Penulis: Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Dalam APBN-P 2015, Pemerintah telah mengalokasikan anggaran subsidi listrik sebesar Rp73,1 triliun dan sebagian besar (sekitar 85%) dinikmati oleh golongan R1-450 VA dan R1-900 VA. Sebagian pelanggan rumah tangga R1-450 VA dan R1-900 VA merupakan pelanggan yang tidak mampu, namun sebagian yang lain pelanggan tersebut telah mampu secara ekonomi. Data Susenas (BPS, 2014) menunjukkan bahwa 4.3 juta pelanggan R1-450 VA adalah kelompok rumah tangga yang telah mampu karena termasuk dalam kelompok pengeluaran per kapita pada desil 8, desil 9 dan desil 10 (pengeluaran per kapita di atas Rp 1,1 juta per bulan). Disamping itu, sekitar 7 juta pelanggan R1-900 VA merupakan kelompok rumah tangga yang telah mampu karena termasuk dalam kelompok pengeluaran per kapita pada desil 8, desil 9 dan desil 10 (pengeluaran per kapita di atas Rp 1,7 juta per bulan). Apabila dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi pada pasal 7 dinyatakan bahwa subsidi energi diperuntukkan bagi masyarakat tidak mampu, maka data di atas membuktikan bahwa subsidi listrik bagi pelanggan R1-450 VA dan R1-900 VA saat ini dinilai belum tepat sasaran.
Selain belum tepat sasaran, pola subsidi listrik bagi pelanggan R1-450 VA dan R1-900 VA juga dinilai belum memenuhi prinsip keadilan. Hasil pengolahan lebih lanjut dengan data Susenas (2014) menunjukkan golongan pengeluaran yang lebih tinggi justru menerima subsidi listrik per bulan yang lebih tinggi. Sebagai contoh misalnya, kelompok pelanggan R1-450 VA dengan pengeluaran terendah menerima subsidi dengan rata-rata sebesar Rp48.710/bulan, sedangkan kelompok dengan pengeluaran tertinggi dari pelanggan R1-450 VA telah menerima subsidi rata-rata sebesar Rp140.835/bulan, hampir 3 kali lipat dari besaran subsidi yang diterima oleh kelompok yang memiliki pengeluaran terkecil. Perbedaan ini akan semakin jauh jika dibandingkan dengan kelompok rumah tangga miskin lainnya yang belum mempunyai akses listrik PLN sehingga mereka sama sekali tidak menikmati subsidi listrik.
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan reformasi kebijakan subsidi listrik bagi pelanggan R1-450 VA dan R1-900 VA sehingga pola subsidi bagi kedua kelompok pelanggan tersebut menjadi lebih tepat sasaran dan berkeadilan. Studi yang didukung oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit/German International Cooperation (GIZ) ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi alternatif-alternatif pola subsidi listrik yang lebih tepat sasaran bagi golongan pelanggan R1-450 VA dan R1-900 VA serta menganalisis berbagai dampak ekonomi dan sosial yang menyertainya.
Metodologi Penelitian
Kerangka pikir rancangan pola subsidi listrik yang lebih tepat sasaran bagi pelanggan R1-450 VA dan R1-900 VA mengacu pada aturan yang tertera pada UU No 30 tahun 2007 khususnya pasal 7. Oleh karena itu, perlu dibuat kriteria pemberian subsidi listrik yang bisa memisahkan pelanggan yang mampu dengan yang tidak mampu bagi kelompok pelanggan R1-450 VA dan R1-900 V dengan tujuan agar yang tidak mampu diberikan subsidi sedangkan yang mampu tidak diberikan subsidi. Pola subsidi yang baru tersebut diyakini akan berdampak terhadap penghematan anggaran subsidi jika dibandingkan pola subsidi saat ini. Namun, pola tersebut berpotensi menyebabkan kenaikan TTL bagi pelanggan rumah tangga (khususnya yang tidak disubsidi lagi) dan menyebabkan inflasi, sehingga pada akhirnya juga akan berdampak menambah kemiskinan dan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui: (1) studi pustaka (menganalisi pengalaman reformasi subsidi listrik di negara lain dan menganalisis dasar hukum subsidi listrik), (2) Focused Group Discussion(FGD), (3) analisis deskriptif, (4) simulasi dampak, dan (5) Field Simulation Survey. Setiap skenario kebijakan subsidi listrik yang baru akan dihitung dampaknya terhadap kenaikan TTL dan pengurangan subsidi listrik. Perhitungannya dilakukan dengan metode simulasi menggunakan data BPP dan penjualan listrik yang digunakan pada perhitungan subsidi listrik tahun 2015 yang tertuang dalam APBN-P 2015. Untuk menganalisis respons pelanggan R1-450 VA dan R1-900 VA terhadap skenario kebijakan subsidi yang sedang dipertimbangkan, digunakan data primer yang diperoleh melalu field simulation survey. Metode ini bertujuan untuk mendapatkan respons terhadap pola konsumsi listrik dan respon perubahan pola konsumsi tersebut jika terjadi perubahan kebijakan subsidi listrik, serta respon berupa persepsi atau tanggapan terhadap perubahan kebijakan tersebut.
