Penulis: Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral
Dana Alokasi Khusus (DAK) Kehutanan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku seharusnya sebagian besar digunakan untuk mencapai pengurangan emisi karbon di daerah untuk mencapai sasaran RAD GRK bidang kehutanan. Walaupun dasar hukumnya sudah jelas dan mengikat para pihak terkait, dalam pelaksanaannya DAK Kehutanan sampai saat ini belum dimanfaatkan untuk mengendalikan program nasional untuk mengurangi emisi karbon pada tingkat daerah.
Sejak tahun 2010 kebutuhan akan dana DAK Kehutanan terus meningkat dan peningkatan kebutuhan dana DAK Kehutanan ini dikaitkan dengan rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca (RAN GRK). Walaupun permintaan dana DAK Kehutanan dikaitkan dengan beban kehutanan yang besar untuk menurunkan emisi karbon, mekanisme alokasi dan penggunaan DAK Kehutanan belum dikaitkan dengan target pengurangan emisi karbon atau faktor-faktor yang mendukung pengurangan emisi karbon seperti adanya rencana kegiatan pengurangan emisi karbon dan mekanisme monitoring, reporting, and evaluation (MRV). Selain permasalahan diatas, mekanisme alokasi DAK Kehutanan juga belum banyak dipahami oleh semua pihak yang terlibat termasuk daerah penerima DAK Kehutanan.
Tiga kegiatan kehutanan yang biasanya ditetapkan sebagai kegiatan inti DAK Kehutanan memerlukan biayaper tahun sekitar Rp.3,6 triliun atau Rp.18 triliun untuk lima tahun. Kegiatan (sasaran kegiatan) kehutanan tersebut adalah pembangunan 120 KPH, rehabilitasi hutan dan lahan kritis, dan pencegahan kebakaran hutan. Sasaran yang ingin dicapai dari ketiga kegiatan inti DAK Kehutanan di atas belum disinkronkan dengan target pengurangan emsi karbon di daerah sebagaimana tertuang didalam RAD GRK.
Mekanisme alokasi DAK Kehutanan yang berlaku saat ini belum tepat sasaran dan belum dipahami dengan baik oleh pihak-pihak terkait. Mereka belum sepenuhnya memahami bagaimana hubungan antara jumlah DAK kehutanan yang diterima oleh daerah dan tanggung jawab mereka untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis sesuai kewenangannya masing-masing. Penelitian ini mendapatkan kenyataan bahwa daerah yang tidak memiliki hutan dan lahan kritis yang luas mendapatkan alokasi DAK kehutanan yang besar. Sebaliknya daerah yang memiliki hutan dan lahan kritis yang besar mendapat alokasi DAK kehutanan yang kecil.
Salah satu penyebab terjadinya kondisi diatas adalah mekanisme alokasi DAK yang kurang memberikan peran besar kepada kriteria teknis dibidang kehutanan. Alokasi DAK Kehutanan lebih difokuskan kepada prinsip pemberian bantuan keuangan kepada daerah. Sehingga kriteria umum dan kriteria khusus lebih berperan dalam alokasi DAK karena kedua kriteria ini menonjolkan prinsip kebijakan bantuan keuangan kepada daerah. Sedangkan kriteria teknis kehutanan yang menjadi dasar dikeluarkannya kebijakan DAK Kehutanan memililki peran yang kecil dalam mekanisme alokasi.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan diatas, paper ini merekomendasikan agar daerah yang diseleksi dalam proses alokasi DAK Kehutanan dibatasi hanya untuk daerah yang membuat proposal DAK Kehutanan dengan sasaran pencapaian target RAD GRK..Penetapan daerah yang masuk dalam proses alokasi DAK Kehutanan ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan berdasarkan proposal yang diterima dari Pemda. Proposal Pemda wajib menjawab tantangan untuk mencapai sasaran RAD GRK bidang kehutanan.
Penilaian terhadap proposal akan menentukan Kriteria Teknis. Kemenhut memberikan bobot yang lebih besar kepada daerah yang menyusun proposal dengan target sasaran/output DAK Kehutanan yang jelas dan sinkron dengan target sasaran/output RAD GRK. Bobot yang tinggi juga diberikan kepada daerah ix|DAK Kehutanan Untuk Membantu Pemda Melaksanakan Target Pemerintah Mengurangi Emisi Karbon dengan target sasaran/output RAD GRK yang lebih besar serta memiliki bukti telah mencapai target sasaran/output RAD GRK periode sebelumnya. Karena adanya kebutuhan minimum alokasi DAK Kehutanan, DJPK perlu menetapkan jumlah kuota daerah layak yang akan menerima DAK Kehutanan. Kuota ini dapat ditetapkan berdasarkan kualitas proposal yang disampaikan daerah kepada Kementerian Kehutanan.
Dengan cara ini, diharapkan hanya daerah yang memiliki potensi mencapai sasaran RAD GRK bidang kehutanan menjadi daerah layak menerima DAK Kehutanan.
Untuk memberikan insentif yang lebih besar kepada pembangunan kehutanan di daerah, dalam kriteria khusus perlu ditambahkan faktor kawasan konservasi hutan atau Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Daerah yang memiliki kawasan konservasi hutan dan atau KPH akan memperoleh alokasi DAK Kehutanan.Lebih dari itu, pagu anggaran DAK Kehutanan perlu ditingkatkan. Pemerintah perlu meningkatkan proporsi DAK Kehutanan dan DAK Lingkungan Hidup menjadi masing-masing 5 (lima) persen dari total pagu DAK.
Pemda, Kemenhut, Bappenas, dan DJPK memiliki kepentingan untuk mengendalikan anggaran/biaya DAK Kehutanan karena dana publik ini harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat melalui mekanisme pertanggung jawaban keuangan negara. Untuk tujuan tersebut, pusat pengumpulan data kehutanan, RAD GRK, dan anggaran/biaya berada pada sasaran atau output kegiatan inti DAK Kehutanan. Pemerintah Pusatdan Pemda perlu mengetahui pencapaian target kehutanan dan target RAD GRK serta mengetahui penyerapan anggaran untuk masing-masing target tersebut.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.