Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
ASEAN sebagai suatu entitas regional perlahan berubah menjadi entitas ekonomi de facto dengan pendirian AFTA (ASEAN Free Trade Area) pada 1992. Pendirian AFTA ini adalah salah satu bentuk dari kesadaran mengenai pentingnya keterkaitan aktivitas dengan luar negeri terhadap pembangunan suatu negara. Hal ini telah mendorong terjadinya upaya-upaya perluasan perdagangan, investasi dan juga mobilitas tenaga kerja antar negara, yang kemudian disebut dengan globalisasi. AFTA menyerukan liberalisasi menyeluruh pada perdagangan intra regional dengan menurunkan hambatan secara bertahap pada hampir semua sektor. Saat ini perdagangan intra ASEAN ternyata lebih kecil dibandingkan dengan perdagangan ekstra ASEAN dengan perbedaan yang cukup besar.
ASEAN FTA merupakan jalan awal untuk merealisasikan misi ASEAN untuk membentuk AEC (ASEAN Economic Community). Belajar dari kasus transformasi European Free Trade Association (EFTA), European Economic Community (EEC) kemudian menjadi European Union (EU) ternyata yang menjadi poin penting adalah penciptaan harmonisasi regional: harmonisasi perdagangan intra, hukum, dan perdagangan ekstra regional. Tetapi tidak bisa diabaikan bahwa karakteristik ASEAN dan EU sangat berbeda yang berimplikasi pada proses penyatuan AEC. AEC melompati tahapan custom union yang ditandai dengan tidak adanya Common External Tariff (CET) yang diberlakukan ASEAN terhadap negara bukan anggota. ASEAN hanya mengadopsi Common Effective Prefentian Tariff (CEPT) untuk anggota. Sehingga ASEAN menyerahkan kebijakan tarif eksternal sepenuhnya pada masing-masing anggota. Proses penyatuan ASEAN ini dimaksudkan untuk mempercepat proses integrasi juga untuk menyesuaikan dengan kondisi ASEAN yang tidak mencampuri politik luar negeri anggotanya.
Sementara itu, pada sisi perdagangan akibat absennya Common External Tariff dalam cetak biru AFTA dan AEC, tercipta pula banyak kesepakatan bilateral (BTFA) antar anggota ASEAN dengan negara non ASEAN. Dimulai dari tindakan Singapura membentuk BTFA dengan Jepang yang kemudian diikuti oleh anggota ASEAN lain. Selain BTFA dengan Jepang juga terbentuk dengan Tiongkok dan Korea Selatan. Kemunculan BTFA ini membuat pertumbuhan ASEAN tidak harmonis yang dapat menghambat AEC. Oleh karena itu, ketika salah satu Anggota ASEAN mulai membuka perdagangan bilateral langsung dengan negara-negara non anggota, cepat atau lambat anggota lain akan melakukan hal yang sama. Maka pada tahun 2000 ASEAN+3 menambahkan fokusnya pada liberalisasi perdagangan. Akhirnya ASEAN+3 resmi dibentuk pada KTT ASEAN+3 Ke 5 pada tahun 2001 di Brunei Darussalam.
Setelah tahun 2001, perdagangan ASEAN dengan ketiga mitra dagangnya di Asia Timur yaitu Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan berada di bawah satu payung ASEAN+3. ASEAN+3 adalah usaha pertama ASEAN untuk memperbesar kerjasama ekonominya melalui ASEAN+ framework untuk memperkuat keuangan dan perdagangannya.
Adanya FTA akan berimplikasi pada penerimaan perpajakan di Indonesia. Penerapan FTA akan mempengaruhi volume perdagangan Indonesia, yang pada akhirnya akan mempengaruhi besarnya taxbase untuk pajak penghasilan. Selain itu, insentif perpajakan yang diterapkan juga akan mempengaruhi penerimaan perpajakan karena adanya penurunan tarif pajak.
Terbentuknya berbagai kerjasama ekonomi, khususnya di bidang perdagangan internasional, baik secara bilateral maupun multilateral, serta terbentuknya kerjasama ekonomi secara regional, akan membawa pengaruh pada perkembangan transaksi perdagangan internasional suatu negara. Dalam penelitian ini, estimasi dampak penerapan FTA terhadap perdagangan Indonesia dengan negara-negara lainnya akan dihitung dengan menggunakan pendekatan Model Gravity.