Survei di lakukan di Jakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, Provinsi Sumatera Utara (Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang), Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Bangkalan dan Kota Malang), dan Provinsi Sulawesi Selatan (Kota Makassar dan Kabupaten Gowa). Daerah survey tersebut diharapkan dapat mewakili potret subsidi listrik secara nasional dengan membedakan pola konsumsi pelanggan perkotaan dan pelanggan pedesaan. Setiap daerah diambil 40 RT pelanggan yang terdiri dari masing-masing 20 RT pelanggan R1-450 VAdan R1-900 VA. Ada 8 treatment (skenario kebijakan) yang diuji (yakni 4 skenario untuk pelanggan R1-450 VAdan 4 skenario untuk pelanggan R1-900 VA) dan setiap skenario kebijakan diambil sampel sebanyak 5 rumah tangga. Total responden dalam field simulation survey mencapai 360 rumah tangga (9 daerah x 40 rumah tangga).
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap subsidi listrik yang diberikan kepada kelompok pelanggan R-450 VA dan R1-900 VA yang berlaku saat ini menunjukkan : (1) tidak tepat sasaran, karena 5,9 juta pelanggan R1-450 VA dan 14,4 juta pelanggan R1-900 VA adalah kelompok rumah tangga yang telah mampu karena termasuk dalam pengeluaran per kapita lebih dari Rp 1 juta per bulan (Susenas, 2014); (2) tidak adil, karena kelompok pelanggan R1-450 VA dan R1-900 VA yang lebih mampu mendapat subsidi lebih banyak dibandingkan kelompok yang tidak mampu; dan (3) mendorong penggunaan listrik yang boros, karena berdasarkan data Susenas dan data PLN tahun 2014, konsumsi listrik rata-rata per bulan mencapai 80-100 kWh (R1-450 VA) dan 140 kWh per bulan (R1-900 VA). Angka tersebut jauh di atas kebutuhan listrik yang wajar yang diperkirakan sekitar 60 kWh. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa subsidi listrik yang lebih tepat sasaran dapat dicapai dengan kebijakan sebagai berikut:
(1) Penentuan target penerima subsidi listrik berdasarkan batasan konsumsi listrik per bulan (kWh per bulan). Kelompok pelanggan yang konsumsinya melebihi batasan konsumsi listrik per bulan tidak berhak mendapatkan subsidi sama sekali. Batasan konsumsi listrik per bulan bagi mereka yang mendapat subsidi adalah sebagai berikut: (a) pelanggan R1-450 VA, yang disubsidi adalah pelanggan yang konsumsi listrik kurang dari atau sama dengan 80 kWh per bulan (setara dengan rata-rata konsumsi kelompok rumah tangga miskin dan rentan miskin); dan (b) pelanggan R1-900 VA, yang disubsidi adalah pelanggan yang konsumsi listrik per bulan sampai 60 kWh per bulan (batasan konsumsi listrik yang lebih rendah ini bagi R1-900 VA ini disebabkan karena secara rata-rata kemampuan ekonomi kelompok pelanggan R1-900 VA lebih tinggi dibandingkan kelompok pelanggan R1- 450 VA). Pola subsidi dengan batasan konsumsi listrik per bulan (kWh per bulan) tersebut diyakini akan mendorong pelanggan listrik untuk menghemat pemakaian listrik.
(2) Pola subsidi dengan batasan konsumsi listrik per bulan (kWh per bulan) sebagaimana disebutkan pada bagian (1) di atas akan membuat ketepatan sasaran subsidi listrik untuk pelanggan R1-450 VA dan R1-900 VA mencapai 93,3% dan 92,1%. Presentasi ini lebih tinggi dibandingkan dengan ketepatan sasaran subsidi R1-450 VA dan R1-900 VA saat ini yang hanya sekitar 75,6% dan 57,6%.
(3) Bentuk subsidi listrik non tunai lebih tepat guna dan pemberian subsidinya lebih praktis melalui potongan harga (discount) terhadap tagihan listrik pelanggan setiap bulannya dibandingkan melaluai voucher.
Selain hasil analisa di atas, hasil survey yang telah dilakukan terhadap beberapa daerah terpilih menunjukan bahwa :
(1) Profil ekonomi rumah tangga yang menjadi responden (sample) dalam penelitian ini identitik dengan profil ekonomi rumah tangga (RUTA) yang menjadi sample dalam Susenas 2014. Hasil survei menunjukkan konsumsi listrik pelanggan R1-450 VA dan R1-900 VA lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi listrik dalam Susenas 2014.
