Menstimulasi Investasi Energi Terbarukan
Penulis: Ragimun, Peneliti Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu
Konsumsi energi nasional tiap tahun mengalami peningkatan tajam seiring perkembangan ekonomi nasional yang semakin membaik. Energi nasional yang didominasi energi listrik dan minyak yang hampir 52 persen total bauran energi nasional, rata-rata tiap tahun tumbuh 7 persen. Hal ini sebagai akibat pertambahan penduduk, pertumbuhan industri maupun pertumbuhan ekonomi. Sedangkan rata-rata pertumbuhan ekonomi (economic growth) nasional beberapa tahun terakhir sebesar 6 persen. Ini berarti pertumbuhan sektor energi melampaui pertumbuhan ekonomi nasional.
Kita ketahui harga BBM saat ini sangat berfluktuatif, dan persediaan bahan bakar minyak mentah Indonesiapun makin menipis. Bappenas sendiri mengisyaratkan minyak Indonesia akan habis dalam kurun waktu 14 tahun lagi. Bahkan IMF menyebutkan lebih pendek lagi, yang diprediksi akan kering menjelang tahun 2020. Kondisi ini tentu saja menjadi “warning� bagi ketahanan energi nasional. Oleh karena itu harus segera dilakukan upaya-upaya revitalisasi energi terbarukan.
Ada beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi sektor energi guna memenuhi permintaan konsumsi masyarakat yang terus meningkat. Salah satu diantaranya adalah bagaimana kita mengalihkan dominasi BBM sebagai sumber energi utama ke energi terbarukan. Masalah berikutnya tentu terkait investasi dan dana untuk mendanai pengembangan energi terbarukan. Walaupun dalam APBN, anggaran untuk pengembangan energi nasional selalu dinaikkan, tahun anggaran 2011 naik hampir 100 persen dari tahun sebelumnya.
Energi adalah daya yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai proses kegiatan, yang meliputi listrik, mekanik maupun panas. Dimana sumber-sumbernya dapat berasal dari minyak dan gas bumi, batubara, air, panas bumi (geothermal), gambut, biomassa dan sumber energi alternatif atau energi terbarukan (renewable energy) lainnya. Namun pertanyaannya kembali bagaimana mengoptimalisasi berbagai energi tersebut sementara dana APBN sangat terbatas dan banyak ditujukan untuk subsidi BBM dan listrik, sehingga ratio elektrifikasinya masih rendah yaitu sebesar 52 persen artinya masih banyak daerah yang belum menikmati terangnya aliran listrik.
Kebijakan energi nasional bertujuan untuk mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri yang dapat mencapai target dari peranan masing-masing jenis energi terhadap konsumsi energi listrik nasional. Diantaranya diharapkan dari bahan bakar nabati (biofuel) akan naik menjadi 5 persen di tahun 2025 demikian juga panas bumi (geothermal) juga menjadi 5 persen dari sekarang ini yang baru diekploitasi sebesar 1,32 persen, padahal potensi geothermal Indonesia adalah sekitar 26 persen potensi geothermal dunia. Ini setara dengan 27.710 Mega Watt (MW) atau setara dengan 19 miliar barrel minyak bumi. Kapasitas sekarang ini baru mencapai 1.189 MW dari target pengembangan energi panas bumi pada 2025 yang ditetapkan sebesar 9.500 MW.
Permasalahan lain yang dihadapi pemerintah antara lain ketidaksesuaian antara penyebaran sumber energi dan konsumen yang menyebabkan kebutuhan akan infrastruktur untuk energi tersebut, yang tentu saja meningkatkan investasi dan biaya (cost). Ditambah lagi struktur harga energi selama ini yang belum mendukung diversifikasi serta konservasi energi. Demikian juga ketidakstabilan pasar dan harga energi fosil atau bahan bakar minyak, yang mengakibatkan perbedaan harga di pasaran internasional dengan pasar domestik dimana kemampuan atau daya beli masyarakat relatif masih rendah. Yang ujung-ujungnya subsidi pemerintah makin besar. Untuk tahun 2011 saja subsidi untuk listrik sebesar 40,7 triliun rupiah, walaupun turun dari tahun 2010 yang sebesar 67,8 triliun rupiah. Hal itu tetap saja membuat kehilangan kesempatan (opportunity loss) untuk pengembangan energi nasional.
Belum Ada Peningkatan
Semua permasalahan ini hendaknya segera dibenahi melalui berbagai upaya antara lain percepatan investasi di bidang energi. Yang akan didukung pula dengan kebijakan fiskal, melalui berbagai insentif fiskal, maupun peningkatan anggaran untuk pembangunan infrastruktur. Termasuk kewenangan daerah untuk dapat mengembangankan energi listrik. Namun, sampai saat ini, belum juga ada tanda-tanda peningkatan yang signifikan. Padahal pemerintah telah mengeluarkan beberapa insentif fiskal untuk pengembangan tenaga panas bumi antara lain pembebasan Bea masuk atas impor barang untuk kegiatan pengusahaan panas bumi. Tentang PPN ditanggung pemerintah atas impor barang untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu migas dan panas bumi. Maupun pembebasan bea masuk atas impor barang modal dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum. Dan hasilnya, belum maksimal karena beberapa kendala yang ditemui seperti biaya eksplorasi dan eksploitasi yang relatif besar, resiko investasi yang cukup besar. Demikian juga pungutan yang masih tinggi yang diperkirakan sekitar 45 persen, semenatara harga hasil panas bumipun belum bisa kompetitif dengan harga BBM bersubsidi. Kendala lainnya adalah return investasi ini cukup lama, bisa mencapai 5 sampai 10 tahun.
Ada beberapa terobosan peningkatan investasi energi. Pertama, kita berharap dengan kunjungan Perdana Menteri China Wen Jiabao ke Indonesia baru baru ini dengan berbagai kesepakatannya, akan memberikan angin segar bagi Indonesia. Pengusaha-pengusaha China diharapkan dapat berinvestasi di Indonesia khususnya sektor energi, baik listrik, pengolahan batu bara maupun pengembangan energi terbarukan lainnya. Selama ini, investasi langsung China ke Indonesia masih relatif kecil dan menempati urutan 13 setelah Singapura.
Yang kedua, kerjasama sektor energi dapat dilakukan dengan China, mengingat China telah berpengalaman meningkatkan energi nasionalnya dengan mengembangkan energi surya, microhydro dan angin sebagai andalan pengembangan energi terbarukannya. Dan ketiga, tidak lupa juga bahwa ketahanan energi nasional selain didanai dari APBN tentu dapat didanai melalui berbagai skema pendanaan KPS (Kerjasama Pemerintah dan Swasta), CSR (Corporate Social Responsibility) maupun peran penting Pemerintah Daerah dalam memenuhi kebutuhan energinya.
Oleh :
Ragimun
Peneliti Pusat Kebijakan Ekonomi Makro
Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu