Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Salah satu tantangan dalam menyusun strategi dan program kebijakan pemberian subsidi bahan bakar adalah persoalan ketepatan sasaran dan keadilan. Hasil kajian Bank Dunia (2010) menunjukkan bahwa 77 % alokasi subsidi BBM justru dinikmati oleh kelompok 25 % rumah tangga dengan pengeluaran per bulan tertinggi. Sementara, 25 % kelompok masyarakat dengan pengeluaran terbawah hanya menikmati subsidi BBM sekitar 15 %. Hal ini mengindikasikan bahwa mekanisme subsidi BBM yang berjalan hingga tahun 2014 belum tepat sasaran dan cenderung tidak adil terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 yang mencabut subsidi BBM jenis bensin RON 88 dan memberikan subsidi tetap sebesar Rp. 1,000 per liter untuk BBM jenis solar. Peraturan ini mulai berlaku sejak Januari 2015. Kebijakan ini memang telah berhasil mengurangi subsidi BBM secara signifikan, namun bila ditelaah kebijakan subsidi ini masih belum tepat sasaran dan belum memenuhi rasa keadilan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 30 tahun 2007 tentang Energi. Dengan kebijkan baru ini maka angkutan umum berbahan bakar bensin RON 88 tidak lagi menerima subsidi tetapi mobil pribadi berbahan bakar solar masih menerima subsidi.
Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 juga mengatur untuk diterapkannya sistem distribusi tertutup bagi BBM bersubsidi. Hal ini belum dapat diterapkan karena belum ada mekanisme kebijakan subsidi BBM yang lebih tepat sasaran. Pemerintah telah memperkenalkan Sistem Monitoring dan Pengendalian Bahan Bakar Minyak (SMPBBM) dengan menggunakan Radio Frequency Identification (RFID) di Jabodetabek. Namun sistem ini tidak dapat dilanjutkan karena berbagai kendala yang dihadapi. Sementara itu Pertamina bekerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) telah memperkenalkan Survey Card dan kemudian ditingkatkan menjadi Fuel Card di Kota Batam yang bertujuan untuk memonitor dan membatasi konsumsi BBM bersubsidi. Sistem ini juga masih perlu dievaluasi bagaimana keefektifan dan keberhasilan penerapannnya.
Kebijakan untuk mencabut subsidi BBM jenis bensin RON 88 dan memberikan subsidi tetap sebesar Rp. 1,000 per liter untuk BBM jenis solar saat ini memang masih bisa diterima masyarakat karena kebijakan ini bertepatan dengan momentum turunnya harga minyak dunia dari USD 105 di awal tahun 2014 hingga mencapai level USD 50-60 per barel di awal tahun 2015 sehingga harga jual eceran BBM masih terjangkau serta perbedaan harga eceran BBM bersubsidi dan non subsidi tidak terpaut terlalu besar.
Persoalan akan muncul jika harga minyak dunia naik, katakanlah, mencapai level seperti awal tahun 2014 yakni sekitar USD 105 per barel. Dengan kondisi demikian, Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk kembali memberikan subsidi BBM jenis bensin RON 88 dan solar dengan besaran yang lebih tinggi dari susbidi tetap saat ini untuk mengurangi dampak negatif dari kenaikan harga minyak dunia tersebut, terutama dampak terhadap makro ekonomi, seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Dengan menerapkan pola pemberian subsidi yang sama seperti yang dilakukan sebelum diterapkannya Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 maka persoalan ketidak tepat sasaran dan ketidakadilan pemberian subsidi BBM akan terjadi kembali. Apabila subsidi meningkat maka selisih harga BBM bersusbidi dan non subsidi pun meningkat. Hal ini menyebabkan masyarakat kembali berpindah menggunakan BBM bersubsidi. Selisih harga yang besar antara BBM bersubsidi dan BBM non subsidi juga berpotensi menimbulkan penyelundupan dan penyelewengan BBM bersubsidi. Pada akhirnya jumlah total alokasi anggaran Pemerintah akan kembali membengkak.
