Penulis: Pusat Kebijakan Ekonomi Makro
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Peranan sektor energi sangat penting dalam mewujudkan pembangunan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan. Selain energi sebagai sumber bahan baku industri, peranan energi juga sebagai penggerak pertumbuhan yang akan dapat menciptakan efek berantai (multiplier effect) bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Demikian juga energi merupakan sumber pendapatan nasional. Oleh karenanya kebutuhan energi nasional ini harus selalu tetap terpenuhi.
Konsumsi energi nasional tiap tahun meningkat tajam seiring dengan perkembangan ekonomi nasional yang semakin membaik. Energi nasional yang didominasi oleh energi fosil berupa minyak bumi dan energi listrik rata-rata tiap tahun tumbuh sebesar 7 persen, baik sebagai akibat pertambahan penduduk, pertumbuhan industri maupun pertumbuhan ekonomi. Sementara rata-rata pertumbuhan ekonomi (economic growth) nasional beberapa tahun terakhir sebesar 6 persen. Ini berarti pertumbuhan sektor energi melebihi pertumbuhan ekonomi nasional. Namun kebutuhan sektor energi ini banyak didominasi oleh bahan bakar minyak yang hampir 52 persen dari total bauran energi.
Kita ketahui harga bahan bakar minyak (BBM) sangat fluktuatif, sehingga subsidi untuk BBM juga sangat besar, anggaran untuk subsidi BBM tahun 2011 saja sebesar 160 triliun rupiah dan subsidi listrik sebesar 91 triliun rupiah. Saat ini persediaan bahan bakar minyak mentah Indonesia pun makin menipis. Bappenas sendiri mengisyaratkan minyak Indonesia akan habis dalam kurun waktu 14 tahun lagi. Bahkan International Monetary Fund (IMF) menyebutkan lebih pendek lagi, diprediksi akan kering menjelang tahun 2020. Kondisi ini tentu saja menjadi kekhawatiran bagi ketahanan energi di Indonesia. Oleh karenanya harus segera dilakukan upaya-upaya perbaikan oleh semua pihak untuk mencukupi energi nasional.
Ada beberapa permasalahan mendasar pada sektor energi guna memenuhi permintaan konsumsi masyarakat yang terus meningkat. Salah satu diantaranya adalah pengalihan dominasi BBM sebagai sumber energi utama ke energi terbarukan. Masalah berikutnya tentu terkait investasi dan dana untuk mendanai pengembangan energi terbarukan tersebut. Kita ketahui bahwa pendanaan serta investasi energi terbarukan sangatlah besar. Walaupun dalam APBN, anggaran untuk pengembangan energi nasional selalu dinaikkan, tahun anggaran 2011 saja naik hampir 100 persen dari tahun sebelumnya.
Bila kita mengacu pada Peraturan Presiden nomor 5 tahun 2006, menyebutkan bahwa energi adalah daya yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai proses kegiatan, yang meliputi listrik, mekanik maupun panas. Dimana sumber-sumbernya dapat berasal dari minyak dan gas bumi, batubara, air, panas bumi (geothermal), gambut, biomassa dan sebagainya termasuk sumber energi alternatif maupun energi terbarukan (renewable energy). Berarti sumber-sumber energi di Indonesia banyak tersedia dan masih perlu di kembangkan.
Permasalahan lain yang dihadapi pemerintah antara lain ketidaksesuaian antara penyebaran sumber energi dan konsumen yang menyebabkan kebutuhan akan infrastruktur untuk energi tersebut, sehingga meningkatkan investasi dan biaya (cost). Ditambah lagi struktur harga energi selama ini yang belum mendukung diversifikasi serta konservasi energi.
Kebijakan energi nasional tentu bertujuan untuk mewujudkan terpenuhinya pasokan energi dalam negeri yang dapat mencapai target dari masing-masing jenis energi terhadap konsumsi energi listrik nasional. Diantaranya diharapkan bahan bakar nabati (biofuel) naik menjadi 5 persen di tahun 2025 demikian juga panas bumi (geothermal) juga menjadi 5 persen dari sekarang ini yang baru diekploitasi sebesar 1,32 persen, padahal potensi geothermal Indonesia adalah sekitar 26 persen potensi geothermal dunia. Ini setara dengan 27.710 Mega Watt (MW) atau setara dengan 19 miliar barrel minyak bumi. Kapasitas sekarang ini baru mencapai 1.189 MW dari target pengembangan energi panas bumi pada tahun 2025 yang ditetapkan sebesar 9.500 MW.
Permasalahan ini tentu saja harus segera dibenahi dari beberapa hambatan dalam rangka percepatan investasi di bidang energi terutama energi yang berasal dari panas bumi. Penyelesaiannya pun perlu didukung dengan kebijakan fiskal, terutama dari berbagai insentif fiskal, serta peningkatan anggaran untuk pembangunan infrastruktur. Demikian juga kewenangan daerah agar dapat mengembangkan energi listrik di wilayahnya. Walaupun sampai saat ini, belum ada tanda-tanda peningkatan yang signifikan. Di sisi lain, pemerintah telah mengeluarkan beberapa insentif fiskal guna pengembangan tenaga panas bumi (geothermal) antara lain pembebasan Bea Masuk atas impor barang untuk kegiatan pengusahaan panas bumi, juga diberikan fasilitas PPN ditanggung pemerintah atas impor barang untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu migas dan panas bumi. Pembebasan bea masuk diberikan juga atas impor barang modal dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum. Sampai saat ini hasil pengembangan energi geothermal belum maksimal karena beberapa kendala yang ditemui seperti biaya investasi untuk eksplorasi dan eksploitasi yang relatif besar serta risiko investasi yang cukup besar pula. Demikian juga pungutan-pungutan yang masih tinggi yang diperkirakan sekitar 45 persen dari total biaya pengembangan, harga hasil panas bumi pun belum kompetitif dengan harga BBM bersubsidi. Kendala lainnya tentu saja terkait return investasi ini cukup lama, bisa mencapai 5 sampai 10 tahun sehingga tidak menarik bagi investor panas bumi.
Untuk mengetahui lebih detail mengenai kajian tersebut, dapat menghubungi Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.