Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara
Produksi minyak Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan selama dekade terakhir sehingga produksi rata-rata per hari mencapai sekitar 861 ribu barel pada tahun 2012, atau mengalami penurunan sebesar 44% sejak tahun 2000. Penurunan ini disebabkan karena sumur-sumur yang telah berproduksi sudah mature dengan usia diatas 15 tahun. Dalam kondisi yang demikian, produksi sudah mulai menurun dan usaha yang dapat dilakukan adalah membuat penurunan tidak tajam melalui, misalnya, secondary recovery. Selain itu, kegiatan eksplorasi untuk menemukan ladang-ladang baru juga tidak banyak dilakukan. Dari 138 cekungan minyak yang dilaporkan, sampai saat ini baru 38 yang telah diekplorasi, sisanya masih merupakan cekungan yang belum pernah dijamah.
Produksi minyak Indonesia sebenarnya masih bisa ditingkatkan baik melalui reaktivasi sumur-sumur yang telah dinonaktifkan, recovery, dan eksplorasi ladang-ladang baru. Namun demikian kegiatan-kegiatan tersebut belum banyak dilakukan karena beberapa hal. Pertama, pengaktifan sumur-sumur tua dan recovery memerlukan tambahan biaya. Dengan tingkat produksi yang relative lebih rendah karena kondisi sumur, nilai ekonomi sumur akan menurun. Untuk menarik investor, maka perlu adanya insentif khusus berupa sistim fiskal yang dapat mengakomodasi investasi baru tersebut.
Kedua, cekungan-cekungan minyak yang belum di eksplorasi umumnya berlokasi di Indonesia Timur dengan tingkat geologi yang sukar sehingga memerlukan biaya investasi yang tinggi dan risiko kegagalan juga tinggi. Tingkat kesukaran geologi sebenarnya masih menarik secara ekonomis bagi investor. Yang menjadi masalah bagi investor adalah masalah fiskal, hukum, dan birokrasi. Investor memerlukan kejelasan dan kemudahan birokrasi untuk melakukan investasi, terutama dengan adanya otonomi daerah. Dari sudut fiskal, investor menghendaki sistim fiskal yang kondusif yang dapat mengakomodir tingkat kesulitan geologi dan risiko investasi untuk eksplorasi dan produksi.
Terlepas dari masalah birokrasi, kepastian hukum, dan stabilitas politik yang ikut mempengaruhi keputusan investasi, sistim fiskal perminyakan akan menjadi penentu investasi baru di industry perminyakan Indonesia, bahkan menjadi faktor dominan yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Hal ini karena dalam menilai kelayakan investasi, perusahaan minyak internasional (IOC) selalu melihat nilai keuntungan setelah pajak. Variabel-variabel seperti net present value (NPV), internal rate of return (IRR), payback period, dan profitability ratio (PR) umumnya dievaluasi atas dasar keuntungan setelah pajak.
Sistim fiskal ini harus menjamin kedua pihak yaitu pemerintah Indonesia dan investor memperoleh bagian yang layak. Pemerintah dapat memaksimumkan nilai dari sumberdaya alam yang dimilikinya untuk kepentingan negara dan dapat mencapai agenda lain seperti menciptakan lapangan kerja, transfer teknologi, dan pembangunan infrastruktur terutama di daerah-daerah dimana lokasi sumberdaya alam tersebut berada. Perusahaan minyak atau investor dapat memaksimumkan return on investment atau dapat menjamin bahwa return on capital harus konsisten dengan risiko dari investasi yang dilakukannya. Berapapun besarnya prosentasi yang akan diperoleh melalui PSC, perusahaan minyak tidak akan tertarik untuk berinvestasi jika ROI yang dihasilkan tidak sesuai dengan risiko yang dihadapi.
Untuk itu, perlu disusun sistim fiskal yang seimbang, self adjusting fiscal system yang dapat mengakomodasi tujuan kedua belah pihak. Sistim fiskal yang diajukan pemerintah harus bisa mengakomodasi tujuan pemerintah dan pada saat yang sama juga harus mampu menarik investor untuk melakukan eksplorasi dan produksi minyak. Setiap ladang minyak mempunyai karakter tersendiri sehingga sistim ini harus fleksibel yang disesuaikan dengan tingkat kesulitan geologi dan nilai ekonomis dari setiap ladang baru yang akan dieksplorasi maupun pengaktifan sumur lama dan well recovery. Misalnya, ladang yang bersifat marginal (marginal fields) tidak bisa dieksploitasi secara ekonomis dengan sistim fiskal yang berlaku sekarang dan tingkat teknologi yang digunakan saat ini. Sistim fiskal yang dikembangkan juga harus mampu mengakomodasi isu netralitas karena sistim yang tidak netral atau ultra regressive akan membuat perusahaan minyak membalikkan investsinya dari lading yang tidak konvensional. Jadi Sistim fiskal yang justru akan mengalihkan atau membalikkan investasi harus dihindari.
Untuk menentukan tingkat fleksibilitas atau netralitas suatu sistim fiskal perminyakan, perlu disusun atau dilakukan perhitungan yang lebih mendalam dengan menggunakan beberapa skenario, modeling, risk analysis, dan sensitivity analysis. Melalui teknik teknik ini, perhitungan yang lebih akurat dapat diperoleh sehingga seberapa jauh tingkat fleksibilitas suatu sistim fiskal dapat ditentukan dan strategi yang lebih komprehensif dapat diperoleh. Simulasi-simulasi dapat dilakukan untuk menganalisa pengaruh beberapa alternatif sistim fiskal pada nilai ekonomi dari proyek dan sensivitasnya terhadap perubahan variable ekonomi. Namun demikian, metode-metode tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu yang cukup pendek. Oleh karena itu perlu dilakukan studi lanjutan untuk mendesain sistim fiscal yang lebih konkrit.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.