Tujuan Kajian
Sebagai antisipasi permasalahan di atas maka kajian ini bertujuan untuk menggali opsi mekanisme kebijakan subsidi BBM yang lebih tepat sasaran. Kajian ini melakukan analisis dan mengidentifikasi kelompok target penerima mana saja yang berhak untuk menerima subsidi. Kajian ini dibatasi dengan menggali opsi mekanisme pemberian subsidi BBM pada sektor transportasi. Kajian ini juga kemudian melakukan analisis dampak terhadap fiskal, makro ekononomi, sosial dan lingkungan apabila opsi mekanisme tersebut diterapkan. Diharapkan kajian ini berguna bagi Pemerintah dalam memberikan opsi mekanisme subsidi BBM yang lebih tepat sasaran apabila harga minyak dunia naik kembali.
Kelompok Sasaran Subsidi BBM
Dalam menentukan kelompok sasaran subsidi BBM kajian ini menganalisa peraturan-perundangan yang ada serta mempertimbangkan aspek keadilan sehingga kelompok tidak mampu masih dapat mencukupi kebutuhan dasarnya serta biaya transportasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka kajian ini mendifinisikan kelompok target subsidi BBM yang lebih tepat sasaran yaitu usaha mikro, nelayan dengan kapal maks 30 GT, perikanan skala kecil, usaha pertanian skala kecil, ambulan dan kendaraan pelayanan publik lainnya, kendaraan penumpang umum plat kuning (bus kota, bus antar kota dalam provinsi, bus anta kota antar provinsi angkutan perkotaan/perdesaan, taksi), dan kendaraan angkutan barang (pick up, box, truk). Mobil pribadi berbahan bakar solar dan sepeda motor yang saat ini masih menerima subsidi (sebagai tertuang dalam Perpres 191/2014) akan diusulkan untuk dikeluarkan dari kelompok penerima subsidi BBM.
Evaluasi Penerapan Alat Kendali dan Monitoring Pembelian BBM Bersubsidi
Agar subsidi BBM terarah kepada kelompok target yang ditentukan, maka Pemerintah dapat melakukan diskriminasi harga dalam penjualan BBM. Di dalam praktek diskriminasi harga, penjual mampu menjual produk yang sama dengan harga yang berbeda pada konsumen yang berbeda. Hal ini dapat dilakukan, jika produsen mampu membedakan dengan tepat konsumen-konsumennya. Praktek diskriminasi harga ini bisa berhasil, jika tiap konsumen tidak dapat melakukan arbitrase harga. Arbitrase harga adalah praktek menjual kembali produk yang dibeli oleh konsumen yang membeli dengan harga murah kepada konsumen lain yang dikenakan harga lebih mahal. Bila konsumen bisa melakukan praktek arbitrase harga, maka diskriminasi pasar tidak akan ada gunanya. Agar mekanisme diskriminasi harga berhasil diterapkan, maka distribusi bahan bakar bersubsidi harus dilakukan dengan alat kendali subsidi dan diberikan kuota pembelian BBM bersubsidi bagi kelompok target.
Dari studi literatur yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa hampir semua negara berkembang yang menerapkan reformasi pemberian subsidi BBM mencoba memperkenalkan mekanisme subsidi terarah kepada kelompok sasaran. Di Filipina, pemerintah menerapkan “Program Pantawid Pasada” yang memberikan subsidi BBM kepada transportasi publik. Di Malaysia, pemerintah berencana menerapkan mekanisme diskon berdasarkan klasifikasi kelompok pendapatan masyarakat. Sistem yang diberi nama “My Kads“ (kartu identitas dengan menggunakan chip) akan memberikan harga diskoun kepada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah ketika membeli BBM.
Pemerintah telah melalukan ujicoba beberapa alat kendali dan monitoring konsumsi BBM bersubsidi di beberapa daerah. Alat kendali dan monitoring tersebut antara lain Radio Frequency Identification (RFID), Survey Card dan Fuel Card. Kajian ini melakukan evaluasi keberhasilan dan kendala yang dihadapi dalam pengujicobaan alat kendali dan monitoring tersebut.
RFID adalah sistem distribusi tertutup dengan menggunakan alat kendali yang diujicobakan di Jabodetabek oleh Pertamina. Dengan sistem ini monitoring dan pengendalian BBM bersubsidi dan non-subsidi dilakukan dengan menggunakan database online yang disambungkan dengan SPBU serta kendaraan dengan menggunakan RFID tag. Uji coba alat kendali ini tidak dapat dilanjutkan karena terbentur beberapa kendala antara lain: produksi alat kendali, partisipasi masyarakat yang rendah dalam pemasangan RFID tag, dan kurangnya pemahaman petugas SPBU terhadap program RFID.
