Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Pengeluaran pemerintah (government expenditure) adalah salah satu variabel pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB), bersama dengan konsumsi masyarakat, investasi dan net-ekspor (ekspor dikurangi impor). Kebijakan pengeluaran pemerintah ini merupakan bagian dari kebijakan fiskal sebagai salah satu wujud intervensi pemerintah didalam perekonomian dalam rangka mengatasi kegagalan pasar (market failure). Intervensi pemerintah, yang dikenal dengan kebijakan fiskal, salah satunya dilakukan melalui kebijakan pengeluaran/belanja pemerintah.
Bentuk hubungan negatif yang terjadi di Indonesia antara peningkatan (anggaran belanja) dengan kemiskinan dan pengangguran ini sejalan dengan pemikiran ekonom-ekonom aliran Keynesian. Dimana mereka mendasari pemikiran bahwa variabel pemerintah (khususnya anggaran) dianggap sebagai salah satu variabel penggerak pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Dan nantinya hal ini diharapkan akan menciptakan multiplier effect pada hal sektor-sektor ekonomi lainnya. Multiplier effect pengeluaran pemerintah ini akan semakin besar jika asumsi bahwa belanja pemerintah digunakan untuk kegiatan produktifdapat terpenuhi.
Apakah benar bahwa peningkatan belanja pemerintah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka menurunkan jumlah pengangguran dan kemiskinan?
Pengangguran
Pengangguran dapat terjadi antara lain karena terdapat angkatan kerja yang lebih besar dari kesempatan kerja dan juga disebabkan oleh kurangnya keterampilan yang dimiliki oleh pencari kerja (mismatch). Bentuk-bentuk penganguran yang disebabkan oleh masalah frictional dikenal dengan pengangguran non-sukarela (unvoluntary unemployment). Disisi lain, pengangguran juga diakibatkan dengan adanya “pengangguran sukarela (voluntary unemployment)”, terutama saat pasar tenaga kerja sudah mencapai equilibrium atau tidak adanya kendala untuk masuk dan keluar di pasar tenaga kerja tersebut.
Pengganguran dapat berdampak negatif terhadap kegiatan perekonomian. Hal ini dikarenakan masyarakat tidak dapat memaksimalkan tingkat kemakmuran yang mampu dicapainya. Sehingga secara agregat, pengangguran akan menyebabkan pendapatan nasional riil (nyata) yang dicapai masyarakat akan lebih rendah daripada pendapatan potensial (pendapatan yang seharusnya), akibatnya kemakmuran yang dicapai oleh masyarakat pun akan lebih rendah.
Kemiskinan
Menurut Bank Dunia, kemiskinan adalah deprivasi dalam kesejahteraan. Berdasarkan definisi tersebut kemiskinan dapat dipandang dari beberapa sisi. Pertama, dari pandangan konvensional kemiskinan dipandang dari sisi moneter, dimana kemiskinan diukur dengan membandingkan pendapatan/konsumsi individu dengan beberapa batasan tertentu, jika mereka berada di bawah batasan tersebut, maka mereka dianggap miskin. Pandangan mengenai kemiskinan berikutnya adalah bahwa kemiskinan tidak hanya sebatas ukuran moneter, tetapi juga mencakup miskin nutrisi yang diukur dengan memeriksa apakah pertumbuhan anak-anak terhambat. Selain itu, juga bisa dari miskin pendidikan, misalnya dengan menggunakan indikator angka buta huruf.
Selanjutnya pandangan yang lebih luas mengenai kemiskinan adalah jika masyarakat kekurangan kemampuan dasar, sehingga pendapatan dan pendidikan yang dimiliki tidak memadai atau kesehatan yang buruk, atau ketidakamanan, atau kepercayaan diri yang rendah, atau rasa ketidakberdayaan, atau tidak adanya hak bebas berpendapat. Artinya, kemiskinan adalah fenomena multidimensi, dan solusi untuk mengatasinya tidaklah sederhana.
