Penulis: Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral
Makalah (Laporan Akhir) berjudul "Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah Jakarta, Indonesia" menganalisis dampak dari usulan pengurangan dan penghapusan subsidi BBM di wilayah Jakarta terhadap biaya hidup dan daya beli masyarakatnya, terutama mereka yang berada pada Kelompok Berpendapatan Rendah. Laporan ini bertujuan untuk membantu pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam mengembangkan program-program yang sesuai guna mendukung mereka yang akan menanggung dampak negatif dari pengurangan atau penghapusan subsidi BBM. Selain itu, studi ini akan mengestimasi pula potensi penurunan beban subsidi BBM pada APBN dan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai dampak dari pelaksanaan kebijakan untuk menghapus subsidi.
Akhir-akhir ini sektor energi nasional terus menghadapi tantangan dalam penggunaan bahan bakar berbasis fosil karena meningkatnya tren yang kuat dalam konsumsi energi, terutama untuk keperluan transportasi dan mobilitas penduduk di wilayah Jakarta. Pada saat yang sama, produksi minyak bumi dalam negeri masih belum bisa memenuhi permintaan energi ini, terlebih lagi, kapasitas jalan di Jakarta telah mencapai titik jenuh, belum lagi ditambah dengan masalah polusi dan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan tingkat kemacetan akut yang mengkhawatirkan.
Sebagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah pusat telah mengembangkan kebijakan untuk mengurangi dan bahkan lebih jauh lagi menghapuskan subsidi pada jenis bahan bakar utama seperti bensin dan solar. Namun, disadari bahwa dampak negatif dari kebijakan tersebut akan ditanggung oleh masyarakat Jakarta dan sekitarnya, terutama mereka yang berada dalam kelompok masyarakat berpendapatan rendah.
Pemerintah Jakarta pada akhir 2013 dan awal 2014 telah mengusulkan kebijakan pengurangan sebagian atau menghapus seluruh subsidi BBM di wilayah Jakarta, dalam rangka mendorong tingkat penggunaan angkutan umum yang lebih tinggi. Dengan memotong subsidi maka pemilik kendaraan pribadi terpaksa harus membeli bahan bakar dengan harga non subsidi, sehingga meningkatkan biaya perjalanan mereka. Untuk mengurangi biaya perjalanan mereka, diharapkan mereka berpikir untuk beralih ke penggunaan transportasi umum dan meninggalkan kendaraan pribadi mereka di rumah. Pemerintah Jakarta kemudian mengusulkan juga penggunaan hasil penghematan subsidi BBM untuk diinvestasikan dalam proyek-proyek infrastruktur, seperti MRT, monorel, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), dan prioritas lainnya.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah:
Mengusulkan rekomendasi kebijakan dalam upaya meminimalkan dampak negatif dari pengurangan atau penghapusan subsidi BBM pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan potensi penggunaan dari penghematan anggaran karena kebijakan tersebut.
Dalam hal metodologi, studi ini secara mendasar menggunakan pendekatan Benefit Impact Analysis (BIA) dari kebijakan pengurangan atau penghapusan subsidi BBM melalui pemetaan hubungan antara subsidi BBM dari Pemerintah pusat yang dialokasikan di daerah Jakarta dengan distribusi tingkat pendapatan rumah tangga berdasarkan analisis Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). SUSENAS adalah serangkaian survei sosial ekonomi tahunan berskala besar dan dapat digunakan untuk multitujuan yang dimulai sejak tahun 1963-1964. Sejak tahun 1993 SUSENAS telah menggunakan sampel berskala nasional yang berjumlah 200.000 rumah tangga.
Kuesioner inti SUSENAS dirancang untuk mewakili populasi hingga ke tingkat kabupaten/kota dan karenanya sangat sesuai untuk digunakan dalam analisis BIA ini sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan analisis apakah subsidi BBM yang awalnya diklaim untuk membantu orang miskin telah sesuai dan tepat tepat sasaran, ataukah masih membutuhkan pembuktian lebih detail. Hal ini penting untuk dicatat, karena dengan alasan keterbatasan ketersediaan data dalam SUSENAS, penelitian ini terpaksa membatasi definisi bahan bakar hanya dalam bentuk bensin (premium) dengan mengecualikan konsumsi terhadap diesel/solar, minyak tanah; dan konsumsi LPG. Namun demikian, data aktual memang memperlihatkan bahwa pengeluaran BBM didominasi untuk konsumsi masyarakat terhadap bensin.
Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah:
Jumlah konsumsi bahan bakar dari kelompok terkaya adalah sekitar 8 (delapan) kali lebih tinggi dari kelompok termiskin. Selain itu, pengeluaran bahan bakar dari rumah tangga meningkat sesuai kelompok pendapatan dalam arah yang sama dengan total pengeluaran tetapi dengan tingkat progresivitas yang lebih tinggi.
Porsi pengeluaran bahan bakar kelompok terkaya terhadap total pengeluaran sedikit lebih tinggi daripada kelompok termiskin karena sebagai orang kaya mereka memiliki lebih banyak akses pada kepemilikan kendaraan serta pengoperasiannya. Karena pengeluaran bahan bakar dikategorikan sebagai pengeluaran non-makanan dan kontribusi komoditas non-makanan terhadap tingkat inflasi dan kemiskinan di Jakarta akhir-akhir ini menjadi lebih besar, penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok pendapatan termiskin jelas menjadi pihak yang paling menderita kerugian akibat kenaikan inflasi.
