Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Ketersediaan kedelai dalam negeri lebih banyak dipenuhi dari impor daripada produksi dalam negeri. Dalam periode tahun 2005 s.d. 2013, besarnya impor kedelai rata-rata sebesar 69,5 persen dari ketersediaan dalam negeri. Sedangkan besarnya produksi kedelai dalam negeri rata-rata hanya 30,5 persen. Besarnya impor tersebut menyebabkan stabilitas harga kedelai dalam negeri dipengaruhi oleh harga dan produksi kedelai di tingkat global serta faktor ketidakpastian iklim berupa kekeringan di Amerika Serikat. Secara umum, perkembangan harga impor kedelai mempengaruhi harga kedelai dalam negeri.
Rendahnya produksi kedelai dalam negeri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (i) penurunan daya saing antar komoditas di dalam negeri (dibandingkan padi, jagung, dan tebu, komoditas kedelai kurang menguntungkan); (ii) penurunan daya saing internasional (harga kedelai impor lebih murah dibanding harga kedelai lokal); (iii) tidak ada dukungan kebijakan harga dan jaminan pasar kedelai lokal; dan (iv) kebijakan tarif dan non tarif kedelai masih kurang, sehingga produk impor terus meningkat.
Kebijakan-kebijakan Pemerintah di sektor tanaman kedelai turut mempengaruhi peningkatan produksi kedelai dalam negeri. Kebijakan yang telah dilakukan dapat dikategorikan dalam beberapa periode sebagai berikut:
Dilihat dari produktivitas kedelai dalam negeri, kebijakan di sektor pangan dalam periode tahun 2000an berupa kebijakan tarif dan non tarif belum cukup mendorong peningkatan produksi kedelai dalam negeri (produksi rata-rata berkisar 700 s.d. 800 ribu ton per tahun). Sebagai perbandingan, kebijakan yang telah dilakukan Pemerintah dalam periode tahun 1990an, antara lain kebijakan harga dasar (HPP), monopoli Bulog, program intensifikasi dan ekstensifikasi serta pengenaan tarif bea masuk yang tinggi (10%) dapat meningkatkan produksi kedelai dalam negeri hingga mencapai 1,6 juta ton.
Kebijakan tarif berupa pemberian insentif penurunan BM kedelai menjadi 0% dalam periode 2008 s.d. 2011 belum cukup berpengaruh terhadap penurunan harga kedelai dalam negeri, hal tersebut dapat dilihat dari masih tingginya gap antara harga kedelai internasional dan harga kedelai impor di tingkat pengecer. Secara nominal keuntungan yang diambil pengusaha cenderung semakin meningkat dibandingkan periode sebelum diberikannya insentif bea masuk. Pada periode tersebut pengusaha importir kedelai mendapatkan insentif penurunan bea masuk sebesar 0%. Secara nominal, gap harga internasional dan harga jual di tingkat konsumen cenderung mengalami peningkatan terutama tahun 2008 (BM 0%) dengan selisih hingga mencapai Rp4.627,1 atau lebih tinggi dibandingkan gap tahun 2007 (BM 10%) sebesar Rp1041,6. Secara persentasi, gap harga Internasional dan harga konsumen pada periode pembebasan bea masuk rata-rata mencapai sebesar 104,3%. Sementara itu, dalam periode pengenaan tarif bea masuk sebesar 10%, gap rata-rata hanya mencapai 79,8%.
Disamping kurang efektif dalam mendorong produktivitas kedelai dalam negeri dan mengendalikan fluktuasi harga kedelai dalam negeri, kebijakan tarif BM dapat mempengaruhi penerimaan bea masuk. Penurunan tarif BM impor kedelai akan berdampak terhadap penurunan penerimaan bea masuk.
Untuk mendorong ketahanan pangan dan swasembada pangan, khususnya kedelai, perlu adanya kebijakan tarif dan non tarif yang lebih efektif. Kebijakan non tarif, seperti pengaturan tata niaga kedelai, program intensifikasi, dan ekstensifikasi tanaman kedelai perlu didukung dengan kebijakan kenaikan tarif BM.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.