Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Indonesia yang dikaruniai keindahan alam, keunikan budaya, dan beragam kesenian tradisional merupakan potensi pariwisata yang sangat besar untuk dikembangkan. Disaat terjadi kecenderungan perubahan selera wisatawan dunia (consumer behaviour pattern) dari wisata konvensional ke jenis wisata yang lebih beragam, seperti wisata kreasi budaya (culture), peninggalan sejarah (heritage), dan ekowisata (nature), jumlah perjalanan wisata dunia pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 1,6 miliar orang (Harun, 2008). Hal ini merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk menarik wisatawan mancanegara. Selain itu, perkembangan jumlah wisatawan nusantara yang meningkat signifikan sebagai akibat peningkatan jumlah pendapatan masyarakat di kalangan menengah, juga merupakan peluang pasar domestik yang cukup besar. Komitmen pemerintah membangun sektor pariwisata menjadi salah satu sektor prioritas ditegaskan dalam RPJMN 2010-2014 terutama dalam pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan dalam pembahasan Prioritas Pembangunan Nasional Lainnya di Indonesia. Komitmen lainnya ditunjukkan dengan telah disusunnya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS), yang di dalamnya memuat visi, misi, tujuan, sasaran, dan arah pembangunan kepariwisataan tahun 2010-2025.
Era otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam merencanakan pembangunannya dan penentuan sektor-sektor prioritas daerah. Dalam pembagian kewenangan/urusan antartingkat pemerintahan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, disebutkan bahwa urusan kebudayaan dan pariwisata merupakan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antartingkat pemerintahan. Pembagian urusan tersebut didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antartingkat pemerintahan. Berdasarkan pembagian urusan tersebut, sektor pariwisata merupakan urusan pilihan pemerintahan daerah. Untuk mendanai kewenangan tersebut, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengatur sumber-sumber penerimaan daerah yang merupakan kewenangan penuh daerah. Terkait hal tersebut, maka pengembangan sektor pariwisata terkait erat dengan pemungutan pajak dan retribusi daerah, terutama pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan. Dengan demikian, pengembangan sektor pariwisata secara tidak langsung berpotensi sebagai basis penerimaan pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan. Dengan begitu, perkembangan pariwisata berdampak pada peningkatan penerimaan daerah sehingga diharapkan dapat memperbesar kemampuan daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mengurangi ketergantungan pada jenis transfer dari pemerintah pusat. Meskipun demikian, pengembangan sektor pariwisata di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala dan tantangan.
Untuk itulah, kajian mengenai analisa perkembangan sektor pariwisata dan dampaknya terhadap kemandirian fiskal daerah perlu dilakukan. Kajian ini difokuskan pada analisa perkembangan sektor pariwisata, identifikasi permasalahan di sektor pariwisata, dan dampak perkembangan sektor pariwisata terhadap kemandirian fiskal daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan hasil analisa, diidentifikasi permasalahan di sektor pariwisata mencakup 3 kelompok, yaitu: i) permasalahan aspek regulasi dan kebijakan; ii) permasalahan infrastruktur; dan iii) permasalahan aspek sumber daya, terutama sumber daya manusia.
Permasalahan pada aspek regulasi dan kebijakan antara lain : komitmen dan kepemimpinan serta kemauan politik yang diwujudkan dalam RPJMD untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor prioritas relatif masih rendah, tata ruang dan penggunaan/pemanfaatan lahan yang sering menghambat investasi di sektor pariwisata dan berpotensi memunculkan konflik, regulasi perijinan usaha di sektor pariwisata yang sering menjadi keluhan pelaku usaha di sektor pariwisata karena proses yang memerlukan waktu lama dan biaya tinggi. Selain itu, dukungan pendanaan pemerintah yang relatif masih rendah untuk program pengembangan pariwisata merupakan permasalahan lain disektor pariwisata.
Sementara itu, permasalahan keterbatasan penyediaan infrastruktur meliputi infrastruktur transportasi, infrastruktur pariwisata, dan infrastruktur teknologi dan informasi. Permasalahan infrastruktur transportasi seperti terbatasnya sarana infrastruktur perhubungan bandara, pelabuhan, kereta api, dan infrastruktur jalan. Dari sisi infrastruktur pariwisata dan teknologi informasi, permasalahan yang masih dihadapi antara lain ketersediaan akomodasi hotel yang memadai, keterbatasan fasilitas layanan transportasi, biro perjalanan, sarana pendukung di tujuan wisata (ketersediaan air bersih, toilet, dan lainnya), keterbatasan ketersediaan fasilitas keuangan seperti ATM, perbankan, tempat penukaran valuta asing, dan keterbatasan akses sarana komunikasi khususnya di wilayah destinasi wisata.
Permasalahan aspek sumber daya manusia, seperti keterbatasan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia di sektor pariwisata, kreativitas pengelolaan obyek wisata terutama obyek yang dikelola instansi pemerintah, attitude masyarakat di sekitar obyek wisata baik terhadap pendatang maupun dalam layanan fasilitas umum seperti toilet umum, layanan air minum, dan fasilitas kebersihan.
Dari hasil analisa kuantitatif pengaruh sektor pariwisata terhadap kemandirian fiskal daerah menunjukkan bahwa pengembangan sektor pariwisata yang diindikasikan dengan kontribusi sektor perdagangan, hotel, restoran terhadap PDRB, dan kontribusi pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan terhadap PAD, memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kemandirian keuangan daerah. Hal ini terjadi baik pada tahun 2003 maupun 2012. Selain itu, dengan membedakan pemkab dan pemkot, menunjukkan koefisien parameter di pemkot lebih besar dibandingkan di kabupaten. Koefisien parameter variabel bebas untuk tahun 2012 lebih besar dibandingkan koefisien parameter variabel bebas untuk tahun 2003. Ini mengindikasikan adanya pengaruh penerapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan otonomi daerah yang diberlakukan.
Di samping itu, dari hasil regresi dapat diketahui bahwa variabel kemandirian keuangan daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel Indeks Pembangunan Manusia (IPM), terjadi baik untuk tahun 2003 maupun 2012. Selain itu, koefisien parameter variabel kemandirian keuangan daerah pada tahun 2012 lebih besar dibandingkan dengan koefisien parameter variabel bebas untuk tahun 2003. Pembedaan kabupaten dan kota juga berpengaruh, dimana pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap IPM di pemerintahan kota lebih tinggi dibandingkan di kabupaten. Di sisi lain, hasil yang sama terjadi pada variabel pendapatan perkapita. Variabel kemandirian keuangan daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan per kapita masyarakat, terjadi baik di tahun 2003 maupun 2012. Koefisien parameter kemandirian keuangan daerah terhadap pendapatan per kapita lebih besar di wilayah pemkot dibandingkan di kabupaten.
Berdasarkan hasil analisa dan kesimpulan tersebut diatas, maka dapat dirumuskan rekomendasi sebagai berikut:
*Untuk informasi lebih lanjut mengenai kajian ini, dapat menghubungi Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di nomor 021-3866119
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.