Penulis: Sigit Setiawan, Pusat Kebijakan Kerjasama Regional dan Bilateral
Cina merupakan salah satu kekuatan utama ekonomi dunia, dan bersama dengan dua negara Asia Timur lainnya yaitu Jepang dan Korea Selatan telah menjadi mitra dagang terpenting Indonesia dan juga ASEAN dari tahun ke tahun. Untuk meningkatkan hubungan perdagangan dengan Cina, ASEAN, di mana Indonesia menjadi salah satu anggota-telah menyepakati kerjasama perdagangan bebas dalam kerangka ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Dalam kerangka perjanjian tersebut, negara-negara yang menjadi anggota perjanjian saling memberikan preferential treatment di tiga sektor: sektor barang, jasa dan investasi dengan tujuan memacu percepatan aliran barang, jasa dan investasi diantara negara-negara anggota sehingga dapat terbentuk suatu kawasan perdagangan bebas. Preferential treatment adalah perlakuan khusus yang lebih menguntungkan dibandingkan perlakuan yang diberikan kepada negara mitra dagang lain non anggota pada umumnya. Dalam kesepakatan di sektor barang, komponen utamanya adalah preferential tariff.
Proses menuju kesepakatan perjanjian ACFTA diawali dengan dilakukannya pertemuan tingkat kepala negara antara negara-negara ASEAN dan Cina di Bandar Seri Begawan, Brunei pada tanggal 6 Nopember 2001 yang kemudian disahkan melalui penandatanganan “Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Negara-negara Anggota ASEAN dan Republik Rakyat Cina” di Phnom Penh, Kamboja pada tanggal 4 Nopember 2002. Perjanjian di sektor barang menjadi bentuk konkrit kerjasama ekonomi pertama di pihak ASEAN dan Cina, yang ditandai dengan ditandatanganinya kesepakatan Trade in Goods Agreement dan Dispute Settlement Mechanism Agreement pada tanggal 29 November 2004 di Vientiane, Laos.
Data statistik perdagangan (IMF, 2012) menunjukkan bahwa Indonesia selaku negara anggota ASEAN dengan populasi dan pasar terbesar memiliki hubungan perdagangan yang erat dengan Cina, terlebih setelah berlakunya kesepakatan perdagangan ASEAN-China FTA. Cina merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia setelah ASEAN. Total nilai perdagangan Indonesia dan Cina mencapai US$ 36,2 miliar (2010) dan jumlah tersebut merupakan 12,4% dari total perdagangan Indonesia. Sementara itu, nilai perdagangan antara kedua negara selama periode 2006-2010 mencatat pertumbuhan positif rata-rata sebesar 30%.
Ekspor Indonesia ke Cina mencapai US$ 15,6 miliar (fob) dan impor Indonesia dari Cina mencapai US$ 20,6 miliar (cif), sehingga surplus perdagangan dimiliki Cina sebesar kurang lebih US$ 5 miliar. Angka defisit tersebut meningkat sebesar US$ 2,9 miliar dibandingkan defisit tahun 2009 yang tercatat sebesar US$ 2,2 miliar, sehingga menimbulkan kepanikan banyak pihak di Indonesia yang kemudian menyampaikan desakan kepada pemerintah untuk melakukan renegosiasi dengan Cina.
Untuk mengevaluasi dampak ACFTA, perlu dilakukan evaluasi atau impact assessment terhadap perjanjian perdagangan barang ACFTA mengingat implementasinya telah berjalan lebih dari lima tahun (Kompas, 2011). Penilaian dampak suatu FTA perlu dilakukan untuk mengetahui apakah tujuan suatu FTA dapat dipenuhi (Plummer, Cheong dan Hamanaka, 2010).
Salah satu indikator penting untuk menilai dampak suatu FTA adalah pendapatan nasional. Pendapatan nasional merupakan salah satu dari tiga indikator untuk menghitung dampak dari suatu FTA terhadap suatu negara dari aktivitasnya dalam perdagangan internasional (Llyoid dan Mclaren, 2004: 451). Sementara itu, salah satu komponen pendapatan nasional dalam model Keynesian empat sektor adalah kontribusi ekspor. Perubahan kontribusi ekspor terhadap pendapatan nasional Indonesia dan Cina dalam konteks berlaku efektifnya perjanjian perdagangan barang ACFTA dapat mengindikasikan dampak dari ACFTA terhadap kedua negara.
Tulisan ini bertujuan untuk mengukur dan menganalisis pengaruh atau dampak dari keikutsertaan Indonesia dan Cina dalam perjanjian perdagangan barang ASEAN-China FTA (ACFTA) dari sisi kontribusi ekspor dan peningkatan pertumbuhannya. Indikator dampak secara makro tersebut menjadi penting, mengingat kontribusi ekspor akan berdampak terhadap kesejahteraan ekonomi suatu negara. Pendekatan kuantitatif dengan ekonometrika digunakan untuk mengukur nilai dari dampak dari suatu FTA.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.