Penulis: Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral
Pendahuluan
Saat krisis keuangan global terjadi di tahun 2007 – 2008, yang bermula dari kegagalan produk keuangan yang disebut juga dengan sub-prime backed Collaterallized Debt Obligation (CDO), pertumbuhan ekonomi dan pengangguran di negara-negara yang terkena dampak krisis ini semakin memburuk. Amerika Serikat (AS) merupakan yang terkena dampak kegagalan CDO yang paling buruk (dimana CDO itu sendiri berasal dari pasar keuangan AS). Krisis keuangan yang berimbas kepada sulitnya likuiditas di pasar keuangan ditransmisikan ke sektor riil (main street), di mana perusahaan-perusahaan non-keuangan yang notabene tidak memiliki peran dalam krisis tersebut juga mengalami kesulitan likuiditas. Hal ini disebabkan karena industri perbankan yang berperan penting untuk mengintermediasikan sumber dana bagi perusahaan-perusahaan tersebut juga membutuhkan dana untuk memenuhi kewajiban (liabilities) mereka.
Kegagalan CDO menjadi sumber utama karena sirkulasi dari produk derivatif beracun ini (toxic derivatives) ini sangatlah besar yang membuat sisi aset dari bank yang memiliki produk ini semakin menyusut. Dengan sulitnya likuiditas tersebut, maka perusahaan sektor riil di AS pun tidak lagi memiliki kemampuan untuk mendanai biaya operasional mereka, terutama untuk membayar upah dari karyawannya. Dampaknya, mereka terpaksa harus menghentikan operasional perusahaan yang kemudian berujung kepada meningkatnya pengangguran. Seperti yang ditunjukkan pada Grafik 4.1, seiring dengan peningkatan tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi AS pun semakin memburuk hingga mencapai kurang lebih -3% di tahun 2009.
File Terkait:
Peranan Perekonomian Indonesia terhadap Ketidakseimbangan Global (115 KB)
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.