Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Dalam teori kebijakan publik, efisiensi penggunaan anggaran bagi pemerintah adalah hal yang penting. Salah satu langkah untuk dapat mencapai efisiensi anggaran Pemerintah menurut ekonom adalah melalui earmarking, yaitu kebijakan pemerintah dalam menggunakan anggaran yang sumber penerimaan maupun program pengeluarannya akan secara spesifik ditentukan peruntukannya. Dalam pelaksanaannya, praktik earmarking telah berkembang pesat di berbagai negara, baik negara maju maupun berkembang. Di Kolombia, earmarking telah diberlakukan sejak tahun 1921, dimana program kebijakan earmarking ditujukan untuk meningkatkan infrastruktur di daerah (municipal). Di Australia, earmarking yang paling populer adalah Medicare Levy, dimana tujuan dari earmarking ini untuk membantu pembiayaan dalam pelayanan kesehatan.
Berbagai negara di dunia menggunakan earmarking untuk tujuan yang bermacam-macam, antar negara satu dengan negara lain tidaklah sama. Dari fenomena yang demikian, sangat sulit untuk menentukan negara mana yang sukses atau gagal dalam memberlakukan earmarking. Sebagai contoh negara Ghana, dalam pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan tol, merupakan negara yang terbilang sukses dalam menerapkan earmarking ini. Alasannya, dana yang digunakan untuk membangun jalan tol adalah satu hal yang penting untuk pendistribusian dana pada masyarakat, dan selalu meningkat tajam dalam beberapa waktu. Berbeda dengan Mali, Afrika Tengah, Zaire, dan Kolombia, adalah negara yang gagal dalam menerapkan earmarking. Ketidakefisienan anggaran dalam hal ini terjadi di negara-negara tersebut. Hal ini memang menjadi salah satu ancaman yang berat dalam penerapan earmarking, selain sulitnya meningkatkan penerimaan yang diearmark.
Namun demikian, perdebatan dalam keuntungan maupun kerugian dalam menerapkan earmarking masih menjadi bahasan utama bagi ekonom. Seperti pendapat yang dikemukan oleh Deeran (1965) dalam McCleary (1991), keuntungan dari penerapan earmarking diantaranya: (i) earmarking akan sesuai dengan prinsip manfaat pada perpajakan, (ii) earmarking memberikan jaminan minimum pembiayaan publik, dan tidak dipengaruhi campur tangan dari birokrasi pemerintah maupun legislatif, dan (iii) earmarking akan dapat mendorong peningkatan penerimaan pajak yang baru. Sedangkan kerugian yang ditimbulkan dari earmarking juga ada beberapa hal, seperti: (i) earmarking akan membawa pada kesalahan alokasi sumberdaya (penerimaan), (ii) earmarking akan membawa efektivitas atas pemantauan anggaran, dan (iii) earmarking akan membuat anggaran tidak fleksibel.
Di Indonesia, penerapan earmarking sebenarnya sudah dilakukan, namun dalam bentuk yang kurang populer. Meski sudah lama diterapkan, nampaknya kesuksesan dari penerapan earmarking ini patut dipertanyakan. Pertama, penerapan untuk kasus anggaran pendidikan sesungguhnya membuat anggaran menjadi kurang fleksibel. Dalam kasus di Jawa Timur, anggaran pendidikan yang dimiliki pemerintah provinsi sangatlah berlimpah, hingga akhirnya pemerintah propinsi kesulitan dalam mengalokasikan anggaran tersebut. Sebab kebutuhan pendidikan di Jawa Timur sudah mencukupi. Seharusnya anggaran yang berlimpah tersebut dapat digunakan untuk membantu sektor lain, seperti sektor infrastruktur yang masih rendah pembiayaannya di Jawa Timur.
Kedua, tidak adanya monitoring dan evaluasi dari pemerintah pusat atas alokasi dan kebutuhan dana membuat earmarking dinilai mudah untuk disalahgunakan. Dalam kasus Jawa Timur, dengan anggaran yang melimpah tersebut, bisa saja anggaran earmarking untuk pendidikan yang tidak terserap secara keseluruhan akan dialokasikan untuk pembelian Surat Utang Negara (SUN). Dengan demikian proses pembangunan akan menjadi terhambat, terutama karena tidak fleksibelnya earmarking dan kurangnya dukungan dari pemerintah pusat.
Melihat fakta yang sudah dijelaskan tersebut, maka dalam kajian ini, pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengkaji kemungkinan penerapan earmarking di Indonesia yang dilihat dari aspek legalitas hukum dan landasar dasar (seperti asas manfaat) serta memetakan jenis belanja yang dapat diearmark dengan asumsi-asumsi yang melatarbelakanginya. Harapannya, dengan diterapkannnya earmarking yang paling sesuai dengan keadaan ekonomi maupun sosial lainnya di Indonesia, akan tercipta suatu efisiensi penggunaan anggaran yang lebih bermanfaat bagi publik.
Berdasarkan hasil analisa menunjukkan bahwa penerapan earmarking di Indonesia sangat memungkinkan, karena telah didukung oleh beberapa prasyarat seperti adanya peraturan perundangan dan dukungan sumber penerimaan yang berkesinambungan (kontinuitas). Namun demikian, selama penerapan earmarking yang telah ada di Indonesia, pengawasan maupun evaluasi terhadap program earmarking masih lemah. Hal ini karena tidak didukung dengan adanya lembaga (agency) yang memiliki kemampuan dalam melakukan pengawasan dan evaluasi tersebut. Selain kelemahan dari sisi pengawasan dan evaluasi, manfaat dari earmarking yang tercermin dari peningkatan penerimaan belum terlihat secara jelas. Dalam kasus earmarking untuk anggaran pendidikan sebesar 20% secara jelas bukan faktor utama yang dapat meningkatkan penerimaan secara umum. Sebab hubungan ekonomis antara penerimaan dan pengeluaran masih sangat lemah. Secara umum, jenis-jenis penerimaan yang sangat memungkinkan untuk diearmark antara lain: PPh Minyak Bumi (untuk pengeluaran proyek pembangunan fasilitas produksi), PPh 21 dan PPh orang pribadi (untuk jaminan sosial), penerimaan umum (untuk alokasi dana pendidikan), dan PBB (untuk alokasi dana transfer ke daerah).
Dengan memperhatikan temuan-temuan serta analisa yang telah dilakukan, rekomendasi yang dapat disampaikan terkait penerapan earmarking di Indonesia antara lain: (1) dalam menetapkan earmarking di Indonesia, perlu memperhatikan asas manfaat bagi pembayar pajak. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat hubungan ekonomis antara pengeluaran dan penerimaan. Sebab, selama ini yang terjadi di Indonesia hanya earmarking yang bersifat symbolic (meminjam istilah M.Bird dan Jun, 2005); (2) penerapan earmarking di Indonesia seyogyanya dibuat dengan memperhatikan aspek lokal atau dengan kata lain penerapan earmarking berdasarkan lokalitas mengingat kebutuhan dari setiap daerah di Indonesia tidak sama (belajar dari pengalaman earmarking alokasi dana pendidikan); dan (3) untuk mendukung keberhasilan penerapan earmarking, maka perlu dibuat lembaga (agency) yang bertugas memonitoring dan mengevaluasi program earmarking. Tujuannya adalah agar tidak terjadi penyalahgunaan dana yang diearmark dan memperbaiki kekurangan atas sasaran dalam earmarking. ©2012 Badan Kebijakan Fiskal
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.