Penulis: Pusat Kebijakan Sektor Keuangan
Dalam beberapa tahun terakhir, pasar modal syariah telah mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan di berbagai negara, tidak hanya di negara kawasan Timur Tengah, namun juga di kawasan Asia seperti Indonesia dan Malaysia. Selain itu, pasar modal syariah juga mengalami perkembangan yang cukup pesat di beberapa negara di Eropa seperti Inggris dan Jerman. Di Indonesia, perkembangan pasar modal syariah diawali dengan penerbitan reksa dana syariah pada tahun 1997 dan diikuti dengan pembentukan Jakarta Islamic Index pada tahun 2000. Pada tahun 2002, obligasi syariah mudharabah pertama kali diterbitkan di pasar modal Indonesia. Selanjutnya pada tahun 2008, Pemerintah pertama kali menerbitkan Surat Berharga Syariah Negara. Perkembangan produk-produk syariah seperti sukuk, reksa dana syariah dan saham syariah dapat dijadikan sebagai indikator yang dapat menggambarkan perkembangan pasar modal syariah. Meskipun dalam perkembangannya sukuk terus mengalami pertumbuhan, baik dari sisi nilai maupun jumlah, namun apabila dibandingkan dengan total produk pasar modal (syariah dan konvensional) nilai produk sukuk masih relatif kecil. Sampai dengan akhir 2014, nilai produk sukuk tercatat masih dibawah 5%.
Salah satu produk pasar modal syariah yang telah banyak diterbitkan adalah sukuk. Pada saat ini, Indonesia sudah mulai memperhitungkan sukuk sebagai salah satu alternatif pembiayaan. Meskipun sampai dengan saat ini pangsa pasar sukuk masih relatif kecil, namun kedepannya sukuk memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Oleh karena itu, perlu disusun gambaran umum mengenai perkembangan sukuk di Indonesia, khususnya sukuk yang diterbitkan oleh korporasi. Gambaran umum tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti jenis akad yang digunakan, tenor dan jenis sektor industri yang menerbitkan sukuk. Gambaran umum tentang sukuk korporasi di Indonesia ini diharapkan dapat dijadikan salah satu bahan acuan dalam melakukan analisis, evaluasi, dan penyusunan kebijakan pengembangan industri keuangan syariah khususnya untuk sektor pasar modal syariah.
Penerbitan sukuk korporasi di Indonesia dimulai dengan diterbitkannya fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI) Nomor 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah pada tahun 2002. Fatwa tersebut menjadi salah satu pedoman dalam penerbitan sukuk di Indonesia. Selanjutnya, Pemerintah melalui Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Bapepam-LK Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah pada tahun 2006 dan Peraturan Bapepam-LK Nomor IX.A.14 tentang Akad-akad yang Digunakan dalam Penerbitan Efek Syariah pada tahun 2012. Fatwa dan peraturan-peraturan tersebut merupakan salah satu bentuk dukungan Pemerintah dalam mendorong perkembangan sukuk di Indonesia.
Dalam beberapa waktu terakhir, sukuk menjadi objek penelitian yang menarik untuk dikaji lebih jauh, baik dari sisi penerapan prinsip syariah, maupun sisi instrumen pasar modal syariah. Menurut McMillen dan Crawford (2008), berdasarkan data penerbitan sukuk yang diperoleh dari Dow Jones Islamic Market World Index, dalam kurun waktu satu dekade penerbitan sukuk, sepanjang tahun 1997 hingga 2008 terdapat sekitar $87.955,22 juta sukuk yang diterbitkan melalui 596 penawaran dengan porsi 35% berupa sukuk pemerintah dan 65% berupa sukuk korporasi. Adapun negara yang memiliki volume tertinggi dalam penerbitan sukuk adalah Malaysia dan Uni Emirat Arab. Selanjutnya pada penelitian lain, yaitu menurut Rauf (2013), permintaan atas instrumen berbasis syariah sebagai alternatif instrumen konvensional mengalami peningkatan, baik di negara-negara Islam maupun negara-negara lain di dunia. Berdasarkan pengalaman dalam 10 tahun terakhir, sukuk telah terbukti memperkuat keuangan syariah sekaligus menjadi pelengkap bagi obligasi di pasar modal global.
Dalam perkembangannya, selama kurun waktu lima tahun terakhir (2011 – April 2015) sukuk korporasi di Indonesia terus menerus mengalami pertumbuhan walaupun dengan laju yang rendah, baik dari segi volume maupun nilai penerbitan. Selain itu, pangsa pasar sukuk korporasi terhadap total penerbitan obligasi dan sukuk korporasi juga masih relatif kecil. Dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2014, rata-rata pangsa pasar sukuk korporasi hanya sekitar 2,18%. Meskipun perkembangan sukuk masih sangat terbatas, di masa yang akan datang diyakini memiliki potensi sangat besar dalam perkembangan pasar modal di Indonesia. Dari sisi penawaran, nilai pangsa pasar sukuk yang relatif kecil memberikan ruang yang besar bagi dunia usaha untuk menggunakan sukuk sebagai salah satu sumber pendanaan. Sementara itu, dari sisi permintaan, semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia yang memahami aspek keuangan juga menjadi peluang sebagai sumber daya investasi.
Sukuk korporasi yang berkembang di Indonesia memiliki beberapa karakteristik yang cukup menarik untuk diamati. Meskipun Pemerintah maupun MUI telah memberikan enam pilihan akad yang dapat digunakan dalam penerbitan sukuk, akan tetapi dalam praktik saat ini penerbitan sukuk korporasi di Indonesia masih terbatas menggunakan dua akad, yaitu ijarah dan mudharabah. Kedua akad tersebut digunakan karena dinilai memiliki skema yang relatif lebih sederhana. Penerbitan sukuk korporasi di Indonesia didominasi oleh perusahaan yang bergerak di sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi, dan diikuti oleh perusahaan yang bergerak di sektor jasa keuangan. Akad ijarah paling banyak digunakan oleh sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi, sementara akad mudharabah paling banyak digunakan oleh sektor jasa keuangan. Sukuk korporasi yang diterbitkan di Indonesia didominasi oleh sukuk dengan jangka pendek dan menengah. Lebih dari separuh sukuk korporasi yang diterbitkan di Indonesia adalah sukuk dengan jangka waktu 5 tahun.
Dengan melihat pertumbuhan nilai penerbitan sukuk korporasi, pangsa pasar maupun karakteristik sukuk korporasi yang beredar di Indonesia, terlihat banyak ruang dan peluang untuk lebih mengembangkan penerbitan sukuk korporasi di Indonesia. Untuk dapat memanfaatkan peluang-peluang tersebut, perlu dikaji lebih dalam lagi mengenai hal-hal yang menjadi hambatan beserta alternatif solusinya.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.