Penulis: Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Kerja Sama Multilateral
Reformasi struktural dipandang sangat vital untuk mengatasi munculnya ketidakseimbangan global dalam neraca berjalan. Kondisi perekonomian global dalam satu setengah dekade terakhir ini dianggap mencerminkan abnormalitas dimana ada sekelompok negara yang terus menerus mengalami defisit neraca berjalan dan kelompok lain mengalami surplus dalam jumlah yang makin meningkat. Dua kali krisis ekonomi terakhir didahului oleh meningkatnya besar surplus dan defisit kedua kelompok negara tersebut. Kondisi ini dikhawatirkan akan membuat perekonomian global mengalami kemandegan (stuck in the midstream).
Structural reforms didefinisikan sebagai deregulation in the product markets and liberalization and diregulation in the labor market.[1] Semula istilah ini banyak digunakan dalam konteks bantuan IMF terhadap negara-negara berkembang. Bantuan yang diberikan oleh IMF mensyaratkan dilakukannya reformasi struktural yang lebih mengarah ke sistim pasar bebas. Sebelum terjadinya krisis ekonomi di negara-negara maju, berbagai argumen mengenai akan timbulnya masalah yang diakibatkan oleh adanya Global Imbalances telah muncul. Diantara para ekonom yang berargumen bahwa Global Imbalances adalah penyebab terjadinya krisis ekonomi di negara-negara industri adalah Blanchard dan Milesi-ferretti (2009)[2]. Global imbalances yang dimaksud adalah membengkaknya defisit neraca berjalan (Current Account) di negara-negara maju terutama Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Baratdan meningkatnya surplus neraca berjalan negara-negara Asia seperti China, Jepang dan Korea Selatan serta negara-negara eksportir minyak bumi seperti terlihat dalam Grafik 5.1. Dari grafik tersebut terlihat bahwa terjadi peningkatan total defisit dan surplus menjelang krisis ekonomi tahun 2001 dan 2006.
Defisit neraca berjalan ini sering kali juga diperparah dengan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (twin deficits). Kesadaran akan kondisi ekonomi dunia yang kurang baik ini membuat tidak hanya negara-negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju untuk mencanangkan structural reforms.
Defisit neraca berjalan ini sering kali juga diperparah dengan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (twin deficits). Kesadaran akan kondisi ekonomi dunia yang kurang baik ini membuat tidak hanya negara-negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju untuk mencanangkan structural reforms.
OECD melalui laporan tahunannya (sejak 2005) yang berjudul Going for Growth memonitor pelaksanaan prioritas reformasi struktural yang diambil oleh negara-negara anggotanya. Untuk G20, prioritas yang ditetapkan berdasarkan KTT Seoul (2010) adalah:
(1) Product market reforms to simplify regulation andreduce regulatory barriers in order to promote competition and enhance productivity in key sectors.
(2) Labor market and human resource reforms, including better targeted benefits schemes, education and training to increase employment in quality jobs, boost productivity and thereby enhance potential growth.
(3) Tax reform to enhance productivity by removing distortion and improving the incentive to work, invest and innovate.
(4) Green growth and innovation oriented policy measures to find new sources of growth and promote sustainable development.
(5) Reform to reduce the reliance on external demand and focus more on domestic sources of growth in surplus countries while promoting higher national savings and enhancing export competitiveness in deficit countries.
(6) Reforms to strengthen social safety nets such as public health care and pension plans, corporate governance and financial market development to help reduce precausionary savings in emerging surplus countries.
(7) Investment in infrastructure to address bottlenecks and enhance growth potentials.
Analisis dan evaluasi yang dilakukan oleh Tim Riset IORI, Higher School of Economics, National Research University dan Munk School of Global Affairs didasarkan pada laporan OECD dalam “Going for Growth 2012 Report” dimana di dalamnya terdapat 104 rekomendasi terhadap 18 negara anggota G20. Dalam evaluasinya tim ini tidak menilai sejauh mana anggota G20 telah melakukan perbaikan, tetapi hanya menilai potensi dampak dari perbaikan yang direkomendasikan oleh OECD terhadap penurunan ketidakseimbangan global (impact on reducing global imbalances) dan terhadap ketidakseimbangan fiskal domestik (impact on domestic fiscal imbalances). Dengan demikian nilai yang diperoleh suatu negara tergantung pada apa rekomendasi yang diberikan oleh OECD. Ada rekomendasi yang mempunyai potensi dampak positif terhadap kedua aspek tersebut dan ada yang berdampak negatif. Rekomendasi perbaikan atas pendidikan, misalnya berdampak negatif terhadap domestic fiscal imbalances sedangkan penurunan halangan persaingan berdampak positif terhadap penurunan global imbalances.
Kajian ini akan berfokus pada sejauh mana perbaikan yang riil telah dilakukan oleh Indonesia dalam berbagai aspek reformasi struktural di atas yang diharapkan akan lebih mencerminkan komitmen Indonesia untuk melakukan reformasi struktural.
[1]Alesina, Ardagna and Galaso (2008), “The Euro and Structural Reforms”. NBER Working Paper no. 14479
[2] Blanchard and Milesi-Ferretti (2009), “Global Imbalances: in Midstream?” IMF Staff Position Note
File Terkait:
Pembahasan Stimulasi Reformasi Struktural di G20 (PDF) (668 KB)
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.