Penulis: Muhammad Afdi Nizar, Pusat Kebijakan Ekonomi Makro
Sejak tanggal 14 Agustus 1997 hingga sekarang, Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang penuh atau bebas (freely floating system). Dalam sistem tersebut, pergerakan nilai tukar cenderung fluktuatif dan semakin sulit diprediksi. Karena pergerakan nilai tukar lebih dipengaruhi oleh kekuatan permintaan dan penawaran di pasar valuta asing, tanpa ada lagi intervensi otoritas moneter.
Permintaan terhadap valuta asing sangat dipengaruhi oleh kebutuhan para pelaku ekonomi terhadap valuta asing guna menunjang transaksi ekonomi internasional, seperti impor barang, pembayaran utang luar negeri pemerintah dan swasta, perjalanan (travel) baik dalam rangka haji maupun untuk kebutuhan wisata ke luar negeri (outbond tourism), dan pembayaran jasa tenaga kerja/konsultan asing. Sementara penawarannya terutama bersumber dari ekspor barang, aliran modal masuk (capital inflows) baik pemerintah maupun swasta, devisa tenaga kerja, dan devisa pariwisata.
Naik-turunnya harga valuta asing—yang sekaligus menandai turun-naiknya nilai Rupiah—akan sangat ditentukan oleh perimbangan kebutuhan (permintaan) dengan ketersediaan valuta asing. Apabila permintaan valuta asing lebih besar dari penawarannya (excess demand), maka harga valuta asing akan naik. Artinya, dari sudut pandang nilai tukar Rupiah mata uang asing menjadi lebih mahal sehingga jumlah Rupiah yang dibutuhkan untuk mendapatkan valuta asing menjadi lebih besar. Kondisi ini merepresentasikan nilai tukar Rupiah yang melemah (depresiasi). Sebaliknya, apabila penawaran valuta asing lebih besar dari permintaannya (excess supply) maka harga valuta asing akan turun. Artinya, dari sudut pandang nilai tukar Rupiah mata uang asing menjadi lebih murah sehingga jumlah Rupiah yang dibutuhkan untuk mendapatkan valuta asing menjadi lebih sedikit. Dalam kondisi seperti ini nilai tukar Rupiah dikatakan mengalami penguatan (apresiasi).
Perkembangan devisa pariwisata dan pergerakan nilai tukar Rupiah dalam periode 1998 – 2010 tidak selalu merepresentasikan bentuk hubungan yang ideal, sesuai dengan kerangka pemikiran yang dikemukakan di atas. Pada tahun pertama diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang bebas (1998), devisa pariwisata mencapai USD4,3 miliar dan nilai tukar Rupiah berada pada level rata-rata Rp9.874,6 per USD. Selanjutnya, dalam tahun 1999 devisa pariwisata meningkat menjadi USD4,4 miliar (naik sekitar 2,3% dibandingkan tahun 1998) dan diikuti dengan menguatnya (apresiasi) nilai tukar Rupiah menjadi Rp7.808,9 rata-rata per USD. Dalam tahun 2001 devisa pariwisata meningkat sekitar 6,1% dibandingkan tahun 2000 yaitu menjadi USD5,3 miliar, sedangkan nilai tukar Rupiah rata-rata berada pada level Rp10.265.7 per USD, melemah (depresiasi) dibandingkan tahun 2000. Dalam tahun 2002 devisa pariwisata meningkat menjadi USD5,7 miliar (naik sekitar 7,7%) dan pada periode yang sama nilai tukar Rupiah mengalami penguatan (apresiasi) menjadi Rp9.261,2 rata-rata per USD.
File Terkait:
Pengaruh Pariwisata Terhadap Nilai Tukar Rupiah (355 KB)
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.