Penulis: Makmun Saadulah, Peneliti Pusat Kebijakan Pendapatan Negara
Latar Belakang
Mata rantai industri baja meliputi semua proses yang diperlukan untuk mengubah bahan baku (terutama batubara, bijih besi, listrikdan skrap) menjadi produk baja jadi. Secara umum,infrastruktur berikut ini diperlukanuntuk memproduksibaja(EPA, 1995): Cokeoven, Sinter and pellet plants, Blast furnaces, Steel furnaces, dan Rolling and finishing mills.Secara umum, proses produksi baja dapat dibedakan menurut bahan baku dan teknologi yang digunakan. Untuk bahan baku iron ore dan coke, teknologi yang digunakan adalah blast furnace (BF) + BOF. Sedangkan untuk bahan baku scrap dapat menggunakan electric arc furnace (EAF) atau induction furnace (IF). Setelah bahan baku diproses menjadi bahan setengah jadi (billet, bloom atau slab), selanjutnya diproses di rolling mill untuk menghasilkan produk jadi, yaitu dapat berupa rebar, profile, plate, dan lain-lain.
Berdasarkan tingkat integrasi vertikal, pabrik pembuatan baja dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok yang berbeda, yaitu integrated plants dan minimills(secondary steel producer) yang terintegrasi. Kelompok pertama terintegrasi dalam plants, di mana semua tahapan produksi yang dilakukan(dari kokas pembuatan hingga finishing produk), dan terintegrasi secara parsial, di mana coke ovens dan coke-making outsourcing tidak diinstal. Integrated plants menggunakan blast furnaces (BFs) dan basic oxygen furnaces (BOFs) untuk mengubah bijih besidan coke menjadi baja. Pabrik-pabrik kecil pada umumnya menggunakan tungku busur listrik (electric arc furnaces-(EAFs) untuk memproduksi baja dan hanya sebagian pada besi mentah, yang biasanya dibeli sebagai masukan untuk diproses lebih lanjut.
Konsumsi Listrik pada Industri Baja
Menurut data Industri Besar dan Sedang yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik(BPS) periode 2005-2009, klasifikasi KLBI, industri baja di Indonesia digolongkan menjadi tiga katagori, yakni: Industri Dasar besi dan Baja (kode KLBI 27101), Industri Penggilingan Baja (kode KLBI 27102) dan Industri Pipa dan Sambungan Pipa dari Baja dan Besi (kode KLBI 27103). Berdasarkan katagori ini, konsumsi energy listrik tertinggi ada pada industri penggilingan baja, menyusul industri dasar besi dan baja dan industri pipa dan sambungan pipa dari besi dan baja. Rata-rata konsumsi energy listrik per perusahaan pada ketiga jenis industri ini dalam periode 2005-2009 cenderung berfluktuatif, namun ini belum dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Hal ini disebabkan dalam kajian ini tidak diketahui secara pasti apakah perusahaan yang dijadikan sampel dalam survei oleh BPS setiap tahunnya sama atau berbeda.
Konsumsi energy listrik pada industri dasar besi dan baja terhadap total bahan yang digunakan untuk menghasilkan baja dalam periode 2005-2009 rata-rata mencapai 9,28%. Sedangkan rasio terhadap produksi hanya mencapai 6,93%. Untuk industri penggilingan baja, konsumsi energy listrik terhadap total bahan mencapai 6,75% dan rasio terhadap produksi mencapai 6,23%. Seementara itu untuk industri pipa dan sambungan pipa dari besi dan baja, konsumsi energy listrik terhadap total bahan mencapai 2,72% dan rasio terhadap produksi mencapai 2,07%.
Permasalahan Perpajakan pada Industri Baja
Permasalahan utama dalam perpajakan di industri pajak adalah masalah kepatuhan. Menurut hasil kajian Independent Research and Advisory Indonesia (IRAI), terdapat empat permasalahan utama terkait dengan perpajakan ini, yakni (i) sistem perpajakan sepanjang rantai nilai industri besi baja long product saat ini belum sempurna dan merata yang disebabkan oleh masih banyaknya elemen dari rantai nilai yang belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan sistem perpajakan yang berlaku, (ii) adanya pihak supplier, produsen maupun customer yang belum sepenuhnya menerapkan sistem perpajakan yang berlaku, (iii) tingkat kepatuhan pajak yang belum optimal dari beberapa pelaku dalam mata rantai industri besi baja long product ini menyebabkan sistem perpajakan belum berjalan seluruhnya dengan maksimal dan belum mengoptimalkan penerimaan pajak bagi Negara, dan (iv) keterpaksaan para pelaku menjalankan hal sebagaimana disebutkan diatas, adalah agar kesinambungan operasi Perusahaan termasuk tanggung jawah terhadap karyawan, para pelanggan dan stakeholders lainnya dapat terus dijaga. Oleh karena itu, pembinaan bagi Wajib Pajak di industri besi baja long product, sangat diperlukan bagi perkembangan industri ini di masa depan serta kaitannya dengan optimalisasi penerimaan pajak bagi negara.
