Penulis: Eko Nur Surachman, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal
Beberapa waktu yang lalu, pemberitaan tentang program Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang digulirkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menuai pro dan kontra serta menjadi diskusi yang menarik baik di media cetak, televisi, maupun sosial. Pemprov DKI Jakarta melalui kedua program unggulannya tersebut menggelontorkan dana sebesar lebih dari Rp2,4 triliun dari APBD guna memberikan layanan pendidikan dan kesehatan yang terjangkau bagi warga DKI Jakarta. Sejatinya, tidak ada yang salah dari tujuan program penyediaan layanan sosial seperti yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta tersebut. Akan tetapi, di lapangan program tersebut mengalami banyak kendala seperti penentuan kriteria masyarakat penerima layanan yang masih melibatkan sistem birokrasi dalam pengusulan peserta (Program KJP) serta sistem reimbursement yang diajukan rumah sakit provider layanan KJS yang terikat pada mekanisme yang tidak fleksibel (Indonesia Case Base Group/INA-CBG) yang berpengaruh kepada mutu layanan. Hal ini terjadi karena program unggulan ini masih dilaksanakan dengan paradigma lama dari pelayanan publik yaitu belanja barang dan jasa melalui anggaran sektor publik (APBD dan/atau APBN). Evaluasi dan usaha perbaikan terhadap program sosial seperti ini memang dan harus terus dilakukan untuk meningkatkan layanan pendidikan dan kesehatan tersebut kepada masyarakat. Namun, jika kita melihat pengalaman negara-negara yang telah maju sistem jaminan sosialnya, terdapat cara baru yang lebih efektif dan efisien dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial tersebut yaitu melalui sistem Kerja Sama Pemerintah dan Swasta (KPS). Tulisan ini selanjutnya akan membahas penyelenggaraan dan penyediaan infrastruktur sosial berupa layanan pendidikan dan kesehatan melalui skema KPS.
(Telah dimuat dalam Buletin Info Risiko Fiskal (IRF) Edisi IV Tahun 2013)
File Terkait:
Membangun Paradigma Baru Penyediaan Infrastruktur Sosial (411 KB)
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.