Distribusi subsidi energi di Jakarta lebih dinikmati oleh kelompok terkaya, jauh di atas kelompok termiskin. Rumah tangga termiskin memang menerima jumlah subsidi secara penuh karena mereka tidak mengkonsumsi bahan bakar non-subsidi seperti pertamax. Namun, rumah tangga terkaya di Jakarta masih mendapatkan keuntungan dari subsidi lebih besar dari rata-rata subsidi premium yang dinikmati semua kelompok rumah tangga karena sebagian besar dari mereka masih mengkonsumsi premium. Besaran subsidi premium yang dimanfaatkan oleh kelompok terkaya terestimasi 2,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah subsidi yang dinikmati oleh kelompok termiskin.
Kelompok pendapatan termiskin menerima dampak negatif langsung dari kenaikan harga BBM karena lebih rendahnya daya beli mereka dibandingkan dengan kelompok lain. Dampak langsung yang negatif ini bahkan terlihat jauh lebih buruk karena kecenderungannya adalah regresif terhadap kelompok terkaya. Dengan membandingkan dampak kenaikan porsi belanja bahan bakar terhadap pengeluaran non-makanan, kelompok termiskin jelas lebih menanggung beban dalam hal pengeluaran non-makanan dibandingkan mereka yang lebih kaya, karena kenaikan harga BBM mengakibatkan berkurangnya porsi belanja kelompok termiskin untuk pendidikan dan kesehatan mereka.
Ketika tingkat inflasi diperhitungkan untuk mengestimasi dampak menengah dan jangka panjang dari kebijakan pengurangan sebagian atau penghapusan subsidi, penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok termiskin menjadi lebih tidak diuntungkan karena seperti yang digambarkan dalam analisis dampak langsung, kelompok terkaya masih akan tetap menanggung biaya yang relatif rendah dalam kaitannya dengan kapasitas belanja dan daya beli mereka.
Dengan asumsi semua factor lain konstan, simulasi dari penelitian ini menunjukkan bahwa mengurangi konsumsi bahan bakar dengan cara menaikkan harga BBM akan mengurangi emisi karbon dengan potensi jumlah yang signifikan, serta menghemat besaran APBN yang tadinya dialokasikan untuk subsidi BBM di Jakarta.
Analisa progresivitas dari subsidi BBM pada tingkat konsumsi rata-rata rumah tangga di Jakarta memberikan gambaran yang lebih meyakinkan bahwa subsidi BBM akan tetap paling menguntungkan kelompok kaya, bahkan dengan kebijakan untuk menetapkan subsidi BBM dalam jumlah tetap per liter bahan bakar yang dikonsumsi sekalipun. Hal ini terjadi karena kelompok terkaya mengkonsumsi bahan bakar jauh lebih besar dibandingkan kelompok termiskin, subsidi BBM per liter dalam jumlah tetap masih akan menguntungkan orang kaya dimana porsi subsidi BBM yang dinikmati adalah hampir 4 (empat) kali lipat lebih besar daripada yang dinikmati oleh kelompok termiskin.
Harga BBM premium bersubsidi di Jakarta yang lebih tinggi akan meningkatkan angka kemiskinan dan memperburuk ketimpangan pendapatan. Namun, tingkat pertumbuhan kemiskinan yang akan terjadi tidak setinggi klaim dari berbagai pihak pendukung kebijakan subsidi BBM, diestimasikan bahwa angka kemiskinan di Jakarta hanya tumbuh kurang dari 1%. Di sisi lain, simulasi dari penelitian ini juga mengindikasikan bahwa ketimpangan pendapatan di Jakarta (dengan simulasi koefisien Gini) pada kenyataannya, justru akan sedikit membaik jika subsidi BBM yang sebenarnya menguntungkan kelompok terkaya dikurangi atau dihilangkan sama sekali.
Rekomendasi utama dari penelitian ini adalah:
Mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif untuk mempengaruhi perilaku masyarakat Jakarta; baik pelaku bisnis maupun pekerja sehingga mereka akan melakukan kegiatan ekonomi mereka dengan cara yang lebih ramah lingkungan.
Memaksimalkan program utama pelayanan publik dasar di Jakarta: kesehatan, pendidikan, dan perumahan, yang akan mampu menyediakan jaring pengaman dari dampak negatif kenaikan harga BBM yang potensial mengurangi tingkat daya beli dan meningkatkan tingkat kemiskinan di masyarakat.
Mengoptimalkan kerjasama eksisting dan bekerja sama dengan daerah otonom lainnya yang berbatasan dengan area Jakarta (Jabodetabek) dalam harmonisasi peraturan dan kebijakan yang terkait dengan upaya pengendalian inflasi dan kependudukan.
Mengoptimalkan penerimaan pajak penghasilan pribadi di Jakarta terutama di kelompok terkaya dan tingkat penghasilan menengah; dan dari pajak pertambahan nilai yang tinggi bagi barang dan jasa yang secara langsung terkait dengan konsumsi bahan bakar, serta pajak daerah yang sangat menekankan pembebanan bagi kegiatan konsumsi atau produksi masyarakat yang menghasilkan eksternalitas negatif.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.