Penulis: Syahrir Ika, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal
Di penghujung masa pemerintahan SBY-Boediono, pemerintah dan DPR menyepakti kendalikan beban subsidi BBM dalam APBN yang trendnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu hasil kesepakatannya adalah kuota BBM bersubsidi tahun 2014 dibatasi sebesar 46 juta kiloliter tanpa memberi kemungkinan penambahan kuota. Dengan batasan ini, total subsidi energi (BBM+Listrik) sebesar Rp 453,3 triliun atau naik sekitar 53,4 triliun dibandingkan dengan APBNP-2013 sebesar Rp 299,8 triliun[1]. Apabila tidak dilakukan pengendalian BBM bersubsidi, maka PT Pertamina memperkirakan pasokan solar akan habis pada akhir November 2014 dan premium akan habis pada tanggal 19 Desember 2014. Persoalan pasokan BBM dan harga BBM bersubsidi sudah berlangsung lama dan seakan-akan tidak ada solusi yang dinilai tepat.
Gagasan-gagasan kreatif pemerintah sebenarnya sudah melahirkan banyak opsi dan pemerintah mengetahui opsi mana yang terbaik, akan tetapi pada akhirnya pemerintah sulit memilih, sebuah opsi yang baik seringkali ditunda-tunda implementasinya. Alasan klisenya adalah ada tekanan politik yang kuat dari parlemen (para anggota DPR-RI). Memang pemerintah berhadapan dengan filsafat politik yang menyebutkan bahwa “politik berurusan dengan kepentingan”.Lalu, kapan polemik politik energi ini akan berakhir? apakah dibiarkan terus menggantung? Mungkinkah Presiden RI terpilih Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) mengukir sejarah Indonesia sebagai Presiden pertama yang mampu menyelesaikan semua persoalan subsidi yang selama ini membebani APBN, kurang produktif, dan menyandera perekonomian Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama?
[1] Kebijakan tersebut dituangkan dalam UU APBN Tahun 2014
File Terkait:
Ujian Leadership Bagi Siapapun Presiden RI (258 KB)
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.