Penulis: Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal
Berbicara arti penting infrastruktur dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, perhatian kita akan langsung tertuju kepada pembangunan sektor infrastruktur transportasi. Ketersediaan sarana infrastruktur transportasi seperti akses jalan yang baik, sarana pelabuhan yang memadai, jembatan penghubung yang strategis, bandar udara yang berfasilitas lengkap, dan sarana pendukung lain seperti rel dan sistem jaringan kereta api yang terorganisasi dengan baik akan secara langsung mempengaruhi peningkatan daya saing perekonomian yang nantinya berujung pada pesatnya laju pertumbuhan ekonomi. Beberapa studi ilmiah dari dalam maupun luar negeri bisa menjadi referensi untuk mengetahui peran sektor transportasi ini di dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara. Studi-studi tersebut antara lain dari Demurger (2000), seorang profesor ekonomi pembangunan dari Universitas Auvergne Perancis, mengemukakan dalam risetnya bahwa pembangunan transportasi yang terorganisasi diantara 24 provinsi di China adalah faktor utama yang menentukan pesatnya laju pertumbuhan ekonomi negara tersebut dalam kurun waktu sewindu terakhir. Studi dari Bank Indonesia yang tertuang di dalam Tinjauan Kebijakan Moneter BI (2012), juga menyebutkan bahwa sektor transportasi adalah sektor nomor dua yang paling berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, setelah sektor industri. Bertolak dari peran penting inilah, sudah selayaknya pembangunan sektor transportasi mendapatkan porsi perhatian yang cukup dan direncanakan dengan komprehensif sehingga output fisik dari pembangunan dapat tercapai sesuai yang direncanakan.
Ketersediaan Anggaran : Tantangan Klasik yang Terus Mengusik
Karakteristik pembangunan infrastruktur yang bersifat padat modal dan keterbatasan anggaran pemerintah dalam membiayai pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur seperti dua sisi mata uang yang selalu akan bertolak belakang satu sisi terhadap sisi lainnya. Problem klasik ini tidak hanya dialami oleh negara berkembang, tapi juga oleh negara maju seperti Australia. Pada tahun anggaran 2009-2010, Pemerintah Federal Australia sampai harus menggunakan instrumen fiskal yang tidak populis yaitu dengan cara menaikkan PPN untuk arus barang ekpor dan impor guna membiayai pembangunan infrastruktur transportasi berupa pembangunan jaringan rel kereta api, jalan dan pelabuhan sebesar 8.4 milyar dollar australia. Sebuah pilihan kebijakan fiskal yang logis, mengingat besarnya multiplier effect dari pembangunan infrastruktur itu sendiri untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Australia ke depan. Problem serupa juga dialami oleh negara berkembang seperti Indonesia dengan struktur permasalahan yang lebih kompleks. Studi Bappenas menyatakan Indonesia dalam kurun waktu 2010-2014 membutuhkan dana pembiayaan infrastruktur sebesar 5% dari PDB atau sekitar Rp 1924 triliun guna mencapai tingkat pertumbuhan 7% pada tahun 2014. Melihat rincian dari kebutuhan pembangunan infrastruktur diatas, kita akan menemukan data bahwa 75.8% dari total kebutuhan dana atau sekitar Rp 1458 Triliun (Rp 291.7 Triliun/tahun) didominasi kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur transportasi. Hal ini berarti pembangunan infrastruktur sektor transportasi memegang porsi yang dominan dalam perencanaan pembangunan infrastruktur nasional. Dari kebutuhan sebesar itu, kemampuan pembiayaan pemerintah melalui APBN dan APBD diperkirakan berkisar Rp 914 Triliun atau berkisar 47% dari kebutuhan total pembiayaan, dimana dari porsi tersebut, sebagian besar diantaranya digunakan untuk pemeliharaan jalan nasional dalam rangka menjaga kondisi dan pelayanan, dan hanya sebagian kecil digunakan untuk membangun sarana jalan baru atau rel kereta api baru. Selisih kebutuhan pembiayaan sebesar Rp 1009.4 Triliun (53% dari total kebutuhan) merupakan tantangan yang harus dicarikan solusinya bersama.
File Terkait:
Akselerasi dan Improvisasi Proyek KPS (330 KB)
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.