Survey Card adalah mekanisme yang diperkenalkan oleh Pertamina bekerjasama dengan Pemerintah Kota Batam untuk mendata dan mengendalikan penjualan solar bersubsidi. Mekanisme pembatasan solar dilakukan dengan pendataan kendaraan lewat STNK dan pemberian kertas Survey Card untuk setiap pembelian solar bersubsidi dengan jatah perhari tiap bulannya. Penerapan Survey Card di Kota Batam memiliki beberapa manfaat antara lain: Pemerintah dan Pertamina dapat mengetahui konsumsi real solar bersubsidi sehingga dapat menentukan target solar bersubsidi di Kota Batam, Survey Card dapat mendorong pembelian solar non bersubsidi, menghilangkan mobil pelangsir, serta menurunkan konsumsi solar bersubsidi. Dengan menerapkan Survey Card di Kota Batam didapat penghematan biaya subsidi Bio Solar sebesar 151 Kilo Liter per hari atau sebesar Rp. 330 Milyar pertahun (setara dengan Rp. 906 juta perhari). Penerapan Survey Card juga memiliki kendala dan kelemahan antara lain: belum memiliki payung hukum yang kuat, kurangnya pemahaman petugas pelaksana di lapangan, banyaknya masyarakat yang mendaftar berkali-kali sehingga mendapatkan kartu survey ganda, kartu survey berbentuk kertas karton sehingga mudah rusak dan dapat dipalsukan. Sejauh ini Survey Card juga telah diterapkan di Tarakan, Bintan dan Pangkal Pinang serta pada tahapan sosialisasi di Belitung.
Fuel Card diterapkan sejak 1 November 2014 di Kota Batam sebagai kelanjutan dan penyempurnaan sistem pembatasan pembelian solar bersubsidi yang sebelumnya dilakukan dengan menggunakan Survey Card. Kelebihan Fuel Card adalah berupa kartu yang juga dapat berfungsi sebagai alat pembayaran. Hal ini dilakukan lewat kerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Sama halnya dengan Survey Card, Fuel Card juga melakukan pendataan kendaraan lewat STNK. Sebagai perbaikan sistem Survey Card, Fuel Card dapat mengurangi kemungkinan kecurangan pemalsuan kartu yang sebelumnya terjadi pada Survey Card, sehingga lebih jauh dapat menurunkan volume pembelian solar bersubsidi. Kendala penerapan Fuel Card antara lain: adanya kendala top-up yang harus dilakukan sopir (pemilik kartu), kendala deposit yang dilakukan SPBU, kendala sistem (server, mesin EDC, dan konektivitas), double-checking settlement yang perlu dilakukan dan menjadi kerja tambahan bagi SPBU. Sementara itu kelemahan sistem Fuel Card antara lain: sementara masih monopoli BRI (untuk 3 tahun), kartu masih dapat digunakan untuk transaksi lainnya sehingga fungsi kartu dapat menjadi rancu, dan kartu belum memiliki identitas yang dapat diperiksa karena masih menggunakan magnetic strip.
Dari kajian yang dilakukan bahwa yang lebih mudah, praktis dan cukup efektif sebagai alat kendali subsidi BBM adalah Fuel Card. Fuel Card lebih memudahkan masyarakat, karena tidak memerlukan instalasi khusus pada kendaraan. Hanya saja beberapa kendala dan kelemahannya perlu diatasi dan disempurnakan, seperti masalah top up dan pembelian BBM yang harus non tunai. Fuel Card harus diberikan identitas kelompok target untuk mencegah penyalahgunaannya.
Dengan mengatasi kendala yang ada pada sistem Fuel Card, kajian ini mengusulkan instrumen baru untuk mendiskriminasi harga BBM bersubsidi yakni dengan menggunakan Smart Card dan metode pemberian subsidinya dengan menggunakan sistem diskon. Agar tidak terjadi pembelian BBM subsidi yang excessive oleh kelompok target, maka pembelian BBM bersubsidi harus diberikan kuota per hari. Sistem yang digunakan relatif mirip dengan sistem yang digunakan oleh Fuel Card di Batam, yakni menggunakan sistem transaksi yang sudah digunakan oleh perbankan, tidak membangun sistem baru, tetapi agar lebih praktis Smart Card dirancang sedemikian rupa setiap orang bisa menggunakannya baik dengan transaksi tunai maupun non tunai.
