Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Dalam transfer ke daerah, setidaknya terdapat tiga jenis kebijakan insentif, yaitu: (i) Dana Insentif Daerah (DID); (ii) insentif dari hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagian Pemerintah Pusat; dan (iii) Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2). Kebijakan-kebijakan insentif tersebut telah berlangsung cukup lama dan dana APBN yang dialokasikan untuk masing-masing jenis insentifnya relatif cukup besar. Dari tahun 2010 sampai dengan 2014 dana APBN untuk ketiga jenis insentif tersebut mencapai lebih dari Rp10 triliun. Oleh karena itu, evaluasi terhadap efektivitas dari pemberian kebijakan insentif tersebut menjadi sangat perlu dilakukan dalam rangka memberikan rekomendasi perbaikan insentif dalam transfer ke daerah.
Evaluasi yang dilakukan terhadap kebijakan insentif dalam transfer ke daerah diarahkan untuk mengetahui efektivitas penerapan kebijakan insentif dalam transfer ke daerah serta memahami berbagai kendala dalam pelaksanaan kebijakan. Evaluasi dilakukan terhadap pelaksanaan ketiga jenis kebijakan insentif dalam periode 2010 s.d. 2014 dengan metode kuantitatif deskriptif dan kualitatif.
Berbagai literatur menunjukkan pemberian insentif antar tingkatan pemerintahan cukup lazim dilaksanakan di berbagai negara. Insentif antar tingkatan pemerintahan diberikan atas pencapaian target tertentu kinerja pemerintah daerah baik dalam hal pengelolaan keuangan maupun dalam hal penyediaan pelayanan publik. Bentuk insentif dapat berupa financial seperti alokasi dana insentif dan non financial berupa pujian di media sosial, keleluasaan dalam penggunaan dana, dan percepatan pencairan dana. Perbedaan yang mencolok antara insentif di negara maju dan negara berkembang terletak pada penggunaan dana insentif, di mana di negara maju dana insentif bebas digunakan oleh pemerintah daerah (block grant) sementara di negara berkembang dana insentif cenderung ditentukan penggunaannya (specific grant).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mendesain kebijakan insentif adalah: (1) Insentif harus cukup memiliki nilai baik dalam hal jumlah dan penggunaan agar pemerintah daerah termotivasi untuk memperbaiki kinerjanya; (2) Kebijakan insentif harus dapat direvisi, dinegosiasikan, dievaluasi antara penerima insentif dan pemberi insentif secara berkala dalam periode tertentu; (3) Indikator kinerja harus memperlihatkan kinerja yang sesungguhnya dan tidak bersifat ambigu sehingga dapat dengan mudah dikontrol dan dievaluasi; (4) Kebijakan insentif hendaknya mudah dimengerti dan diterapkan; dan (5) Pada dasarnya tidak ada kebijakan yang dapat mengakomodasi semua kondisi dan situasi sehingga dibutuhkan kebijakan yang spesifik agar tujuan dapat tercapai.
Hasil evaluasi menunjukkan ketiga jenis kebijakan insentif dalam transfer ke daerah memiliki tingkat efektivitas yang beragam dan permasalahan yang berbeda-beda dalam penerapannya selama ini.
Dana Insentif Daerah (DID) dialokasikan kepada daerah sebagai penghargaan atas pencapaian kinerja daerah di bidang pengelolaan keuangan, kinerja pendidikan, dan kinerja ekonomi dan kesejahteraan dan ditujukan untuk membantu daerah dalam rangka melaksanakan fungsi pendidikan. Dalam penerapannya DID dipandang cukup efektif dalam memengaruhi pemda untuk meningkatkan kualitas pengelolaan keuangannya. Hal ini antara lain ditunjukkan dari semakin banyaknya daerah yang mendapatkan opini WDP atau WTP atas laporan keuangannya dan semakin banyaknya daerah yang menetapkan APBD secara tepat waktu. Di samping itu keunggulan dari DID adalah semua pemda bersikap positif atas kebijakan DID bahkan di beberapa daerah DID juga bernilai politis.
