Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara
Peranan penerimaan perpajakan semakin penting sebagai sumber utama penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di Indonesia. Dalam periode 2007 s.d. 2013, pertumbuhan penerimaan perpajakan rata-rata mencapai 15.3 persen, sedangkan pertumbuhan alamiahnya rata-rata mencapai 12,17 persen. Artinya, penerimaan perpajakan mampu tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan alamiahnya. Hal ini menunjukkan bahwa realisasi penerimaan perpajakan tidak hanya didukung oleh faktor-faktor ekonomi, namun juga faktor-faktor nonekonomi. Salah satu faktor nonekonomi yang sangat berpengaruh terhadap penerimaan perpajakan adalah kebijakan perpajakan yang diambil Pemerintah, seperti kebijakan tarif pajak, penghasilan tidak kena pajak (PTKP), dan lapisan penghasilan kena pajak (PKP).
Kajian dampak perubahan kebijakan perpajakan terhadap penerimaan perpajakan dalam laporan ini telah dapat menghitung besarnya potential loss atau potential gain penerimaan PPh nonmigas dan PPN yang diakibatkan oleh adanya perubahan kebijakan perpajakan. Kajian tersebut disusun dengan tujuan: Pertama, mengembangkan metode perhitungan dampak perubahan kebijakan perpajakan terhadap penerimaan PPh nonmigas dan PPN secara sektoral di Indonesia. Kedua, menghitung potensi penerimaan PPh Nonmigas dan PPN secara sektoral yang digunakan sebagai baseline dalam perhitungan dampak perubahan kebijakan perpajakan. Ketiga, menghitung besaran dampak perubahan kebijakan perpajakan terhadap penerimaan PPh nonmigas dan PPN secara sektoral di Indonesia, khususnya terkait dengan perubahan kebijakan tarif, PTKP, dan batas lapisan PKP, serta insentif fiskal di bidang perpajakan lainnya. Besarnya dampak perubahan kebijakan dihitung dengan membandingkan antara besarnya potensi penerimaan PPh nonmigas dan PPN pada saat sebelum dan sesudah diterapkannya suatu kebijakan.
Penyusunan model dampak perubahan kebijakan perpajakan terhadap potensi penerimaan perpajakan, dalam hal ini PPh nonmigas dan PPN secara sektoral, dilakukan dengan terlebih dahulu menghitung potensi penerimaan PPh nonmigas (Badan dan Orang Pribadi) dan PPN secara sektoral. Perhitungan potensi PPh Badan dilakukan dengan menggunakan data rasio surplus usaha dari Tabel Input Output (IO) sebagai proxy untuk menghitung taxbase penerimaan PPh
Badan untuk setiap sektor usaha. Selain itu, data komposisi PDB berdasarkan skala usaha tahun 2010 juga digunakan untuk menghitung sektor informal yang akan dikeluarkan dari perhitungan tax base PPh Badan. Selanjutnya, perhitungan potensi PPh orang pribadi (OP) dilakukan dengan menggunakan data rasio upah gaji dari Tabel IO sebagai proxy untuk menghitung taxbase penerimaan PPh OP. Adapun data hasil survey tenaga kerja (SAKERNAS) digunakan untuk menentukan mengeluarkan sektor formal dari taxbase PPh OP, menangkap karakteristik rumah tangga sebagai dasar perhitungan penghasilan yang tidak dikenakan pajak, dan menghitung distribusi tenaga kerja per lapisan tarif. Di sisi lain, perhitungan potensi PPN dilakukan dengan menggunakan data konsumsi pada Tabel IO untuk memecah data konsumsi nasional menjadi data konsumsi sektoral. Adapun taxbase PPN menggunakan data konsumsi dan impor yang berasal dari data PDB berdasarkan penggunaan tahun 2010-2012.
Sementara itu, untuk menyusun model dampak perubahan kebijakan perpajakan terhadap potensi PPh nonmigas dan PPN secara sektoral, digunakan konsep sensitivitas yang dihitung dari perubahan perhitungan potensi penerimaan PPh nonmigas dan PPN secara sektoral yang diakibatkan oleh perubahan parameter yang digunakan untuk menghitung potensi penerimaan. Dalam hal ini, parameter kebijakan yang digunakan adalah perubahan tarif PPh nonmigas dan PPN, perubahan batas PTKP, dan perubahan layer penghasilan kena pajak. Besarnya dampak perubahan kebijakan dihitung dengan membandingkan antara besarnya potensi penerimaan PPh nonmigas dan PPN pada saat sebelum dan sesudah diterapkannya suatu kebijakan. Selain itu, dalam laporan ini juga disajikan hasil perhitungan dampak kebijakan paket ekonomi yang dikeluarkan pada Agustus 2013 sebagai studi kasus.