Pilihan Kebijakan Besaran Subsidi dan Analisa Dampak
Setidaknya ada tiga cara menentukan besaran subsidi yaitu subsidi mengambang, subsidi tetap, dan subsidi proporsional.
a. Subsidi mengambang adalah subsidi yang besarannya ditentukan oleh perubahan harga minyak dunia. Subsidi mengambang diterapkan oleh Pemerintah sebelum tahun 2015. Hasil analisis dari kajian ini menunjukkan bahwa kebijakan subsidi mengambang sudah harus ditinggalkan, karena risiko fiskalnya sangat tinggi jika harga minyak dunia naik secara tiba-tiba.
b. Subsidi tetap adalah subsidi yang besarannya sudah ditentukan tetap oleh pemerintah. Kebijakan subsidi tetap mulai dijalankan di Indonesia sejak 1 Januari 2015 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No 191/2014, di mana BBM jenis solar diberikan subsidi terap sebesar Rp 1000 per liter. Keuntungan kebijakan subsidi tetap adalah besaran subsidi dalam satu tahun bisa mendekati nilai yang pasti. Namun demikian, jika harga minyak dunia naik, kebijakan subsidi tetap ini berdampak terhadap meningkatnya inflasi dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial di masyarakat.
c. Subsidi proporsional adalah subsidi yang besarannya ditentukan secara proporsional terhadap harga BBM non subsidi, misalnya subsidi sebesar 10% dari harga BBM non subsidi. Kebijakan lain yang belum pernah dilakukan di Indonesia adalah kebijakan subsidi proporsional. Dengan kebijakan ini, dampak kenaikan harga minyak dunia akan ditanggung oleh APBN dan masyarakat secara bersama sesuai dengan besaran persentase subsidi. Jadi harga jual eceran BBM bersubsidi otomatis naik, jika harga minyak dunia naik. Besaran subsidi juga akan naik, jika harga minyak dunia naik, tetapi kenaikan subsidinya tidak akan sebesar subsidi mengambang. Kebijakan ini dinilai lebih flexible untuk pengendalian dampak makro, fiskal, dan sosial politik.
Kajian ini melakukan analisa dampak makro terhadap inflasi, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, sosial dan lingkungan dari 7 (tujuh) skenario kebijakan pemberian subsidi tetap dan proporsional:
- Skenario 0 subsidi tetap hanya untuk solar sebesar Rp1.000 dengan distribusi terbuka (tidak ada alat kendali) sebagaimana berjalan saat ini;
- Skenario 1 subsidi mengambang (untuk solar dan bensin) dengan distribusi tertutup menggunakan alat kendali smart card dengan mekanisme diskon;
- Skenario 2 subsidi tetap (solar dan bensin) dengan distribusi tertutup menggunakan alat kendali smart card dengan mekanisme diskon;
- Skenario 3 subsidi proporsional (solar dan bensin) dengan distribusi tertutup menggunakan alat kendali smart card dengan mekanisme diskon.
- Skenario 4, 5 dan 6 adalah skenario yang sama sepertiS3 dengan besaran proporsi subsidi yang meningkat sebesar 15%, 20% dab 25%.
Dari simulasi dampak yang dilakukan terlihat bahwa secara keseluruhan kebijakan yang mempunyai peringkat terbaik adalah Skenario 2 dan 3, yaitu kebijakan subsidi tetap dan proporsional dengan distribusi tertutup berkuota dengan menggunakan Smart Card dengan target subsidi angkutan umum dan angkutan barang, berbahan bakar bensin maupun solar, dan pemberian subsidinya melalu diskon (potongan harga terhadap kuota volume BBM bersubsidi). Kebijakan subsisidinya bisa berupa subsidi tetap atau subsidi proporsional 10%. Namun jika terjadi kenaikan harga eceran non subsidi karena harga minyak internasional meningkat, maka besaran subsidi proporsionalnya harus ditingkatkan sehingga ranking berikutnya adalah skenario 4 dan 5.
Kesimpulan
1. Target penerima subsidi BBM yang dinilai sesuai dengan amanat Undang-Undang dan prinsip keadilan adalah kelompok target yang tertuang dalam Perpres 191/2014 minus kendaraan mobil pribadi plat hitam dan sepeda motor, yaitu: nelayan (kapal < 30 GT) dan usaha perikanan skala kecil; petani (lahan max 2 ha); usaha mikro; transportasi publik (plat kuning); ambulan dan pelayanan publik lainnya; angkutan barang (truck, pick-up, box).
