Penulis: Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral
Harga energi yang meningkat dari waktu ke waktu menyebabkan semakin tingginya beban biaya energi pada sektor industri untuk menjalankan aktifitas produksinya dan semakin besarnya pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan energinya. Di sisi lain, tingginya harga energi juga semakin meningkatkan beban subsidi energi yang harus dikeluarkan pemerintah dari APBN. Masih tingginya ketergantungan pada energi fosil, menyebabkan upaya penurunan gas rumah kaca (GRK) juga mengalami kelambatan. Pemanfaatan limbah menjadi energi dapat dijadikan alternatif solusi terhadap berbagai permasalahan tersebut. Indonesia sendiri memiliki potensi sumber daya energi terbarukan cukup besar, salah satunya adalah berasal dari limbah. Limbah berupa limbah perkotaan, sektor pertanian, sektor industri dan lain-lain dapat dimanfaatkan untuk dikonversikan sebagai energi, baik berupa energi bahan bakar/pemanas maupun listrik.
Pemanfaatan limbah pertanian dan lainnya sebegai energi alternatif memberikan dampak positif secara langsung. Pertama, terdapat perbaikan dalam efisiensi energi dikarenakan limbah pertanian dan lainnya memiliki potensi energi yang besar dan hanya akan menjadi sampah apabila tidak dimanfaatkan. Kedua, pemanfaatan limbah pertanian dan lainnya dapat menjadi lebih efisien dikarenakan penanganan limbah secara khusus seringkali lebih mahal biayanya dibandingkan pemanfaatannya. Ketiga, pemanfaatan limbah pertanian dan lainnya mengurangi penggunaan lahan khusus untuk penampungan limbah, yang pada akhirnya akan menghemat biaya penanganan limbah.
Beberapa jenis potensi pemanfaatan limbah yang dapat dikonversikan menjadi energi (WtE atau bioenergi) di Indonesia adalah pemanfaatan biogas dari limbah industri tahu, biogas dari limbah peternakan sapi, pembangkit listrik dari biogas limbah industri kelapa sawit (POME), pembangkit listrik dari biomassa pelepah sawit, pemanfaatan sekam padi untuk pengering/silo padi/jagung, pemanfaatan sampah perkotaan (urban waste), dan pemanfaatan biogas dari limbah domestik rumah tangga (kotoran manusia). Berbagai potensi tersebut sudah dimanfaatkan dan dikembangkan melalui program-program yang ada di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian ESDM dengan dukungan baik melalui APBN, hibah internasional, maupun kredit perbankan. Namun, pengembangannya masih dirasa terbatas dikarenakan terbatasnya anggaran di APBN, dan beberapa program bantuan sudah berhenti. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan pembiayaan pengembangan WtE atau bioenergi yang lebih berkelanjutan.
Dari berbagai jenis sumber pembiayaan yang ada, Kredit Program berupa Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) merupakan kredit program yang eksisting yang dirasa paling sesuai untuk mendukung pengembangan WtE dikarenakan untuk merealisasikannya tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama bila dibandingkan dengan pilihan yang lain (yaitu dengan merevisi Peraturan Menteri Keuangan dan menyusun Pedoman Teknis-nya di KLH atau Kementerian ESDM).
Dikarenakan ada batasan dari skema pembiayaan investasi melalui KKP-E terutama terkait dengan besaran kredit yang dapat diberikan (yaitu maksimum Rp. 100 juta untuk individu dan maksimum Rp. 500 juta untuk kelompok) dan juga tenor waktu yang diberikan (yaitu maksimum 5 tahun), jenis pengembangan WtE yang berpeluang untuk diberikan kredit program adalah pengembangan reaktor biogas dari limbah industri tahu dan pengembangan reaktor biogas dari limbah peternakan sapi dimana untuk pengembangannya membutuhkan biaya yang besarnya dapat kurang dari Rp. 100 juta untuk setip unitnya. Untuk pengembangan jenis WtE yang lain dapat menggunakan sumber pendanaan lainnya seperti PIP atau skema kredit program yang baru, dikarenakan pengembangannya dibutuhkan biaya yang lebih besar dari batas maksimum KKP-E.
Secara keuangan, hampir semua pengembangan jenis WtE yang menjadi fokus dalam kajian ini layak untuk dikembangkan, namun sangat tergantung dari kondisi awal. Potensi yang layak adalah pengembangan produk bersih dan biogas dari limbah industri tahu (pengembangan biogas industri tahu yang dibarengi dengan pengembangan produk bersih), pengembangan biogas dari limbah/kotoran peternakan sapi (terutama untuk penggantian gas LPG, sementara untuk penggantian dari bahan bakar kayu sangat tergantung dari harga kayu bakar di daerahnya), pengembangan pembangkit listrik tenaga biogas dari limbah industri kelapa sawit (POME) (terutama untuk penggantian solar, bukan untuk menjual produk listriknya), pembangkit listrik dari pelepah sawit, dan pemanfaatan sekam padi untuk pemanas/pengering pada silo padi/jagung.
Untuk beberapa jenis WtE yang layak secara keuangan tersebut di atas dapat dilakukan tanpa diberikan dukungan bantuan subsidi bunga. Sedangkan untuk jenis pengembangan yang tidak layak secara keuangan, seperti misalnya pengembangan biogas industri tahu yang tanpa dibarengi dengan pengembangan produk bersih, pengembangan biogas dari limbah peternakan sapi untuk penggantian kayu bakar (yang sangat tergantung harga kayu bakar), dan pengembangan pembangkit listrik tenaga biogas dari limbah industri kelapa sawit (POME) dimana produk listriknya dijual, dibutuhkan subsidi bunga atau bantuan lain dalam pembiayaan pengembangan WtE agar menjadi layak. Namun demikian, untuk mendorong agar masyarakat tertarik untuk melakukan pengembangan WtE, tetap dibutuhkan insentif berupa subsidi bunga melalui kredit program untuk semua jenis pengembangan WtE.
Secara ekonomi, berdasarkan hasil analisis biaya dan manfaat (CBA), semua pengembangan jenis WtE yang menjadi fokus dalam kajian ini layak untuk dikembangkan, dengan rasio manfaat per biayanya (BCR) yang bervariatif. Variasi dari nilai BCR sangat tergantung dari: (a) besarnya investasi yang dibutuhkan; (b) kondisi awal dari jenis dan harga energi yang disubstitusi dengan biogas dan biomassa (WtE atau bioenergi); (c) pemanfaatan/penggunaan dari produk WtE.
Berdasarkan pengalaman dari berbagai negara yang mengembangkan WtE, terdapat beberapa kunci sukses dalam pengembangan WtE, antara lain: (a) Harga energi fosil dan listrik yang tinggi dan tidak bersubsidi; (b) Dilakukan untuk mensubstitusi jenis energi fosil yang digunakan; (c) Keberlanjutan ketersediaan limbah; (d) Terbatasnya lahan untuk pembuangan limbah; (e) Tingginya tipping fee untuk pembuangan sampah/limbah; (f) Kebijakan untuk lebih mendukung pengembangan WtE; dan (g) Dukungan public akan pengembangan WtE.
Saran/rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan dari kegiatan Analisis Biaya Manfaat Pembiayaan Investasi Limbah Menjadi Energi Melalui Kredit Program ini antara lain:
File Terkait:
Financing WTE (2.910 KB)
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.