Ringkasan : Kajian Review Tarif Royalti Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Batubara
Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
- Kajian ini didasarkan pada kajian yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang PNBP Pertambangan mineral dan batubara. Kajian KPK tersebut memfokuskan pada aspek penting, yakni aspek regulasi pengelolaan, aspek sumber daya manusia dan organisasi, dan aspek ketatalaksanaan pengelolaan PNBP. Atas hasil dan temuan dari kajian yang dilakukan disusun rencana aksi guna melaksanakan rekomendasi yang diajukan dalam kajian KPK tersebut dan memuat instansi yang menjadi penanggung jawab terhadap beberapa permasalahan yang ada.
- Salah satu permasalahan penting ang diungkapkan kajian KPK adalah tarif royalty adalah beberapa permasalahan, yakni: (i) tarif dan jenis tarif yang ditetapkan tidak seuai dengan perkembangan dilapangan, termasuk dalam pasar produk mineral dan batubara dunia, (ii) penetapan RPP jenis dan tarif atas PNBP menjadi PP memakan waktu lama untuk ditetapkan, (iii) tarif dan jenis PNBP yang berlaku terhadap mineral dan batubara yang berlaku pada KK lebih rendah dibandingkan yang berlaku pada IUP mineral, (iv) tarif PNBP royalti yang berlaku pada PKP2B lebih tinggi dibandingkan dengan yang berlaku pada IUP batubara, dan (v) tidak semua KK/PKP2B bersedia untuk melakukan renegoisasi kontrak termasuk aspek penyesuaian pembayaran royalti/iuran tetap.
- Dari permasalahan atas besaran tarif royalti tersebut, kajian ini mencermati mengenai poin (iv), dimana tarif royalti IUP batubara lebih rendah dari tarif yang berlaku pada PKP2B. Saat ini, tarif IUP batubara mengacu pada PP Nomor 9 tahun 12 adalah sebesar 3-7%, sesuai dengan kandungan kalori, sedangkan tariff untuk PKP2B adalah 13,5%. Dengan adanya perbedaan tersebut maka perlu dilakukan penyesuaian atas tarif royalti IUP batubara. Pemerintah melalui Kementerian ESDM telah merespon isu tersebut dan telah dibahas mengenai usulan tersebut. Perkembangan terakhir menyatakan bawa usulan tarif IUP batubara menjadi 7-10% untuk batubara kalori rendah karena adanya tren penurunan harga. Sebelumnya, usulan dari DPR untuk tarif IUP batubara adalah maksimal 11,5%.
- Dalam menilai atau mereview besaran tarif royalti, berdasarkan literatur perlu untuk memperhatikan 4 aspek, yakni: (i)tarif royalti yang dikenakan harus memberikan manfaat finansial yang optimal bagi pemilik sumber daya alam (negara), (ii) tarif royalti sebaiknya bersifat netral dan non-distortionary, (iii) tarif royalti yang dikenakan sebaiknya memberikan risk-sharing yang tepat antara investasi dan negara, (iv) royalti sebaiknya memberikan kesederhanaan dalam pengaturan baik bagi pemerintah/negara dan industri. Indonesia saat ini menerapkan tipe royalti value based royalty (advalorem royalty), yakni pengenaan royalti terhadap hasil jual komoditi tambang. Tipe ini dipandang sebagai tipe yang sederhana dan tidak rumit dalam penerapannya, namun memerlukan pengawasan yang ketat terhadap pelaporan penjualan dari kegiatan usaha pertambangan.
- Dengan menggunakan DCF (Discounted Cash Flow) Model, review atas besaran tarif royalti dengan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut dapat disimulasikan. Model yang digunakan untuk menilai viability industri tambang menggunakan DCF model yang mempertimbangkan variabel penerimaan dan biaya yang relevan (cash flow) dengan kegiatan tambang dalam kegiatan eksplorasi, pengembangan, dan eksploitasi. Kegiatan tambang ditetapkan akan memenuhi kelayakan apabila memiliki net present value (NPV) yang bernilai positif dengan menggunakan discount rate tertentu (misal 13%). Dari model DCF tersebut, dapat digunakan untuk menganalisis efek dari perubahan atas tarif royalti dengan menggunakan 4 (empat) ukuran, yakni Internal Rate of Return (IRR), Net Present Value (NPV), Effective Tax Rate (ETR), dan cummulative royalty.
- Kegiatan usaha pertambangan adalah usaha jangka panjang sesuai dengan masa kontrak dari ijin usaha pertambangan (IUP). Sehingga, penyesuaian atas kebijakan besaran tarif harus dipertimbangnkan sesuai dengan masa kontrak, tidak hanya pada satu periode tertentu. Sehingga, perkembangan harga jual yang menurun pada periode tertentu tidak bisa dijadikan argumen untuk membatasi penyesuaian besaran tarif, mengingat perkembangan harga jual batubara sifatnya fluktuatif. Dengan menggunakan DCF model, secara umum dapat disimpulkan bahwa tingkat produksi (dilihat dari jumlah produksi batubara) dari IUP mempengaruhi profitabilitas, dimana untuk kalori sedang dan tinggi memiliki net income (NPV) dan IRR yang relatif tinggi. Sementara itu, untuk batubara kalori rendah memiliki tingkat produksi yang rendah dan net income (NPV) dan IRR yang relatif rendah. Penurunan harga jual batubara mempengaruhi penurunan pendapatan kegiatan usaha dan untuk IUP batubara kalori rendah memiliki dampak penuruan yang relatif paling tinggi. Demikian pula, hal ini akan menurunkan penerimaan royalti yang diterima oleh pemerintah dari IUP batubara sekitar 9% untuk setiap penurunan 10% dari tren harga jual batubara.
- Tarif royalti dengan sliding scale untuk IUP batubara perlu untuk ditingkatkan karena adanya perbedaan yang signifikan dengan tarif yang diterapkan pada PKP2B dan untuk meningkatkan penerimaan royalti, namun mempertimbangkan pula keberlangsungan usaha dari IUP batubara. Simulasi kenaikan besaran tarif royalti untuk jenis kalori masing-masing memberikan hasil bahwa setiap kenaikan 1% tarif royalti untuk semua IUP batubara akan meningkatkan penerimaan royalti dari IUP batubara sekitar Rp0,65 triliun. Sebagai catatan bahwa IUP batubara memberikan kontribusi terhadap penerimaan royalti dari pertambangan mineral dan batubara sekitar 19,3%, sedangkan untuk PKP2B sekitar 64,9%. Sisanya adalah penerimaan royalti dari mineral sebesar 15,8%.
- Pengenaan pungutan atau pajak khusus dapat dikenakan pada kegiatan usaha tambang yang memiliki keunggulan efisiensi biaya produksi merujuk pada konsep pure economic rent. Untuk itu, Pemerintah dapat menerapkan pengenaan pajak/pungutan khusus terhadap kegiatan usaha pertambangan yang memiliki keunggulan efisiensi biaya produksi atau menerapkan resource rent tax sebagaimana yang telah diterapkan di Australia dimana kegiatan petambangan dikenakan pajak/pungutan tambahan pada saat laba melebihi batasan yang telah ditetapkan.
*Untuk informasi lebih lanjut mengenai kajian ini, dapat menghubungi Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di nomor 021-3866119
Disclaimer
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.