Namun demikian, DID juga masih menghadapi beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Kendala-kendala tersebut antara lain: (i) kebijakan DID masih bersifat adhoc, karena hanya diatur dalam UU tentang APBN; (ii) masih terdapat PMK alokasi DID yang ditetapkan setelah tahun anggaran dimulai; (iii) pagu anggaran DID relatif tetap sedangkan daerah penerima DID semakin banyak sehingga tingkat ketertarikan daerah terhadap DID cenderung menurun, (iv) terdapat beberapa kriteria pengalokasian DID yang kurang tepat dan sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini, (v) terdapat kesenjangan daerah penerima DID antara kawasan barat dan timur Indonesia, dan (vi) penggunaan DID tidak dapat dimaksimalkan karena telah di-earmark hanya untuk belanja fungsi pendidikan.
Kebijakan insentif dari hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagian Pemerintah Pusat diberikan berupa DBH sebesar 3,5 persen dari total penerimaan PBB kepada daerah yang realisasi penerimaan PBB-P2 tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui target. Dalam pelaksanaannya, jenis insentif ini cukup efektif dalam memacu daerah untuk mencapai target penerimaan PBB-P2 di masing-masing daerah sekaligus memudahkan koordinasi antara Direktorat Jenderal Pajak dengan pemda di lapangan. Hal ini antara lain tercermin dari jumlah daerah penerima insentif PBB yang semakin meningkat setiap tahunnya.
Permasalahan dalam pelaksanaan kebijakan ini muncul ketika kebijakan pengalihan PBB-P2 kepada pemerintah daerah dilaksanakan secara penuh mulai tahun 2014. Hal ini terjadi karena dasar pembagian insentif PBB berupa data rencana penerimaan dan realisasi PBB-P2 di seluruh kabupaten/kota sudah tidak tersedia lagi pada Pemerintah Pusat, padahal Pemerintah Pusat masih memiliki sebagian penerimaan PBB, yaitu dari sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan (P3) yang harus dialokasikan kepada seluruh kabupaten/kota. Terdapat beberapa alternatif solusi terhadap hal tersebut, yaitu: (1) insentif PBB tidak dibagikan lagi: (2) insentif PBB tetap dibagikan berdasarkan rencana penerimaan dan realisasi PBB-P2; (3) insentif PBB tetap dibagikan berdasarkan rencana penerimaan dan realisasi PBB-P3; dan (4) insentif PBB dibagikan secara rata menambah bagian pusat yang saat ini sudah dibagi rata. Keempat alternatif tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dari keempat alternatif tersebut diusulkan agar insentif PBB dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten/kota.
Jenis insentif terakhir adalah dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2). Insentif P2D2 diberikan sebesar maksimal 10 persen dari nilai verifikasi keluaran BPKP atas pelaksanaan DAK infrastruktur bidang jalan, irigasi, dan air minum, di daerah percontohan P2D2. Daerah percontohan P2D2 meliputi pemda provinsi/kabupaten/kota di lima provinsi, yaitu Jambi, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara. Kebijakan P2D2 dilaksanakan berdasarkan perjanjian utang dengan Bank Dunia. Dalam rangka pelaksanaan P2D2 telah dikembangkan suatu mekanisme monitoring DAK berbasis sistem informasi dan teknologi (IT) yang diberi nama Web-based Monitoring System (WBRS).
Hasil evaluasi atas pelaksanaan P2D2 menunjukkan kebijakan ini belum terlalu efektif dalam mendorong pemda untuk melaksanakan DAK sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini terlihat dari: (1) penggunaan pagu P2D2 tidak terlalu besar; dan (2) tingkat eligibilitas yang mampu diraih daerah percontohan dalam pelaksanaan DAK infrastruktur masih kurang memuaskan. Di samping itu sumber pendanaan P2D2 yang menggunakan utang menyebabkan proyek ini menjadi “mahal”. Namun demikian sistem monitoring yang digunakan dalam P2D2 telah mampu memberikan pengetahuan mengenai seberapa besar daerah mampu melaksanakan DAK dibandingkan dengan tujuan Pemerintah Pusat.
Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, diusulkan beberapa rekomendasi perbaikan kebijakan desentralisasi fiskal sebagai berikut:
ü Penilaian terhadap kinerja keuangan sebaiknya lebih mendalam dapat menjangkau penilaian terhadap tingkat penyerapan belanja, kesehatan fiskal daerah, dan kepatuhan daerah dalam mengelola keuangan daerah.
ü Indikator IPM dalam penilaian kinerja pendidikan diganti dengan rata-rata lama sekolah.
Skema P2D2 terus dilaksanakan untuk lebih banyak bidang DAK dan lebih banyak daerah percontohan dengan pembiayaan dari rupiah murni.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.