(2) Sebagian besar pelanggan R1-450 VA lebih layak dapat subsidi listrik, sedangkan sebagian kecil pelanggan R1-900 VA yang layak dapat subsidi listrik yaitu untuk (a) pelanggan R1-450 VA: rata-rata pengeluaran untuk makanan, listrik, pulsa, LPG, rokok, transport Rp1,8 juta (pengeluaran listrik 1,6%-1,7% dari total pengeluaran, sedangkan pengeluaran untuk konsumsi rokok yaitu 5-6 kali lipat dari pengeluaran untuk listrik); (b) pelanggan R1-900 VA: rata-rata pengeluaran untuk makanan, listrik, pulsa, LPG, rokok, transport Rp2 juta (pengeluaran listrik 1,9%-2,5% dari total pengeluaran, sedangkan pengeluaran untuk konsumsi rokok 3 kali lipat pengeluaran untuk listrik di desa sedangkan hanya 1,81 kali di kota).
(3) Apabila terjadi kenaikan tagihan listrik, pelanggan RUTA bersedia mengorbankan pengeluaran untuk rokok, makanan, dan pulsa untuk membayar tambahan tagihan listrik.
(4) Besaran rata-rata penghematan konsumsi listrik sebesar 7%-12% atau 9-17 kWh per pelanggan per bulan dengan kenaikan TTL rata-rata 50% (bandingkan dengan kenaikan TTL R1-1300 VA, jika kenaikan 50%, penghematan sekitar 5%-6%, LPEM FEB UI, 2014). Apabila terjadi perubahan kebijakan, R1-900 di daerah pedesaan secara signifikan menghemat listrik lebih besar dibandingkan RT lainnya.
(5) Penolakan terhadap kebijakan subsidi listrik tepat sasaran lebih banyak dilakukan oleh pelanggan perkotaaan dibandingkan dengan kelompok perdesaan. Selain itu, pelanggan listrik lebih memilih kebijakan subsidi listrik non-tunai.
(1) Dengan memperhatikan aspek regulasi, ekonomi dan sosial, teknis serta dampaknya terhadap makro ekonomi dan sosial, kajian ini merekomendasikan pola dan mekanisme subsidi listrik yang lebih tepat sasaran sebagai berikut: (a) target penerima subsidi adalah mereka yang konsumsinya sampai 80 kWh per bulan untuk pelanggan R1-450 VA dan sampai 60 kWh per bulan untuk pelanggan R1-900 VA. Apabila konsumsi listrik melebihi batas yang ditentukan, pelanggan tersebut tidak memperoleh subsidi sama sekali; (b) bentuk subsidi non tunai dengan subsidi tetap Rp/kWh; dan (c) penyaluran subsidi melalui PT PLN (Persero) dengan memberikan potongan harga (discount) terhadap pelanggan yang berhak memperoleh subsidi.
(2) Untuk mengurangi dampak seketika kenaikan TTL yang cukup besar bagi mereka yang tidak memperoleh subsidi karena konsumsi listriknya di atas batas konsumsi listrik pemberian subsidi, maka untuk menuju pemberlakukan tarif listrik non subsidi bagi mereka yang tidak memperoleh subsidi dapat dilakukan secara bertahap dengan terlebih dulu memberlakukan dua blok tarif, yakni tarif subsidi dan non susbidi dengan ketentuan sebegai berikut : (a) pelanggan R1-450 VA yang konsumsi listriknya sampai dengan 80 kWh pertama berlaku harga tarif listrik subsidi, sedangkan untuk konsumsi selebihnya berlaku harga tarif listrik non-subsidi; (b) untuk pelanggan R1-900 VA yang konsumsi listriknya sampai dengan 60 kWh pertama berlaku harga tarif listrik subsidi, sedangkan untuk konsumsi selebihnya berlaku harga tarif listrik non-subsidi; dan (c) tarif subsidi yang berlaku pada poin a dan b dinaikkan secara bertahap (misal per triwulan) hingga pada akhirnya sudah tidak disubsidi lagi.
(3) Sebelum kebijakan subsidi listrik yang lebih tepat sasaran diberlakukan, perlu adanya komunikasi dengan pemangku kepentingan untuk menyampaikan perlunya reformasi subsidi listrik dan meyakinkan kepada masyarakat bahwa dana penghematan subsidi listrik akan digunakan untuk belanja infrastruktur yang produktif diantaranya membangun pembangkit dan jaringan listrik di desa-desa yang belum mempunyai akses listrik, sehingga masyarakat desa tersebut yang selama ini belum menikmati listrik dengan segera memperoleh akses dan menikmati listrik.
(4) Edukasi masyarakat dan mendorong masyarakat untuk hemat listrik dengan menggunakan alat-alat listrik hemat energi. Pemerintah juga bisa memberikan insentif bagi produk-produk alat listrik yang hemat energi (terutama yang alat listrik yang banyak digunakan pelanggan R1-450 VA dan R1-900 VA) agar harga alat listrik hemat energi lebih terjangkau.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
The views and opinions expressed in this article are those of the authors and do not necessarily reflect the official policy from Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance, Republic of Indonesia.