Hasil perhitungan potensi PPh Badan menunjukkan bahwa potensi PPh Badan pada tahun 2010 diperkirakan sebesar Rp306,6triliun dan terus meningkat dengan tren pertumbuhan positif yang stabil menjadi Rp606,8 triliun pada tahun 2015. Perhitungan dampak kenaikan (penurunan) potensi pajak akibat kenaikan tarif PPh Badan menunjukkan bahwa jika tarif PPh Badan dinaikkan sebesar 1 persen, maka potensi PPh Badan meningkat sebesar 4,0 persen, dengan asumsi variabel lainnya tidak berubah. Besaran kenaikan potensi PPh Badan tersebut sama untuk semua sektor usaha, yaitu sebesar 4,0 persen. Dengan demikian, jika tarif PPh Badan dinaikkan sebesar 1 persen pada tahun 2015, maka akan terdapat potensi penerimaan PPh Badan sebesar Rp24,3 triliun dimana setiap sektor akan meyumbang kenaikan pajak tersebut secara proporsional.
Potensi PPh Orang Pribadi pada tahun 2010 berada di kisaran Rp79 triliun, dan akan terus meningkat dengan tren positif yang stabil hingga tahun 2015 di mana potensi PPh Orang Pribadi berada di kisaran Rp175 triliun. Perhitungan dampak kenaikan (penurunan) potensi pajak akibat kenaikan tarif PPh Orang Pribadi menunjukkan bahwa jika tarif PPh OP tahun 2012 dinaikkan sebesar 1 persen untuk semua lapisan, dengan asumsi variabel lainnya tidak berubah, maka potensi PPh OP tahun 2012 meningkat sebesar 14,1 persen secara total. Adapun sektor usaha yang mengalami dampak kenaikan terbesar adalah sektor jasa, sektor konstruksi, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dimana kenaikannya antara 15,3 hingga 16,2 persen. Dari pengolahan data Sakernas diketahui bahwa jumlah tenaga kerja di ketiga sektor tersebut lebih banyak terkonsentrasi pada lapisan tarif pertama (0-Rp50 juta), yaitu berkisar di atas 85 persen. Dengan demikian, jika tarif PPh OP dinaikkan sebesar 1 persen untuk semua lapisan, maka kenaikan penerimaan pajak akan lebih banyak disumbang oleh sektor yang banyak mempekerjakan tenaga kerja dengan PKP yang rendah.
Selanjutnya, perhitungan dampak kenaikan (penurunan) potensi akibat kenaikan PTKP menunjukkan bahwa jika PTKP dinaikkan sebesar Rp5.000.000 maka potensi PPh OP tahun 2012 akan turun 18,4 persen. Penurunan tersebut terjadi akibat berkurangnya PKP dan bergesernya PKP dari lapisan tarif yang lebih tinggi ke lapisan tarif yang lebih rendah. Adapun penurunan potensi PPh OP tersebut paling besar terjadi di sektor konstruksi, sektor pertanian, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran, dimana penurunan yang terjadi berkisar antara 29 hingga 30 persen. Dari pengolahan data Sakernas diketahui ketiga sektor tersebut mempunyai karakteristik yang sama yaitu memiliki jumlah tenaga kerja yang berpenghasilan di bawah PTKP paling banyak di antara sektor-sektor lain, yaitu berkisar di atas 60 persen. Dengan demikian, jika PTKP dinaikkan sebesar Rp5.000.000 maka sektor yang memiliki jumlah tenaga kerja dengan penghasilan di bawah PTKP paling banyak akan relatif lebih diuntungkan dengan membayar pajak yang lebih sedikit.
Perhitungan dampak kenaikan (penurunan) potensi akibat kenaikan lapisan PKP menunjukkan bahwa bahwa jika lapisan PKP dinaikkan sebesar 10 persen pada tahun 2012, dengan asumsi tidak terjadi perubahan pada variabel lainnya, maka potensi PPh OP tahun 2012 turun sebesar 2,8 persen. Penurunan tersebut terjadi akibat sebagian penghasilan yang masuk dalam lapisan PKP yang lebih tinggi akan menjadi lapisan PKP yang lebih rendah dengan tarif pajak yang juga lebih rendah. Sektor yang mengalami penurunan potensi terbesar adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik, gas, dan air bersih, dan sektor keuangan dan jasa perusahaan, yaitu menurun antara 3,4 hingga 3,9 persen. Dari pengolahan data Sakernas diketahui bahwa rasio tenaga kerja yang berpenghasilan di bawah PTKP pada ketiga sektor tersebut adalah yang paling sedikit, yaitu di bawah 20 persen. Dengan demikian, jika lapisan PKP dinaikkan sebesar 10 persen maka sektor dengan tenaga kerja yang berpenghasilan relatif tinggi akan lebih diuntungkan dengan membayar pajak yang lebih sedikit.
Di sisi lain, total potensi PPN pada tahun 2010 diperkirakan mencapai Rp323,8 triliun dan akan meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2015 menjadi Rp607,2 triliun. Perhitungan dampak kenaikan (penurunan) potensi akibat kenaikan tarif PPN menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen akan mengaibatkan penerimaan PPN meningkat sebesar 10 persen. Besaran kenaikan potensi PPN tersebut sama untuk semua sektor usaha, yaitu sebesar 10 persen. Dengan demikian, jika tarif PPN dinaikkan sebesar 1 persen pada tahun 2015, maka penerimaan PPN berpotensi akan bertambah sebesar Rp60,7 triliun dimana kenaikan pajak tersebut ditanggung secara proporsional oleh setiap sektor.
Berdasarkan kesimpulan di atas, rekomendasi kebijakan yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut:
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.