INTEGRASI CMIM dan AMRO: menuju Regional Financial Arrangement di kawasan ASEAN + 3
Penulis: Pusat Kebijakan Kerjasama Regional dan Bilateral
Executive Summary
- Regional Financial Arrangement (RFA) yang ada pada umumnya didirikan pasca krisis keuangan yang melanda kawasan masing-masing. Krisis keuangan menyadarkan akan adanya interdependensi regional dan biaya besar saat mengalami krisis keuangan yang sulit ditanggung secara mandiri. Ketidak puasan terhadap IMF dalam pelaksanaan bantuan semasa krisis keuangan juga berkontribusi terhadap motif pendirian RFA.
- RFA merupakan bagian dari Global Safety Nets dalam menghadapi krisis keuangan. National Safety Net berupa akumulasi international reserve adalah first line of defence yang bisa dilakukan oleh setiap negara. Namun cara ini dianggap kurang efisien mengingat return membawa international reserve adalah kecil. Bilateral safety net melalui bilateral swap dengan negara yang memiliki international reserve bisa menjadi alternatif. Tetapi karena biasanya tidak ada conditionality dalam pemberian bantuan, maka negara-negara yang dapat mengaksesnya adalah negara-negara yang diperkirakan tidak akan bermasalah dalam pengembalian dana. Ini berarti fasilitas ini hanya bermanfaat bagi negara yang mempunyai cadangan devisa besar dan mempunyai peran penting dalam pasar keuangan dan perdagangan regional. IMF adalah multilateral safety net yang bagi negara-negara yang dulu pernah mendapat bantuan menjadi alternatif terakhir untuk meminta bantuan karena stigma yang kurang baik di mata masyarakat. Oleh karena itu RFA dapat menjadi alternatif utama setelah national safety net
- Walaupun tujuan RFA bervariasi, namun tujuan utama mereka adalah membantu negara anggota yang mengalami kesulitan dalam neraca pembayaran dan liquiditas international reserve dalam jangka pendek. Sebagai pengecualian adalah ESM yang bertujuan membantu negara anggotanya yang mengalami krisis keuangan berat. ESM melayani kawasan Euro dimana Euro sendiri merupakan international reserve. Krisis keuangan yang mereka alami di masa global financial crisis yang lalu terutama disebabkan oleh sovereign debt dan housing / property bubble.
- Besarnya dana bervariasi dan yang terbesar adalah ESM yaitu hampir 1 trilliun USD, sedangkan CMIM menduduki peringkat kedua dengan 240 USD. Pada umumnya fasilitas bantuan yang diberikan RFA berbentuk pinjaman (loan). Hanya NAFA dan CMIM yang fasilitasnya berbentuk swap. Diantara RFA yang ada, hanya NAFA dan CMIM yang tidak berbentuk treaty (hanya agreement) dan tidak melakukan pooled fund. Bentuk treaty dianggap lebih permanen dan karenanya dianggap lebih serius. Tidak adanya dana riil di NAFA tidak terlalu menjadi masalah karena Amerika Serikat adalah pemilik international reserve utama di dunia, tetapi dapat menjadi masalah bagi CMIM. Tdak diwajibkannya anggota menepati komitmen bila sedang mengalami kesulitan keuangan dapat menyulitkan CMIM melakukan tugasnya bila terjadi krisis regional. Selain itu tidak adanya paid-in capital dapat mengurangi sense of ownership para anggotanya.Diantara keenam RFA yang ada, hanya CMIM yang memiliki lembaga surveillance mandiri dan bahkan sekarang telah menjadi organisasi internasional. Hal ini menunjukkan keseriusan negara-negara ASEAN+3 untuk membentuk perangkat RFA yang dapat dipertanggung jawabkan. Eichengreen (2010) mengatakan bahwa:”...if countries are serious about establishing regional funds that make a meaningful contribution to regional and global financial stability, they will have to ante up real money. They will have to create stand-alone institutions with the capacity to engage in meaningful surveillance, and they will have to give these institutions the power to set the conditios that will be attached to emergency loans. Unless these conitions are met, RFAs will merely remain paper tigers.”
- Stand alone surveillance institution tidak berarti lembaga surveillance harus terpisah dari lembaga pemberi dana, melainkan harus dapat melakukan tugas surveillance secara objective, bebas dari intervensi dan tekanan pihak-pihak lain sehingga terjadinya moral hazard dapat diminimalisir. Dalam kasus AMRO, masalah yang diperkirakan dihadapi adalah masalah prinsip the ASEAN way dimana pada prinsipnya negara-negara ASEAN tak menyukai intervensi pihak luar atas masalah-masalah domestiknya. Masalah lain yang juga dihadapi oleh lembaga surveillance IMF adalah groupthink bahwa negara-negara yang lebih besar sudah pasti lebih mampu mengatasi masalah mereka sendiri karena mereka memiliki lebih banyak tenaga ahli. Rasa sungkan akan membuat lembaga surveillance menjadi tidak cermat dalam melaksanakan tugasnya. IEO menyarankan dibentuknya learning culture di lembaga surveillance IMF. Hal yang sama juga berlaku untu AMRO.
- Dengan menjadikan AMRO sebagai organisasi internasional, tentunya target ke depan adalah menjadi lembaga surveillance yang mandiri (tidak tergantung lagi pada IMF). Akan tetapi diperlukan waktu yang cukup bagi AMRO untuk menjadi institusi surveillance yang kuat, apalagi sampai sekarang belum ada negara anggota yang memanfaatkan fasilitas CMIM. Namun, bila AMRO menjadi kuat tidak berarti AMRO menjadi pesaing IMF. Kedua lembaga mempunyai keunggulan komparatif masing-masing dan akan saling memperkuat bila dilakukan kerjasama.
- Upaya yang masih perlu dilakukan adalah membentuk pooled capital, membangun sense of ownership diantara anggota ASEAN+3 terhadap RFA yang dibentuknya dan membentuk lembaga evaluasi (monitoring) independent bagi AMRO.
File Terkait:
Regional Financial Arrangement di kawasan ASEAN + 3 (2.024 KB)
Disclaimer
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.