Selanjutnya, peningkatan ataupun penurunan transaksi perdagangan di suatu negara sebagai akibat dari penerapan FTA tersebut tentu saja akan berdampak pada kesejahteraan penduduk. Dalam penelitian ini, untuk mengetahui dampak penerapan FTA terhadap kesejahteraan di Indonesia akan diestimasi dengan menggunakan pendekatan producer surplus dan consumer surplus. Dari hasil perhitungan surplus produsen/konsumen selanjutnya akan dipakai untuk menghitung seberapa besar dampak penerapan FTA terhadap penerimaan perpajakan (dampak fiskal), baik dalam bentuk potential loss maupun potential gain.
Hasil dari model yang digunakan mengarah pada beberapa kesimpulan: (1) efek dari ukuran ekonomi pada perdagangan bilateral ASEAN terhadap Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan adalah positif dan signifikan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ukuran ekonomi dapat meningkatkan perdagangan. (2) Efek jarak pada perdagangan bilateral ASEAN dapat memberikan hubungan negatif. Jarak yang semakin jauh dapat menjadi hambatan geografis yang menyebabkan biaya transportasi meningkat dan perdagangan turun.
Tetapi jika terdapat peningkatan penyediaan aksesibilitas antara partner dagang maka biaya transportasi berkurang, dengan demikian mengurangi jarak ekonomi sehingga perdagangan meningkat. (3) Efek indeks keterbukaan pada perdagangan adalah positif dan signifikan. Semakin besar derajat keterbukaan menunjukkan keterlibatan perdagangan ASEAN dengan partner dagangnya, (4) Nilai tukar REER tidak berpengaruh pada Perdagangan ASEAN dengan Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan.
Berdasarkan hasil dalam model gravitasi dapat dikatakan kerja sama ASEAN+3 memberikan keuntungan bagi perdagangan ASEAN dengan Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang. Indeks keterbukaan bilateral antara dua partner dagang menunjukkan hubungan positif dengan total perdagangannya. Indeks ini menunjukkan keterkaitan ekonomi antara dua partner dagang yang merupakan partner dagang alami, sehingga ketika mereka tergabung dalam kesatuan regional akan menunjukkan efek trade creation seperti yang terjadi pada penambahan Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan pada ASEAN.
Penambahan Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan memang merupakan hal yang baik karena ketiga negara tersebut tidak masuk dalam blok perdagangan manapun saat ini. ASEAN+3 dapat dikategorikan sebagai perdagangan bebas multilateral yang serupa dengan WTO tetapi dengan anggota yang lebih kecil, sehingga evitabilitas lebih tinggi dan karena tidak ada negara yang begitu berkuasa yang dapat menyebabkan masalah perdamaian dunia maka seharusnya lebih mudah bagi ASEAN+3 untuk bernegosiasi menyelesaikan masalah dalam kawasan tersebut.
Dalam kajian ini penerapan FTA ternyata memberikan efek yang negatif baik pada sisi surplus konsumen ataupun surplus produsen. Pada sisi produsen terjadi pesaingan tingkat harga input dan harga jual yang membutuhkan skala ekonomi yang efisien, tekanan ini memberikan produsen domestik sulit bersaing dengan asumsi dalam jangka panjang tidak ada perubahan secara struktural dari industri di Indonesia.
Setelah melakukan analisis pada penelitian ini, ada beberapa saran yang dapat digunakan sebagai informasi dan masukan bagi pembuat kebijakan integrasi ekonomi dan kerjasama perdagangan ASEAN. Dampak pembentukan ASEAN+3 terhadap perdagangan ASEAN 6 dengan 3 negara Asia Timur memberikan efek yang positif dan juga menunjukkan trade creation. Jika dengan perluasan kerjasama ASEAN terhadap 3 negara Asia Timur memberikan dampak positif, maka disarankan perluasan integrasi perdagangan ASEAN dengan negara non ASEAN yang memiliki hubungan perdagangan dalam jumlah terus dapat dilakukan. Rencana perluasan kerjasama ASEAN terdekat saat ini adalah ASEAN+6 (ASEAN, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Australia dan Selandia Baru) yang masih dalam tahap negosiasi.
Perlu adanya upaya penyelarasan pengenaan upaya fiskal bagi kegiatan perdagangan internasional sehingga Consumer Surplus dan Produser Surplus dapat dikurangi dampak negatifnya. Disamping itu, kebijakan perdagangan sebaiknya mengarah pada bagaimana pemerintah menumbuhkan iklim investasi yang tepat dan peningkatan efisiensi perusahaan sehingga dengan begitu kehidupan produsen domestik akan tetap terjaga dan penerimaan pajak dapat tersubsitusi dari kehilangan potensi pajak impor dan ekspor menjadi pendapatan pajak PPh dan PPN.
*Untuk informasi lebih lanjut mengenai kajian ini, dapat menghubungi Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di nomor 021-3866119
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.