Penulis: Pusat Kebijakan APBN
Keynes berpendapat bahwa peningkatan belanja negara (government spending) efektif untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Asumsi yang digunakan oleh Keynes adalah ekonomi dalam kondisi kelebihan kapasitas (excess capacity) dan dengan demikian belum mencapai utilisasi penuh (full employment). Lebih jauh lagi, umumnya dapat disetujui bahwa pengentasan kemiskinan menghendaki adanya pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan pengentasan kemiskinan, dengan asumsi excess capacity, dapat terwujud dengan peningkatan government spending (belanja negara). Walaupun demikian, muncul dugaan bahwa dampaknya bervariasi antar sektor ekonomi. Peningkatan belanja untuk sektor pertanian, misalnya, berkemungkinan memiliki dampak yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor perdagangan. Untuk sektor pengolahan kemungkinan juga berbeda untuk sektor pertambangan, dan lain sebagainya. Ini berarti bahwa realokasi belanja negara antar sektor dan atau sektor-sektor ekonomi berpotensi untuk peningkatan pertumbuhan dan perluasan kesempatan kerja. Premis-premis tersebut dijadikan landasan oleh Tim Modelling Pusat Kebijakan APBN, BKF untuk mulai membangun Model Belanja Pemerintah Pusat (Kementrian/Lembaga).
Secara lebih spesifik, substansi Model Belanja adalah sebagai berikut: (i) untuk identifikasi profil belanja pusat terhadap empat indikator perekonomian (pendapatan, output, tenaga kerja, dan kemiskinan); (ii) alat evaluasi terhadap belanja pusat; dan (iii) alat simulasi untuk desain belanja pusat agar sesuai kebijakan Pemerintah yang tercermin pada capaian empat indikator perekonomian.
Beberapa hasil dari kegiatan modelling ini dalam tahun 2008 mencakup pemetaan manual sektor Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke sektor perekonomian Input Output (I-O)-66 dan alat simulasi anggaran berbasis data Input-Output. Alat simulasi ini digunakan untuk melihat dampak perubahan atau realokasi belanja terhadap perekonomian, yaitu output (PDB), pendapatan, tenaga kerja dan kemiskinan. Untuk isu kemiskinan analisis dilakukan dalam dua tahap. Pertama, dilakukan analisis regresi. Kemudian, hasil regresi ini diintegrasikan dengan keluaran I/O dalam spread sheet microsoft excel.
Deskripsi model dengan lebih tegas adalah sebagai berikut. Model Belanja Negara adalah alat penghitungan berupa perangkat lunak dalam bentuk spreadsheet mcirosoft excell sederahana. Instrumen ini digunakan untuk simulasi dampak realokasi belanja kementerian dan lembaga negara lintas sektoral (sektor I/O) terhadap perekonomian (output, tenaga kerja, pendapatan masyarakat dan perubahan indikator kemiskinan). Ada dua metodologi utama dalam penyusunan model belanja ini. Pertama, konversi sektoral data rincian APBN yang ada (realiasi 2007) ke dalam 66 sektor model I/O. Selanjutnya hasil konversi atau pemetaan alokasi APBN di tiap-tiap sektor dari 66 sektor model I/O dipergunakan sebagai basis perhitungan simulasi alokasi sektoral belanja pusat dalam perekonomian.
Konsisten dengan kerangka kerja model I/O fokus visualisasi adalah dampak perubahan dan atau realokasi belanja pusat terhadap permintaan akhir (final demand) yang selanjutnya akan berpengaruh pada besaran beberapa indikator penting perekonomian yang mencakup: (i) output; (ii) pendapatan masyarakat; dan (iii) tenaga kerja. Selain ketiga indikator tersebut, kemiskinan adalah salah satu indikator penting untuk dilihat perubahannya sebagai akibat dari realokasi belanja APBN. Di sini muncul masalah sebab indikator kemiskinan bukanlah bagian langsung dari model I/O. Untuk itu, Tim Modeling menggunakan model ekonometrika untuk menghitung elastisitas antara output dan kemiskinan. Selanjutnya dengan aljabar sederhana akan dapat dihubungkan dampak realokasi belanja APBN terhadap kemiskinan dengan menggunakan hasil pengganda output dari model I/O dan elastisitas dari model ekonometrika.
Model Belanja Negara tahun 2008 ini disempurnakan lagi dalam tahun 2009 mengingat ada kelemahan mendasar dari kerangka ini baik dari sisi praktis maupun konseptual. Dari sisi praktis, kelemahan terletak dari pemetaan manual yang sangat memakan waktu dan tenaga (time consuming). Dari sisi konseptual, kelemahan bersumber dari tidak dapat dibedakannya realokasi belanja antar jenis belanja (pegawai, barang, modal, sosial dan subsidi). Padahal secara mendasar terdapat perbedaan yang tentunya sejalan dengan jenis belanja tersebut dalam perekonomian. Misalnya, realokasi belanja dari belanja pegawai ke belanja modal untuk sektor ekonomi yang sama dan atau berbeda berpotensi memiliki dampak yang berbeda terhadap output, pendapatan, kesempatan kerja, dan kemiskinan. Kedua kelemahan tersebut dapat dieliminir dalam Model Belanja Negara 2009. Model Belanja Negara 2009 menyediakan fasilitas untuk memperbaharui data secara otomatis dan sekaligus dapat membedakan jenis belanja yang ada. Meskipun demikian terdapat dua keterbatasan terkait sifat otomatis konversi dan perbedaan dampak dari jenis belanja. Sifat otomatis dari konversi terbatas pada jenis data yang sudah ada, sedangkan data subkegiatan baru tetap harus dipetakan secara manual. Kedua, dari kelima jenis belanja yang ada, perbedaan dampak dengan pendekatan supply dan demand side menjadikan belanja barang dan pegawai berada dalam satu kelompok (demand side) sedangkan belanja modal, bantuan sosial dan subsidi dalam satu kelompok (supply side).
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.