2. Agar subsidi BBM dapat menjadi lebih tepat sasaran, kajian ini mengusulkan agar subsidi diberikan melalui potongan harga bagi kelompok target pada pembelian BBM dengan kuota tertentu, dengan alat kendali yang praktis dan mudah digunakan serta berbiaya murah dengan menggunakan teknologi dan sistem yang sudah biasa digunakan oleh perbankan sehingga tinggal memodifikasi dan tidak perlu membangun sistem baru (Smart Card). Pemberian Smart Card bisa lebih tepat sasaran dengan mengacu data kendaraan yang ada di masing-masing kantor kepolisian daerah dan data ijin trayek. Mekanisme ini akan lebih praktis dan memudahkan masyarakat karena tidak memerlukan instalasi khusus pada kendaraan, tidak perlu top-up, serta memungkinkan pembayaran secara tunai maupun non tunai.
3. Skenario kebijakan BBM bersubsidi yang lebih tepat sasaran dengan dampak buruk yang minimal adalah subsidi tetap atau proposional (dengan penyesuaian besaran dan persentase subsidi sesuai dengan harga BBM non subsidi denganrentang persentase subsidi hingga 25%). Apabila terjadi kenaikan harga minyak dunia ke level harga minyak dunia seperti tahun 2014, maka dengan menggunakan mekanisme ini besaran subsidi yang akan diberikan oleh Pemerintah tidak akan sebesar periode sebelumnya.Mekanismenya distribusi tertutup targeted, berkuota dengan smart card, dan pemberian subsidi dengan diskon.
4. Mekanisme subsidi BBM yang diusulkan sebagai hasil dari kajian ini, dapat diterapkan pula dalam kebijakan subsidi BBG, jika di kemudian hari Pemerintah memilih kebijakan konversi BBM ke BBG dan kebijakan subsidi BBG untuk kendaraan angkutan umum penumpang dan angkutan barang. Dari hasil analisis dampak, kebijakan subsidi BBG dengan menggunakan mekanisme tersebut juga layak untuk dapat dipertimbangkan. Namun, sehubungan dengan infrastuktur BBG yang masih terbatas, maka kebijakan konversi BBM ke BBG belum dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Konversi BBM ke BBG dengan kebijakan pemberian subsidi BBG dapat dilakukan secara bertahap.
Rekomendasi
1. Untuk mengatur target dan mekanisme kebijakan subsidi BBM yang lebih tepat sasaran, perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
2. Untuk mitigasi (mengurangi dampak negatif) dari kebijakan subsidi BBM yang lebih tepat sasaran, antara lain melalui pembangunan sistem transportasi umum yang terintegrasi antar moda, serta penguatan program pendidikan dan kesehatan gratis, serta cash transfer untuk kelompok tidak mampu.
3. Pemerintah daerah dapat berperan aktif dalam kebijakan subsidi BBM yang lebh tepat sasaran melalui pemberian usulan jumlah kuota BBM untuk angkutan umum dan angkutan barang, serta dalam pengadaan dan pembagian Smart Card.
4. Dilakukan uji coba mekanisme pemberian diskon di Batam dengan sedikit mengubah mekanisme Smart Card.
5. Agar angkutan umum mau berpindah ke BBG, Pemerintah hendaknya mengalokasikan anggaran susbidi BBG yang lebih besar, disertai dengan pemberian insentif dalam pembelian converter kits, pembangunan infrastruktur yang lebih banyak di kota-kota besar.
a. Subsidi tetap adalah subsidi yang besarannya sudah ditentukan tetap oleh pemerintah. Kebijakan subsidi tetap mulai dijalankan di Indonesia sejak 1 Januari 2015 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No 191/2014, di mana BBM jenis solar diberikan subsidi terap sebesar Rp 1000 per liter. Keuntungan kebijakan subsidi tetap adalah besaran subsidi dalam satu tahun bisa mendekati nilai yang pasti. Namun demikian, jika harga minyak dunia naik, kebijakan subsidi tetap ini berdampak terhadap meningkatnya inflasi dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial di masyarakat.