Analisa dilakukan dengan menggunakan metode ekonometri panel data berbentuk fixed effect, untuk mengakomodasi adanya variasi antar panel (dalam hal ini provinsi) yang tidak terdistribusi secara sistematik dan belum terakomodasi dalam model. Selain itu, dilakukan pengujian unit root untuk panel data dengan menggunakan metode Levin-Lin-Chu (LLC), dimana lag yang digunakan maksimum 1 dan diberi pilihan apakah menggunakan deterministic trend atau tidak. Metode LLC digunakan untuk mengakomodasi data panel yang bersifat balance (tidak ada gap data) dan memiliki sifat asymptotic dalam bentuk nilai variabel N/T yang menuju tak hingga, yang sesuai dengan model panel provinsi. Data yang digunakan adalah data 33 provinsi yang diaggregasi menjadi 30 provinsi, dengan frekuensi tahunan dari tahun 2006 hingga tahun 2011. Selain variabel belanja pemerintah sebagai variabel utama juga menyertakan beberapa variabel lain yang sesuai dengan teori sebagai variabel kontrol pada model.
Dalam model terbaik untuk kemiskinan dan pengangguran, semua variabel yang berpengaruh signifikan memiliki arah yang sesuai dengan teori ekonomi. Variabel-variabel tersebut beserta arah pengaruhnya antara lain adalah belanja pemerintah (negatif), hard infrastructure (negatif), ekspor (negatif), populasi (positif) dan angkatan kerja (positif). Perbedaan signifikansi antara pengaruh variabel yang dikategorikan sebagai soft infrastructure pada model pengangguran dan kemiskinan. Pada model pengangguran, variabel rata-rata lama sekolah signifikan sedangkan angka harapan hidup tidak. Sebaliknya, pada model kemiskinan variabel yang signifikan berpengaruh adalah angka harapan hidup. Hal ini dapat dijelaskan melalui suatu konsep bahwa semakin baiknya tingkat kesehatan masyarakat di suatu wilayah akan menurunkan resiko penduduknya, utamanya penduduk yang tergolong rentan miskin, untuk menjadi miskin akibat adanya biaya kesehatan yang bisa datang tiba-tiba. Namun di sisi lain, baiknya tingkat kesehatan seseorang tidak akan secara jelas menentukan apakah orang tersebut akan memiliki pekerjaan atau tidak.
Daerah yang penduduknya memiliki tingkat pendidikan tinggi seharusnya memiliki kemungkinan mendapat pekerjaan lebih tinggi sehingga kemungkinan untuk jatuh miskin menjadi rendah. Namun, ada daerah yang memilki tingkat kemiskinan yang rendah walaupun tingkat pendidikan penduduknya rendah. Daerah ini kemungkinan adalah daerah yang memiliki kekayaan SDA bernilai tinggi dan tidak memerlukan pendidikan yang tinggi untuk mengolah kekayaan tersebut. Sebaliknya, ada daerah dengan tingkat pendidikan rata-rata yang tinggi namun justru memilki tingkat kemiskinan yang rendah. Daerah ini sebenarnya dapat terhitung cukup maju. Namun kemajuan daerah tersebut juga mengundang derasnya urbanisasi. Kompetisi menjadi semakin ketat dan harga-harga menjadi lebih mahal. Akibatnya akan ada sebagian masyarakat yang tersisih dari kemajuan tersebut, kesulitan untuk mendapat pekerjaan layak, dan kesulitan untuk memenuhi biaya kebutuhan dasar.
Sementara itu, belanja Pemerintah baik pusat maupun daerah sama-sama berperan dalam menanggulangi masalah pengangguran dan kemiskinan. Dalam hal pengangguran, peran pusat dan daerah kurang lebih terlihat seimbang. Sedangkan dalam hal kemiskinan, tampak bahwa peran pusat lebih besar dari daerah. Hal ini mungkin dapat berarti bahwa anggaran program penanggulangan kemiskinan secara skala lebih besar di tingkat Pemerintah Pusat dibanding Pemerintah Daerah. Kemungkinan lainnya, program penanggulangan kemiskinan di daerah belum memiliki tingkat efektivitas seperti program yang dilakukan di tingkat Pemerintah Pusat. Secara kumulatif, belanja pemerintah baik pusat maupun daerah terlihat lebih berpengaruh terhadap kemiskinan daripada pengangguran. Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan fokus Pemerintah secara keseluruhan yang memprioritaskan penanggulangan kemiskinan dibanding pengangguran.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.