadi pertanyaan besar yang harus dicari jawabannya. Tidak semata karena potensi basis (endowment) setiap negara yang berbeda, akan tetapi banyak faktor yang menambah kompleksitasnya. Kemampuan menegosiasikan kepentingan nasional di dalam fora internasional menjadi salah satu faktor penting yang akan mendukung kebijakan perdagangan internasional suatu negara dapat secara optimal mendukung pertumbuhan ekonominya. Tingkat produktivitas suatu negara yang biasanya diukur dengan level kualitas sumber daya manusia dan teknologi juga berperan dalam meningkatkan kemampuan untuk mengambil porsi manfaat perdagangan internasional bagi suatu negara. Maka dalam teori dasar perdagangan internasional berkembang dari adanya absolute advantage ke comparative advantage bahkan ke argumentasi competitive advantage.
Setiap delegasi RI yang akan berunding dalam fora perdagangan internasional harus dibekali tidak hanya kemampuan bernegosiasi (negotiation skills) tetapi juga pemahaman yang komprehensif atas berbagai kepentingan Indonesia yang harus dilindungi dan potensi peluang yang dapat diambil dari masyarakat internasional. Dua hal tersebut seperti dua sisi mata uang dalam pembangunan kerja sama internasional. Kemampuan negosiasi menjadi tidak berarti ketika tidak didukung dengan peta potensi-masalah yang jelas dan lengkap. Begitu pun sebaliknya. Pemahaman yang baik akan menjadi sia-sia ketika tidak didukung oleh kemampuan menegosiasikannya. Oleh karena itu, kajian yang memadai atas berbagai skenario kebijakan liberalisasi perdagangan internasional yang mungkin untuk meningkatkan manfaat bagi pembangunan nasional sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan para delegasi RI di fora internasional.
File Terkait:
Kajian Free Trade Agreement (3.780 KB)
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.