b. Subsidi proporsional adalah subsidi yang besarannya ditentukan secara proporsional terhadap harga BBM non subsidi, misalnya subsidi sebesar 10% dari harga BBM non subsidi. Kebijakan lain yang belum pernah dilakukan di Indonesia adalah kebijakan subsidi proporsional. Dengan kebijakan ini, dampak kenaikan harga minyak dunia akan ditanggung oleh APBN dan masyarakat secara bersama sesuai dengan besaran persentase subsidi. Jadi harga jual eceran BBM bersubsidi otomatis naik, jika harga minyak dunia naik. Besaran subsidi juga akan naik, jika harga minyak dunia naik, tetapi kenaikan subsidinya tidak akan sebesar subsidi mengambang. Kebijakan ini dinilai lebih flexible untuk pengendalian dampak makro, fiskal, dan sosial politik.
Kajian ini melakukan analisa dampak makro terhadap inflasi, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, sosial dan lingkungan dari 7 (tujuh) skenario kebijakan pemberian subsidi tetap dan proporsional:
- Skenario 0 subsidi tetap hanya untuk solar sebesar Rp1.000 dengan distribusi terbuka (tidak ada alat kendali) sebagaimana berjalan saat ini;
- Skenario 1 subsidi mengambang (untuk solar dan bensin) dengan distribusi tertutup menggunakan alat kendali smart card dengan mekanisme diskon;
- Skenario 2 subsidi tetap (solar dan bensin) dengan distribusi tertutup menggunakan alat kendali smart card dengan mekanisme diskon;
- Skenario 3 subsidi proporsional (solar dan bensin) dengan distribusi tertutup menggunakan alat kendali smart card dengan mekanisme diskon.
- Skenario 4, 5 dan 6 adalah skenario yang sama sepertiS3 dengan besaran proporsi subsidi yang meningkat sebesar 15%, 20% dab 25%.
Dari simulasi dampak yang dilakukan terlihat bahwa secara keseluruhan kebijakan yang mempunyai peringkat terbaik adalah Skenario 2 dan 3, yaitu kebijakan subsidi tetap dan proporsional dengan distribusi tertutup berkuota dengan menggunakan Smart Card dengan target subsidi angkutan umum dan angkutan barang, berbahan bakar bensin maupun solar, dan pemberian subsidinya melalu diskon (potongan harga terhadap kuota volume BBM bersubsidi). Kebijakan subsisidinya bisa berupa subsidi tetap atau subsidi proporsional 10%. Namun jika terjadi kenaikan harga eceran non subsidi karena harga minyak internasional meningkat, maka besaran subsidi proporsionalnya harus ditingkatkan sehingga ranking berikutnya adalah skenario 4 dan 5.
Kesimpulan
1. Target penerima subsidi BBM yang dinilai sesuai dengan amanat Undang-Undang dan prinsip keadilan adalah kelompok target yang tertuang dalam Perpres 191/2014 minus kendaraan mobil pribadi plat hitam dan sepeda motor, yaitu: nelayan (kapal < 30 GT) dan usaha perikanan skala kecil; petani (lahan max 2 ha); usaha mikro; transportasi publik (plat kuning); ambulan dan pelayanan publik lainnya; angkutan barang (truck, pick-up, box).
2. Agar subsidi BBM dapat menjadi lebih tepat sasaran, kajian ini mengusulkan agar subsidi diberikan melalui potongan harga bagi kelompok target pada pembelian BBM dengan kuota tertentu, dengan alat kendali yang praktis dan mudah digunakan serta berbiaya murah dengan menggunakan teknologi dan sistem yang sudah biasa digunakan oleh perbankan sehingga tinggal memodifikasi dan tidak perlu membangun sistem baru (Smart Card). Pemberian Smart Card bisa lebih tepat sasaran dengan mengacu data kendaraan yang ada di masing-masing kantor kepolisian daerah dan data ijin trayek. Mekanisme ini akan lebih praktis dan memudahkan masyarakat karena tidak memerlukan instalasi khusus pada kendaraan, tidak perlu top-up, serta memungkinkan pembayaran secara tunai maupun non tunai.
Skenario kebijakan BBM bersubsidi yang lebih tepat sasaran dengan dampak buruk yang minimal adalah subsidi tetap atau proposional (dengan penyesuaian besaran dan persentase subsidi sesuai dengan harga
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.