Dari sisi produsen, permasalahan utama dalam mata rantai industri baja adalah (i) pasokan bahan baku utama sangat tergantung dari ketersediaan barang di pasar dan mayoritas merupakan scrap local, (ii) utilisasi produksi untuk produsen skala besar rendah, (iii) terbatasnya jaringan transmisi untuk pelanggan I-4 serta supply energi kurang merata di seluruh Indonesia untuk pelangga I-3, (iv) menghadapi persaingan tidak sehat,karena banyaknya produk besi tidak standard dan tanpa PPN, (iv) tingkat kepatuhan pajak berbeda, dan (v) pengenaan bea masuk untuk bahan baku dan tanpa bea masuk untuk bahan jadi.
Sedangkan dari sisi supplier utama, permasalahan utama dalam mata rantai industri baja adalah Ketersediaan dan kesinambungan pasokan dari bahan baku utama: (i) mayoritas pemasok bukan PKP, (ii) scrap dianggap sebagai limbah B3 dan belum jelasnya peraturan tentang sisa hasil produksi, (iii) proses pengeluaran dari bea cukai yang memakan waktu lama untuk bahan baku import, dan (iii) harga bahan baku sangat berfluktuatif dan mengikuti pergerakan nilai tukar dan permintaan.
Sementara itu permasalahan utama dari sisi konsumen adalah : (i) spesifikasi produk dan standarisasi tidak sama, (ii) variasi produk beragam dengan kualitas yang beragam, dan (iii) beberapa konsumen bukan wajib pajak dan cenderung ingin mendapatkan produk dengan harga non PPN. Dengan adanya distorsi tersebut serta belum sempurnanya industri berakibat pada perbedaan dalam pemenuhan kewajiban pajak.
Penggunaan Killer Indicator
Dalam rangka mengoptimalkan penerimaan pajak dari industri baja, adalah penggunaan metode killer indicator. Sebagaimana diketahui bahwa industri baja termasuk baja panjang adalah pengguna energi yang intensif, walaupun teknologi yang saat ini digunakan terus berkembang menjadi teknologi yang efisien.Pemakaian energi terbesar di industri baja berada pada proses pembuatan besi baja itu sendiri. Disamping proses pembuatan besi baja, proses reheating furnace dan proses rolling mil juga berkontribusi cukup besar dalam pemakaian energi.
Sebagai pengguna energi yang intensif, terdapat korelasi antara volume penggunaan listrik dalam kwh dengan volume produksi tentunya sangat signifikan.Merujuk pada teknologi EAF, daya yang diperlukan oleh furnace untuk melakukan satu kali heat (pemanasan) adalah sekitar 670 kWh/ton. Oleh karenanya rasio volume listrik dibandingkan dengan konstanta tertentu yang paling sesuai pada produsen domestik akan menunjukan volume produksi yang aktual dari perusahaan/produsen tersebut. Selain volume penggunaan listrik, volume penggunaan bahan bakar lainnya seperti gas ataupun solar per konstanta tertentu juga dapat dikorelasikan dengan volume produksi.
Konsumsi listrik per Kwh pada industri baja berbanding lurus dengan volume produksi. Berdasarkan hasil kajian IRAI, konstanta konversi yang digunakan adalah antara 100 kwh/ton sampai dengan 900 kwh/ton, tergantung pada jenis produk yang dihasilkan dan asumsi yang digunakan. Berdasarkan hasil hitungan ini, apabila volume produksi perusahaan sama dengan volume produksi konversi, maka PPN seharusnya sudah dilaporkan. Apabila apabila volume produksi perusahaan lebih kecil dibandingkan volume produksi konversi, maka terdapat potensi PPN, dan apabila volume produksi perusahaan lebih besar dari volume produksi konversi, maka PPN seharusnya sudah dilaporkan.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.